Aku diam sejenak, di depan pintu lift. Teringat apa yang dikatakan Pak Sakti.
"Saya tunggu makan siang. Cepat naik!"
Dia bilang, naik ke atas. Jadi ada dua kemungkinan tempat makan, cafetaria di lantai sembilan atau top party di rooftop. Paling tepat cafetaria lantai di sembilan.
Sip! Aku ke cafetaria. Tantangan cemen seperti ini, kalau salah membuat malu sekampung.
Tring
Pintu lift terbuka, aku langsung masuk, sendiri. Pencet naik angka sembilan. Pintu tertutup dan jalan.
Terpantul bayanganku dari dinding yang full stainless, tinggi semampai berambut panjang, dan wajah lumayan tidak jelek. Hanya sering kali orang sekitarku mengatakan aku kurang riasan, terlihat pucat, kalau ibu bilang lebih sadis, 'nglubut' tingkatan diatasnya dekil. Untung secara fisik menyerupai Ibu yang dulunya kembang desa, putih dan ayu. Kalau mirip Bapak bisa-bisa harus pakai lampu karena terlalu gelap, itu becandaan Ibu kalau menggodaku.
Karenanya sering diomeli, supaya kelihatan fashionable aku warnai rambutku menjadi terang. Lumayan membantu, aku tidak harus melukis wajahku seperti perempuan lainnya. Cukup kaca mata hitam menambah gaya penampilanku.
Tring
Sudah sampai di tujuanku, pintu terbuka dan harum makanan menguar di hidungku. Perutku yang sedari tadi bergejolak lapar, sekarang bertambah dengan air liur memenuhi mulut ini.
Aku edarkan pandangan mencari Pak Sakti. Design tempat ini terlihat asri, sesaat kita lupa kalau kita di lantai atas. Tanaman hijau ada dimana-mana dan terbentang jendela kaca lebar dengan pemandangan gumpalan awan biru dan putih.
Indah.
"Litu!"
Kepala Pak Sakti melongok keluar dari tanaman penghias ruangan yang rimbun. Aku tersenyum dan menghampirinya.
"Terlambat dua puluh lima detik!" ucapnya melihat jam di tangannya. Mataku membulat mendengarnya, aku di kasih waktu untuk ke sini?
"Eit! Kami jangan melotot! Matamu tambah lebar seperti ikan Maskoki!" selorohnya dan tersungging senyum di bibirnya. Dia menunjuk tempat duduk di depannya untuk aku duduki.
"Makanan sudah aku pesan. Duduk saja!"
"Memang Pak Sakti tahu, saya mau makan apa?"
"Di sini cuma ada satu menu."
Aku iyakan saja ucapannya, dari bau yang aku endus seperti banyak sekali yang tersedia di sini. Yah, sementara ucapan senior adalah kebenaran yang hakiki.
"Kamu aku test dengan banyak cara, tadi salah satunya. Ketepatan waktu. Pekerjaan ini membutuhkan waktu yang tepat dengan kemungkinan waktu meleset sedikit mungkin. Mengerti?!" ucapnya.
Aku anggukkan kepala untuk mengiyakan dan beralih perhatianku ke hidangan yang sudah datang. Nasi putih dengan lauk menggunung mengunci pandangan mataku.
"Kamu lapar?"
"Iya, Pak!" jawabku asik mengelap sendok dan garpu dengan tissue sebelum aku gunakan.
Aku mendongakkan kepalaku setelah menyadari hanya denting sendok garpuku saja yang berbunyi.
"Pak Sakti tidak makan?" Dia menatapku dengan tersenyum.
"Saya baru tahu sekarang, ada perempuan cantik yang makannya seperti Samson," selorohnya.
"Siapa? Saya? Saya cantik?" ucapku sambil menunjuk diriku sendiri.
"Besar kepala kamu!" ucapnya langsung beralih mengambil sambal yang tersedia di meja dan makan hidangan yang tersaji tanpa melihatku lagi.
Aman.
