"Memangnya kenapa sih, Mas? Kok kayak panik gitu?" Aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan.
"Em, eh nggak apa-apa kok," kilahnya. Aku tau kalau Mas Bram tengah berbohong.
Ternyata sedingin-dinginnya sikap seseorang kalau dalam keadaan salah tetap akan terlihat aura ketakutannya.
"Ya udah, Mas mau sarapan dulu!" ujar Mas Bram. Terlihat sekali Mas Bram menghindari percakapan.
Aku melipatkan tangan di dada melihat kepergian Mas Bram menuju meja makan, dan tersenyum miring.
"Lihatlah, Mas sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan sepintar-pintar manusia menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, dan bangakai yang kamu simpan saat ini mulai tercium." desisku.
Aku pun segera membangunkan Rania, dan menyusul ke meja makan.
"Em, aku berangkat dulu!" ujar Mas Bram memecah keheningan.
"Kok buru-buru, Mas? Gak dihabisin dulu makanannya?" cercaku melihat gelagat Mas Bram yang terlihat aneh. Sementara
"Apa VIP?" tanyaku kaget, siapa yang melakukannya, apa keluarganya Oma? Siapa sebenarnya Oma Lastri?"Iya, Bu. Bu Lastri sudah dipindahkan ke VIP semalam," ucapnya ramah.Berarti setelah aku pulang, ada yang datang menjenguk Oma dan mengurus semuanya. Aku menghela nafas, syukurlah itu artinya keluarga Oma sudah ada di sini."Ayo, Ma kita temui Oma!" celetuk Rania tiba-tiba, seketika membuyarkan lamunanku."Eh, i-iya, Sayang." Aku membalas ucapannya "Oh iya Kalau boleh tau, Bu Lastri di ruangan nomor berapa ya, Mbak?" tanyaku.Nisa kembali melihat ke layar komputer setelahnya menyebutkan nomor ruangan yang di tempati Oma."Bu Lastri di ruangan 203, Ibu lurus aja dari sini nanti ada belokan ke kanan, nah di situ ada tangga ibu langsung naik aja," jelasnya panjang lebar."Baik, Mbak terima kasih," balasku tersenyum dan kemudian langsung pergi sembari menggandeng tangan Rania.Untung sebelum ke sini sudah membel
"Eh, em ... Enggak kok, Mas!" Aduh mati aku kalau sampai ketahuan, ini belum waktunya."Terus kenapa sampai air mata keluar gitu?" Mas Bram semakin mendekat, membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat. Tamat sudah riwayatku.Aku asal memencet ponselku, hingga tanpa sengaja memutar sebuah video drama korea."I-ini, Mas gara-gara nonton ini!" Aku memperlihatkan layar ponselku, sebuah drama yang entah ada adegan sedihnya atau tidak. Semoga saja Mas Bram percaya dengan alasanku."Hem, dasar emak-emak korban sinetron," ucapnya kemudian yang terlihat jengkel. Tidak apa, asal jangan sampai ketahuan.Aku segera mematikan ponselku dan bangkit dari sofa menuju ranjang, sementara Mas Bram kembali asik dengan ponselnya, sembari rebahan di tempat tidur. Sepertinya, Mas Bram melanjutkan dengan perempuan si*lan itu.Aku pun segera berbaring pura-pura tidur, sambil memikiran kegilaan Mas Bram. Aku harus cari tau siapa perempuan yang berani me
"Waalaikumsalam. Lho, Fatir, Risa kok gak bilang dulu kalau mau kesini, Mama kan bisa nyambut kalian," ucap Mama saat Mas Fatir dan Mbak Risa turun dari dalam mobil."Iya, Ma sengaja. Biar jadi kejutan," balas Mas Fatir sembari tersenyum, lalu menyambut tangan Mama diikuti Mbak Risa."Eyang ...," teriak Galih dan Nadia berbarengan lalu menghambur memeluk Mama, anaknya Mas Fatir dan Mbak Risa. Mama pun balas memeluk kedua cucunya tersebut dengan senang."Duh, cucu-cucu Eyang cantik dan ganteng," puji Mama sambil mencium kedua pipi mereka secara bergantian."Ayo masuk!" ajak Mama setelah kami saling salam-salaman."Gimana kabar, Mama?" tanya Mas Fatir saat kami telah duduk di ruang tamu."Seperti yang kamu lihat, Mama baik." Senyum lebar terkembang dari wajah Mama. Betapa senangnya Mama kedatangan Mas Fatir dan Mbak Risa, binar bahagia begitu kentara dari kedua matanya."Gimana usahanya, lancar?" tanya Mama, berbinar."Alhamdulil
"Udah gak apa-apa, Mbak. Pake ini aja!" Di luar dugaan, Mas Bram malah berucap demikian sembari mengeluarkan kartu ATMnya dan memberikannya padaku. Sepertinya harga dirinya sebagai lelaki masih tinggi, tentunya ia tidak ingin terlihat pelit di depan Abang dan Kakak iparnya. Dalam hati aku tersenyum, iyes.Tanpa menunggu lama aku segera mengambil kartu ATM dari tangan Mas Bram, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini."Ya udah kalau gitu," balas Mbak Risa.Dengan kartu ATM ini, aku berencana membeli segala keperluan yang kemarin sempat tertunda gegara, Mas Bram membelikan ponsel untuk wanita si*lan itu. Kali ini aku akan membeli semua yang ku mau. Lihat saja Mas akan kukuras tabunganmu."Aku pamit dulu ya!" ucapku, Lalu bersiap melangkah menuju kamar untuk mengambil jaket."Nay, Mbak ikut ya!" ujar Mbak Risa.Aku menoleh, lalu mengangguk dan tersenyum. Usai mengambil jaket aku kembali ke ruang tamu."Ayo, Mbak
