Share

Bab. 6. Ruang Operasi

Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama.

"Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu.

"Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya.

"Telpon Lanang dulu, Mak."

"Untuk apa?"

"Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"

Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya.

"Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"

Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi dengan napas memburu.

Lelaki yang memakai kaos berwarna hitam itu hanya bisa menghela napas. Mamaknya memang keras kepala sekali. Mau tak mau dia harus menuruti kemauan itu.

"Terserah Mamak lah. Kalau Lanang marah aku nggak ikut campur."

"Oh, kau mau membangkang sama mamakmu!"

"Iya, nggak. Sana tanda tangan! Ditungguin itu sama perawatnya!" Sandi menarik pelan tangan mamaknya untuk mendekatin perawat itu.

Bayu yang merasa sungkan tak ingin ikut campur pada perdebatan itu. Baginya itu bukan ranahnya untuk ikut campur dalam urusan keluarga orang lain.

"Maaf, ya, Mas," ujar Mak suri pada perawat rumah sakit.

"Iya, nggak apa-apa, Ibu. Saya bisa memakluminya."

"Jadi, ini saya harus tanda tangan dimana, Mas? Duh, aku sudah tak sabar bertemu dengan cucuku, Mas. Mereka harus selamat semuanya, ya. Tolong bantuannya dengan maskimal, Mas!" Mak Suri meminta pena kepada Bayu. Dia sudah tak sabar ingin memberi tanda tangan pada kertas itu.

"Mari ikut saya ke bagian administrasi ya, Bu. Disana Ibu tanda tangannya."

Ketiganya berjalan beriringan ke bagian administrasi yang sedikit lebih ramai. Ada beberapa orang yang mengantri untuk menebus obat, serta mendaftar di bagian BPJS kesehatan.

Bayu meminta beberapa berkas pada bagian di loket pembayaran. Berkas itu sudah siap sebelum mereka meminta persetujuan keluarga pasien. Tanpa berpikir kembali, keduanya mulai membubuhkan tinta berwarna hitam itu pada selembar kertas putih. Setelah semua berkas ditanda tangani, Bayu pun meminta uang muka sebesar 50% untuk biaya operasi.

"Doakan kami semoga proses operasi hari ini lancar, ya, Bu, Mas. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan ketiganya." Sebelum balik ke ruang operasi, Bayu meminta doa pada keluarga Nana.

"Amin. Semoga semuanya lancar, ya, Mas."

"Amin. Terima kasih, Bu. Saya permisi."

.

.

"Lama banget, ya, operasinya."

"Udah jam berapa ini kok belum siap juga operasi itu."

"Sandi mana lagi. Jam berapa ini kok nggak keluar-keluar mereka, sih."

"Mana ini nggak ada orang lewat mau tanya jam."

"Sandi cepetan balik. Panggil mereka kenapa lama sekali operasinya." Mak Suri terus menggrutu sendiri di depan ruang operasi.

Sejak beberapa menit yang lalu operasi itu dimulai, Mak Suri terus bolak balik di depan ruang operasi. Tak sejengkal pun dia meninggalkan ruangan yang masih menyalakan lampu hijau itu di atas pintunya. Kalimat bertuliskan operasi sedang berlangsung pada lampu itu selalu dia lihat. Gerutuannya terus saja terlontar tak sabaran.

Rasa pegal pada kaki yang beralas sandal swalow tak dihiraukannya. Dia takkan tenang jika belum mendengar kabar dari ruangan yang ada di ujung lorong di lantai tiga. Lantunan dzikir dan solawat terus dia ucapkan untuk keselamatan menantu dan calon cucunya.

"Eh, itu ada orang lewat. Aku harus samperin mau tanya jam berapa sekarang."

Tergesah-gesah dia menarik langkah untuk mengejar salah satu pengunjung yang mau turun ke lantai dasar.

"Mas, Mas, saya mau tanya."

"Iya, Bu, mau tanya apa, ya, Bu?" Pengunjung itu menoleh pada Mak Suri. Dia mengabaikan lift yang sudah terbuka pintunya.

"Jam berapa sekarang, Mas?" Mak Suri menunjuk-nunjuk pergelangan tangannya."

"Oh...," Pengunjung berjenis kelamin lelaki itu melihat jam yang ada di tangan kirinya. "Sekarang jam 12 siang, Bu."

"Hah, jam 12 siang!"

"Iya, Bu."

"Oh, ya udah terima kasih, Mas."

"Sama-sama, Bu."