Makanku tidak terganggu dengan test nya yang aneh. Dalam satu hari, julukanku sudah berganti dari kucing kecil menjadi Samson. Pak Sakti ini lama-lama lucu.
Sikap laki-laki terhadap wanita tergantung dari respon wanita itu sendiri. Kalau kita menanggapinya biasa, mereka akan segan dengan sendirinya. Apalagi di dunia yang aku geluti sekarang ini, mayoritas laki-laki dengan gaya keras, kasar, termasuk sikap genit dengan perempuan.
Dulu ketika kuliah, aku sering ikutan teman-teman menggunjingkan mahasiswi cantik fakultas lain. Seperti lupa kalau aku ini perempuan juga.
Begitulah kalau berteman dengan laki-laki. Aku sudah biasa.
***
"Pak Sakti, saya permisi dulu," ucapku setelah melihat jam di dinding pukul lima sore.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang. Sudah jam pulang, kan?" Tadi setelah dari makan siang, aku dipanggil bagian personalia. Dijelaskan semua peraturan termasuk jam kerja.
"Litu. Dari awal sudah saya bilang, kamu harus mengikuti kemanapun saya pergi. Kok kamu sekarang mau pulang?" ucap Pak Sakti.
"Maksudnya? Saya ikutan pulang ke tempat bapak?" tanyaku melemparkan candaan. Lama-lama aneh, nih orang.
"Bukan dodol! Kita masih ada pertemuan dengan team sipil nanti malam, jadi kamu harus ikutan!" teriaknya sambil melempar remasan kertas ke arahku.
"Tapi, Pak. Itu masih nanti malam, sekarang masih jam lima sore. Boleh saya pulang dulu?" tanyaku sambil berpikir.
Perjalanan pulang tiga puluh menit, pulang pergi satu jam. Sedangkan pertemuan jam tujuh tiga puluh malam.
Aaah, terlalu mepet.
"Kalau kamu mau istirahat, ikut aku. Ada ruangan khusus untuk istirahat sementara," ucapnya sambil berkemas juga.
Aku mengangguk dan mengikutinya. Bagaimanapun Pak Sakti satu-satunya temanku sekarang.
***
Ruangan ini ada di paling ujung, masih dalam satu lantai. Seperti apartemen, di dalamnya ada ruangan santai dan terdapat beberapa kamar.
Kamar?
"Litu, ini tempat kami istirahat kalau terpaksa harus lembur. Kamu gunakan kamar yang di sana. Ini dulunya contoh interior apartemen, makanya lengkap. Kalau ingin membersihkan badan, ada toilet dan peralatan di sana. Semuanya bersih, kok!" ucapnya langsung meninggalkanku yang masih mengedarkan pandangan di seluruh ruangan.
Jangan-jangan ada kamera tersembunyi atau apa begitu. Aku harus waspada.
"Litu! Disini aman!" teriak Pak Sakti kembali membuka pintu kamar yang dia gunakan.
"Eh-eh, iya, Pak!"
"Cewek memang ribet!" gerutunya terdengar samar.
Aku langsung bergegas masuk di kamar yang dimaksud. Kamarnya bagus bersih, ada toiletnya. Badanku yang lengket karena debu ketika membereskan meja tadi, membuatku ingin segera membersihkan badan. Ada handuk, baju mandi, peralatan mandi lengkap, seperti penginapan.
Sip! Segera aku membersihkan badan.
Aku gunakan piyama tidur yang tergantung di lemari. Terasa merdeka, melepas semua atributku dalam keadaan badan bersih.
***
Tok ... tok ... tok ....
"Litu! cepet keluar!" Suara Pak Sakti.
Masih satu jam lagi, pikirnya. Setelah salat magrib, rencanaku ada waktu sedikit untuk selonjoran kaki. Karenanya, aku belum bersiap.
Aku membuka pintu, dan terlihat Pak Sakti didepanku dengan penampilan yang segar. Lengan kemeja panjangnya dilipat sampai siku, terlihat santai apalagi rambutnya yang sedikit basah sebagian berantakan menutupi dahinya.
