Share

3. Menggali Masa Lalu

“Pa, kenapa Papa kasih Bu Salma izin buat bawa Mas Biyan pulang? Aku istrinya, aku punya hak buat merawat suamiku.”

“Dis, ingat penjelasan Papa kemarin? Papa juga inginnya kamu yang urus Biyan. Hanya saja kita perlu menstabilkan kondisi fisik dan mentalnya sebelum meneruskan pemeriksaan.”

“Tapi, Papa bilang penderita amnesia retrograde….”

Adisti mengusap wajahnya. Dia sudah terlalu lelah menangis, bahkan matanya masih bengkak gara-gara air mata yang tak henti mengalir sejak Biyan siuman. Sejak suaminya tak lagi mengenali dirinya, juga pernikahan mereka.

Hal lain yang membuat perempuan itu terpukul adalah penjelasan Gumilar terkait amnesia retrograde. “Berat buat Papa menyampaikannya, jenis amnesia ini bukan yang sering kamu lihat di sinetron atau tulis sebagai kisah fiksi,” katanya. “Ada kemungkinan ingatan Biyan tentangmu, tentang rumah tangga kalian, tak akan pernah kembali.”

Sulit dipercaya. Namun, menyanggah pernyataan Gumilar yang sehari-hari bekerja sebagai dokter adalah upaya sia-sia.

“Jadi, menurut Papa, akan lebih baik buat Biyan tinggal sementara sama Bu Salma?”

Sang ayah mengangguk lemah. “Sebentar saja, ya? Papa akan antar kamu ke rumah mereka begitu suamimu pulih total.”

Berjalan gontai meninggalkan ruangan dokter, Adisti menyusuri koridor. Satu jam lalu, dia hanya bisa terpaku menyaksikan mobil yang membawa Biyan pergi dari rumah sakit. Padahal Bi Cucu sudah menyiapkan hidangan favorit pria itu untuk menyambut kepulangannya.

Sekarang, Adisti terpaksa menghubungi sang ART untuk membagikan makanan itu kepada satpam dan petugas lain di kompleks supaya tidak mubazir. Karena kalaupun kembali ke rumah, dia tak akan menyantapnya.

Di luar gedung, Adisti termenung memandangi kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Benarkah dia sanggup menginjakkan kaki di rumah tanpa Biyan? Jujur saja, perempuan itu belum kuat. Maka setelah naik taksi, Adisti menekan speed dial nomor lima yang menghubungkannya pada kontak bernama Indah.

Babe, kamu di apartemen?” tanyanya begitu panggilan diterima. “Aku nginep semalam di sana, ya? Sekalian bahas kerjaan.”

*

Indah memberi pelukan hangat saat Adisti tiba di apartemen. Sebelum bekerja sebagai editor di penerbit yang sama, keduanya sudah menjalin pertemanan sejak duduk di bangku SMA. Bisa dikatakan salah satu hubungan yang mampu Adisti rawat baik-baik.

“Tuh, gue beliin piza favorit lo, yang topping jamurnya banyak,” celetuk Indah sembari menuangkan jus jeruk untuknya. “Sori banget enggak sempet jenguk lo sama Biyan. Ketahan deadline sama proyekan baru.”

“Enggak apa-apa, aku yang harusnya minta maaf.” Diterimanya minuman dari sang sahabat. “Soalnya selama di rumah sakit, semua kerjaanku dilimpihain ke kamu.”

“Untungnya sebagian besar editan lo hampir rampung.” Mereka duduk di sofa sambil menyaksikan berita sore. “Terus kok bisa, sih, suami lo dibawa sama ibu mertua? Gue agak kurang paham sama kondisi kesehatannya.”

Ditemani piza, Adisti menjelaskan kronolgis kecelakaan hingga diagnosis yang diberikan Gumilar. Dadanya sesak kala memutar balik kalimat pertama yang Biyan katakan saat melihatnya. Maaf, Anda siapa—seolah-oah dia adalah orang asing yang menginterupsi sebuah momen pentin.

Indah mengusap-usap lembut pundaknya. “I’m so sorry,” katanya. “Gue harap bakal ada perubahan seiring membaiknya kondisi Biyan. Enggak kebayang kalau lo harus mengulang semuaya dari awal.”

Adisti inginnya bersikap optimis sebelum ingat penjelasan Gumilar. Memang ayahnya pernah menghadapi mukjizat saat menangani pasien, tetapi kejadian itu sangat langka. Di sisi lain, sebagian dari dirinya berharap Tuhan masih bermurah hati untuk memberkatinya dan Biyan dengan keajaiban.

By the way kalau situasinya kayak gini, apa lo bakal nerusin residensi?”

Pertanyaan Indah tadi menyadarkan Adisti akan agenda tersebut. Residensi penulis di Evia, Yunani. Sekitar tiga minggu sebelum kecelakaan, dia sudah mengirimkan persyaratan yang dibutuhkan untuk tahap seleksi. Biyan bahkan mendukungnya, terlepas dari sindiran Salma yang menganggapnya sengaja menghindari program kehamilan.

Ah, barangkali gara-gara itu juga sang ibu mertua terus bersikap sinis padanya.

“Aku… belum tahu. Kalau Mas Biyan belum kunjung pulih, terpaksa aku batal ikut.” Itu juga kalau pihak penyelenggara menyatakannya lolos seleksi. Adisti perlu menunggu sekitar dua minggu lagi untuk mengetahui pengumuman finalnya.