Mendengar handle pintu kamar ditekan, buru-buru aku kembali menyembunyikan kartu ATMnya ke bawah bantal dan berpura-pura merapikan rambut yang sedikit memang berantakan. Ternyata Mas Bram yang masuk, ia mengernyitkan dahi melihat tingkahku, wajahnya masih nampak kesal, sementara aku masih dengan pura-pura menunjukkan wajah bersalah. Dengan cepat ia mengambil handuk yang menggantung dan berlalu masuk ke kamar mandi. Aku bernafas lega, untung saja tidak ketahuan, dan membuatnya curiga. Ah, Mas Bram andai saja sikapmu tidak seperti itu aku juga tidak akan menjadi seperti ini, tetapi kau yang dulu memulai permainan. Baiklah, Mas akan kuikuti permainan kalian. Sembari menunggu salat Asar aku merebahkan diri di samping Rania, sembari memikirkan rencana kedepannya. Harus siap dengan hal besar yang akan terjadi dalam rumah tanggaku, antara bertahan atau pergi, kelak akan menjadi sebuah pilihan yang harus kujalani. Kepala terasa begitu pening memikirkan semua
Mas Bram pun keluar dari kamar mandi, dengan rambut yang basah. Tergesa aku kembali menaruh ATMnya ke bawah bantal, lalu berpura-pura kembali bersikap seperti biasa, sambil merapikan tempat tidur."Dek, jadi gimana kartu ATM, Mas udah ketemu?" tanya Mas Bram sembari menyisir rambutnya kebelakang.Aku menghentikan aktivitasku, lalu menatap ke arah Mas Bram. "Belum, Mas." ucapku pura-pura sedih, dan menyesal karena telah menghilangkan kartu ATM milik Mas Bram. Dalam hati aku tengah merencanakan sesuatu.Terdengar Mas Bram menghela nafas. "Coba kamu ingat-ingat dimana kamu naruhnya, kartu ATM itu sangat penting buat, Mas," tegas Mas Bram, jelas sekali wajahnya sangat mengkhawatirkan kartu ATMnya entah karena isinya atau takut perempuan su*dal itu ngambek karena tidak dapat transferan.Tentu saja penting, karena perempuan itu, bukan? Tentu saja itu kukatan dalam hati."Iya, Mas ini juga dari kemarin kucari-cari," balasku berpura-pura sibuk mengangakat-
"Hallo, Ibu Naya ini saya Bayu asistennya Bu Lastri," sapanya dari ujung ponsel."Iya, Pak Bayu ada apa?" tanyaku balik."Bisakah, Anda ke rumah sakit sekarang? Bu Lastri ingin bertemu!""Baik, Pak saya akan kesana. Tapi, saya mau izin suami dulu, dan siap-siap," jawabku."Baik, Bu. Terima kasih."Sambungan telpon pun terputus, aku segera mencari nama Mas Bram dalam daftar kontak 'My Husband' untuk meminta izin.[Assalamualaikum, Mas saya minta izin keluar] pesan pun terkirim dengan centang dua. Selama menunggu balasan dari Mas Bram sebaiknya aku mandi saja dulu.Aku kembali meletakkan ponsel dan berlalu menuju kamar mandi. Usai mandi aku segera keluar untuk bertukar pakaian yang sengaja tidak kubawa ke kamar mandi.Sembari mengeringkan rambut, aku mengecek ponsel melihat pesan balasan dari, Mas Bram.[Iya] hanya itu balasannya, tidak ada kata tanya kemana dan sama siapa. Apa karena Mas Bram begitu sibu
"Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mas Bram dengan sinis sembari melipatkan tangan di depan dada, saat jarak kami sudah berdekatan."Dari rumah sakit, Mas jengukin Oma yang kemarin aku ceritain," jawabku apa adanya. Lalu menyuruh Rania masuk terlebih dahulu, Rania pun menurut."Siapa laki-laki tadi, kenapa kalian begitu terlihat akrab?" Mas Bram bertanya penuh intimidasi."Bukan siapa-siapa, Mas!" jawabku jujur."Jangan bohong, kamu. Itu pasti selingkuhan kamu, 'kan?" Suara Mas Bram naik beberapa oktaf."Mas ...," teriakku tak terima karena tuduhannya. Bagaimana bisa Mas Bram berkata demikian, sementara di belakangku dialah yang sebenarnya telah berselingkuh, dan sekarang malah menuduhku."Udah jangan ngelak kamu, itu buktinya apa?" Mas Bram menunjuk paper bag yang kupegang.Aku semakin tergeragap dengan perkataan Mas Bram, antara marah dan bingung mau jawab apa. "Hem, gak bisa jawabkan kamu, ternyata d