Pak Sakti terdiam, matanya membulat menatapku, tidak berkedip. Aku mengeryitkan dahi menatapnya balik.
"Litu! Cepat bersiap, aku tunggu di ruang makan!" teriaknya langsung memalingkan muka dariku dan bergegas meninggalkanku.
Astaga!
Tanpa sadar aku tadi keluar dengan masih menggunakan piyama saja. Itu tidak baik, karena ada yang berbayang di sana.
Malunya, aku!
*****
Menahan rasa malu, aku langsung bergegas bersiap. Merapikan baju, rambut dan berias sedikit. Hanya bedak tipis dan lip gloss. Aku harus menjelaskan ke Pak Sakti, jangan sampai dia menganggapku menggodanya.Pak Sakti duduk di ruang makan, sudah ada makanan terhidangkan di sana. Ternyata, panggilan tadi untuk makan. "Pak Sakti, maaf tadi saya tidak sengaja. Bukan bermaksud untuk ....""Sudahlah. Saya sudah hafal dengan anatomi. Tidak usah dijelaskan, saya sudah kebal! Kalau tidak, sudah saya terkam kamu tadi!" ucapnya dengan tertawa. Aku pun ikut tertawa kikuk. Jangan-jangan Pak Sakti ini ....Ah, biarlah. Kalaupun iya, itu bagus untukku.Kami langsung menghabiskan makanan di depan kami, nasi uduk dengan lauk ayam goreng.***Setiba di ruang meeting, sudah berkumpul para tenaga sipil. Dari kepala proyek, kepala pengadaan barang sampai mandor. Kali ini, kami mengadakan pertemuan tentang proyek yang masih berjalan. Sebenarnya, aku belum mempunyai andil apapun dipertemukan, tetapi ini
Aku memantaskan diri di cermin. Mengenakan setelah celana kain berwarna merah maroon lengkap dengan blazernya. Dilengkapi dengan kemeja merah muda dengan renda di bagian dada. Terlihat simple tetapi fashionable. Sengaja sebelum berangkat ke Jakarta, aku memesan beberapa stel baju ke Alysia-teman kos ketika kuliah dulu. Saat ini dia mengembangkan butik warisan keluarga di ibu kota ini. Awalnya, aku merencanakan hanya tinggal sementara di tempat sahabatku itu sebelum mendapat tempat yang cocok. Namun, rencana diambil alih olehnya dengan berbagai alasan. Termasuk, tidak tega melepasku di kota besar ini. "Litu! Di sini jangan disamakan dengan Jogja, yang model orangnya santai. Kemana-mana pakai sandal jepit masih dihargai. Di sini, penampilan nomor satu. Kamu akan dilirik orang, kalau penampilanmu menarik. Setelah itu, baru kualitas kamu akan mendapatkan kesempatan untuk dinilai!' terangnya ketika aku baru sampai. Terdengar ngeri mendengar penjelasnya. Kalau tidak karena panggilan ke
Entah mengapa, setelahnya kami pun terdiam, hingga orang di lift sudah tinggal kami berdua. Setelah sampai di lantai tujuan, aku mengikuti Pak Sakti menuju ke ruangan kami. Tiba-tiba, dia berhenti dan membalikkan badan ke belakang. "Kamu kenapa berjalan di belakangku? Kita jalan seperti bebek dengan anaknya!" selorohnya dengan tertawa kecil. Aku menatap wajahnya dan ikut tertawa setelah memastikan tidak ada apa-apa karena kejadian tadi. "Kita jalan sambil berbincang. Ingat, kira rekan kerja bukan baginda raja dan bawahannya," ucapnya berjalan melambat mensejajari aku. "Siap, Pak!" ucapku bersikap kembali seperti semula. Saat ini, aku masih menjajaki Pak Sakti. Apakah dia termasuk golongan seperti rekan kampusku dulu, yang melihat kami bukan berdasar gendre, atau seperti laki-laki pada umumnya. "Bagus penampilanmu saat ini, daripada kemarin. Baju baru?" tanyanya, menoleh ke arahku. "Ini karena sahabatku, Alysia namanya. Kami tinggal bersama dan dia di sini mempunyai butik. Kar