Memikirkan hal ini malah membuat kepalanya semakin berat.

“Eh, aku numpang mandi, ya?” Adisti beranjak dari sofa. Dia berharap kucuran air hangat yang mengaliri tubuhnya akan ikut membilas lelah dan kesedihan yang enggan kepas darinya.

**

Morning, Sayang. Sarapan, yuk, Mama sudah siapkan makanan kesukaanmu.”

“Sepuluh menit lagi, Ma.” Di bawah selimutnya, Biyan menggeliat. “Mau mandi dulu, terus baru nyusul ke bawah.”

“Jangan lama-lama,” pesan Salma sambil menyunggingnya senyum penuh arti. “Mama undang tamu spesial buat makan bareng.”

Mata pria itu memicing. Dalam rangka apa ibunya mengajak orang lain untuk ikut sarapan bersama mereka? Bukan kebiasaan yang sering dia jumpai di rumah tersebut. Kalaupun ada, tamu yang dimaksud pasti klien atau kerabat keluarga dari luar negeri.

Selepas mandi dan ganti pakaian, Biyan menuruni tangga menuju ruang makan yang letaknya menghadap taman belakang dan kolam renang. Tinggal selama tujuh tahun di apartemen pribadi membuatnya agak pangling saat kembali ke rumah Salma yang luas. Sejak ayahnya meninggal, sang ibu memilih sibuk bekerja alih-alih mencari pendamping baru.

Akan tetapi, Biyan merasakan ada sesuatu yang ganjil. Mungkin gara-gara amnesia yang membuat persepsi waktunya agak kacau. Atau mungkin ada sesuatu yang sengaja ibunya sembunyikan darinya.

“Biyan, kenapa kamu berdiri di sana?” Teguran Salma menariknya keluar dari lamunan. “Ayo, hari ini ada gurame goreng kesukaanmu. Ikannya khusus dibawakan tamu kita.”

Mengekori perempuan itu, Biyan bukan hanya disambut aneka hidangan di meja makan. Seorang perempuan berambut hitam panjang tersenyum ke arah mereka, lalu mendekap Salma sebelum mereka bertukar cium singkat di pipi.

I’m glad to see you’re safe,” sosok itu tersenyum hangat saat berhadapan dengan Biyan. “Kamu ingat siapa aku, kan?”

Antara lega dan tak percaya, Biyan serta-merta mengucapkan namanya saat mengenali perempuan itu.

“Utari,” katanya, “it’s been a while.”

*

“Maaf aku agak pendiam. Ingatanku belum benar-benar pulih.” Biyan menengok ke belakang; memastikan Salma benar-benar pamit ke kamar seperti yang dia katakan tadi. “Mama pasti cerita banyak soal kecelekaanku sebelumnya sama kamu.”

“Ya, sayangnya aku lagi di Milan dan enggak bisa ke Jakarta,” ucapnya sebagai konfirmasi. “Benar ingatanmu tertahan sampai tahun 2019?”

“Sayangnya benar. Setiap kali berusaha menggali memori pada tahun-tahun berikutnya, kepalaku malah sakit.” Pada akhirnya, Biyan menyerah sementara waktu karena tak mau efeknya bertambah buruk. “Termasuk nasib hubungan kita, ingatanku mengabur. Apa kita lagi break? Atau sudah putus?”

Sang lawan bicara tampak muram. Pandangannya pun jatuh ke koleksi anggrek bulan yang dipelihara Salma. “Sebenarnya aku sungkan membicarakannya, takut kamu merasa bersalah dan malah bikin memorimu kusut.”

No, no, it’s okay,” tukas Biyan. “Aku belum sempat pegang smartphone, menunggu Mama yang menyiapkan. Satu-satunya langkah yang bisa aku lakukan cuma mengobrol langsung, seperti sekarang.”

“Kalau kamu enggak keberatan mendengarnya, baiklah,” Utari berdeham. “Kita—kita udah lama putus, Biyan, but we remained as good friends.”

Tidak ada kekecewaan, apalagi sedih yang Biyan rasakan saat mendengar pernyataan Utari. Justru dia bersyukur hubungan mereka berakhir baik. “Aku harap kita terus akur sebagai teman. Dengan kondisi seperti ini, aku butuh bantuan orang-orang terdekatku buat mengumpulkan ingatan.”

“Tenang, aku siap direpotkan selama 24 jam, baik sama kamu atau ibumu.”

Saat itulah Salma kembali, membawakan kemasan berwarna putih dengan foto smartphone, lalu menyerahkannya pada Biyan. “Mama belikan juga nomor baru. Di dalamnya ada kontak-kontak penting yang bisa kamu hubungi, termasuk Utari.”

Hati-hati, pria itu membukanya. “Apa nomor dokter itu ada—uh, siapa namanya? Pak Gumilar?”

Senyum semringah ibunya memudar. “Kenapa kamu menanyakan dokter itu?”

“Siapa tahu aku harus ke rumah sakit atau pengen tanya-tanya soal perkembangan pemulihanku—”

“Tidak perlu, itu urusan Mama,” potongnya cepat. Salma pun langsung mengalihkan pembicaraan ke topik yang mengejutkan Biyan.

“Jadi bagaimana, Utari, kamu siap menemani putraku berobat di Yunani?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status