Seraut wajah khawatir itu semakin menyedihkan. Sudah tiga jam lebih operasi itu tak kunjung selesai. Mak Suri semakin lemas. Tak ada kabar apapun dari dalam sana.

"Inilah yang ditakutkan sama Nana. Pantas dia tak mau operasi. Operasi cesar ini banyak resikonya. Gimana kalau terjadi apa-apa sama mereka, ya, Tuhan." Sesunggukan Mak Suri menumpahkan tangisnya. Dia akan merasa bersalah sekali jika operasi itu sampai gagal.

Pada kursi tunggu yang ada di depan ruang operasi, Mak Suri menelungkupkan wajah pada kedua pahanya. Sungguh, kejadian ini semua diluar rencananya. Angan-angan untuk melahirkan secara normal malah pupus ditelan kenyataan.

"Ini semua gara-gara Lanang! Kalau saja dia tak berulah pasti Nana bisa melahirkan normal. Awas kau, Nang! Kau sudah menghancurkan mimpi menantuku! Kau harus membayar semuanya!" sungut Mak Suri menaruh dendam pada anaknya. Rasa kecewanya terlampau parah pada Lanang.

Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi.

"Mak, makan dulu! Jangan mondar-mandir terus. Capek nanti kakinya."

Sandi meletakkan sebungkus plastik berwarna putih di kursi. Dia duduk disana, lalu membuka plastik transparan itu. Seketika aroma khas makanan padang menguar dari bungkusan itu.

Lelaki yang memakai jeans sobek itu baru saja datang setelah ijin keluar dari beberapa menit yang lalu. Dia memutuskan pergi ke musholah dan membeli beberapa cemilan, serta nasi bungkus untuk mamaknya.

"Nanti lah dulu, Bang, Mamak belum lapar. Lama kali operasinya, sih. Coba kau panggil mereka, Bang! Takutnya ada apa-apa, loh, itu."

"Tunggu disini saja, Mak. Mereka nggak apa-apa itu. Kan, bayinya dua jadi susah keluarnya," jawab Sandi berusaha tenang.

Nyatanya dia mulai takut. Operasi itu tak juga selesai.

"Nantilah. Tunggu mereka keluar dari sana," tolak Mak Suri. Tentu dia takkan bisa menelan apapun sebelum kabar baik itu datang.

"Makan sedikit aja, Mak. Nanti asam lambung Mamak kumat lagi. Nana pasti tak mau kalau tau Mamak kayak gini. Ayo makan sedikit saja."

Kembali Mak Suri menggeleng. Dia tak akan makan sebelum kabar baik itu datang. Duduk di kuris kembali yang dia lakukan.

Sandi kembali menghela napas. Mamaknya kalau sudah khawatir pasti nafsu makannya hilang. Akhirnya Sandi membungkus kembali nasi bungkus bertulis rumah makan pagi sore itu dengan karet. Dia simpan bungkusan itu di nakas yang ada di sebelah kursi.

"Mamak ke musholah dulu lah biar tenang pikirannya. Sudah waktunya dhuhur ini," pinta Sandi pasrah. Karena percuma tak ada yang mampu melawan keras kepalanya.

Sandi kembali melihat jam yang ada di meja resepsionis. "Hampir jam setengah satu, Mak. Ke musolah dulu lah! Sholat dulu. Biar aku yang jaga disini."

"Ya udah, Mamak ke mushola dulu. Kau disini aja jangan kemana-mana. Panggil Mamak kalau operasinya udah kelar, ya."

"Iya."

Mak Suri mengangkat bobot tubuhnya dari kursi, ditariknya langkah berat itu ke arah musolah yang ada di lantai dua.

Bersamaan dengan menghilangnya Mak Suri dibalik pintu lift, lampu hijau diatas pintu ruang operasi kembali padam. Pertanda operasi telah selesai.

Bergegas Sandi berdiri. Dia sudah tak sabar ingin melihat keponakannya. Kembali napas lega dia keluarkan. Setidaknya Mak Suri takkan histeris karena melihat keadaan Nana dan cucunya saat pertama kali.

"Semoga saja kabar baik yang aku dengar. Tapi kenapa pintu itu tak kunjung terbuka." Sandi mulai terserang rasa panik yang tak berujung.

Rasa sabarnya sudah diambang batas, karena pintu itu tak kunjung terbuka. Ingin rasanya dia melabrak dokter itu yang terasa lambat menangani satu pasien.

"Emrgency! Emergency! Permisi Pak mau lewat! Pasien di dalam tak bisa menunggu lagi! Maaf permisi!"

Bersambung....

🍁🍁🍁🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status