"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?" Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini. 'Siap!'* "Kamu tidak usah kawatir. Siapapun dia, kita tetap sama. Sama-sama makan nasi!" kelakar Mas Sakti. "Saya tidak kawatir," elakku. "Tapi takut, kan?" ledeknya sekali lagi. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Persiapan mental, itu yang utama. Kalau keilmuan atau kreatifitas sudah ada di genggaman. Setiap di tempat kerja, aku mempunyai misi. Seorang perempuan pun berhak dan bisa menjadi seorang arsitek dengan kemampuan yang bisa diperhitungkan. Itulah yang menjadi semangat dan kekuatanku menghadapi siapapun di bidang ini. "Kita ke sana sekarang. Dia paling tidak suka dengan ketidaktepatan waktu," ingat Pak Sakti. "Kan Pa
"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku."Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.'Aduh!'"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh."Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu."Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya."Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu."Kenapa, Litu?" "Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk m
Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan. "Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku. "Pagi Pak Sakti!" sapaku. "Hlo, kok Pak?" tanyanya heran. "Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku. Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya? "Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap. Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan m
"Kamu kenapa, Litu?" suara berat terdengar di sebelahku, membuatku kaget. Hampir saja ponsel di tanganku terpental. Ternyata kalau bersuara lirih, kedengaran di telinga berbeda. Ada rasa menggelitik di hati ini, menyelusup dan gimana gitu."Ti-tidak, Pak. Tadi minum kopi terlalu kental," jawabku asal nyomot. Tidak mungkin aku berterus terang penyebab sebenarnya. Bisa jadi, aku langsung di pecat. "Sakti, tadi kalian minum kopi tanpa makan apapun?!" tanyanya dengan suara agak keras. "Iya, tadi kita tunggu lebih setengah jam sambil minum kopi. Yang lebih kasihan itu Litu. Karena terlalu bersemangat, datangnya lebih awal. Pasti dia tidak sempat sarapan!" seloroh Mas Sakti berbalas pelototan mata dariku. Sialan aku dijadikan alasan. "Baik, aku minta maaf sudah terlambat. Kamu mau makan pagi apa, Litu? Saya traktir," ucapnya dengan menatapku. Aku langsung menatapnya balik, beneran yang bicara barusan si Vampir itu? Minta maaf? Dan, dengan suara pelan lagi. Lebih enak didengar tetapi te
"Ada apa, Sakti? " Suara yang menjadi mimpi buruk membuat badanku kaku seketika. ‘Duh, kenapa sampai ketahuan Si Vampir?’ Mas Sakti tertawa melihat wajahku yang memberi kode untuk tidak berkata sejujurnya. Alih-alih menutupi apa yang terjadi, dia justru berkata yang tidak-tidak. “Litu kawatir kalau aku tinggal dia pulang dengan siapa. Takut kamu tinggal. Kamu akan menunggunya, kan?” ucap Mas Sakti membuat mataku semakin melotot ke arahnya. Kenapa dia justru berkata kebalikannya? Bikin malu saja! “Ti-tidak, Pak. Saya tidak bilang seperti itu,” ucapku sembari membalikkan badan. Namun, yang dituju justru sudah melangkahkan kaki menjauh dari kami. ‘Ish … dasar bos tidak punya sopan santun. Orang belum selesai bicara sudah diringgal pergi!’ gerutuku dalam hati. *** Setelah beberapa waktu kami sibuk menggali data. Aku berbincang dengan Kepala Proyek, Mas Sakti sudah pergi dengan penanggung jawab pembangunan aparteman, sedangkan Pak Mahendra terlihat sibuk dengan ponselnya. "Bu Li