Entah mengapa, setelahnya kami pun terdiam, hingga orang di lift sudah tinggal kami berdua.
Setelah sampai di lantai tujuan, aku mengikuti Pak Sakti menuju ke ruangan kami. Tiba-tiba, dia berhenti dan membalikkan badan ke belakang.
"Kamu kenapa berjalan di belakangku? Kita jalan seperti bebek dengan anaknya!" selorohnya dengan tertawa kecil. Aku menatap wajahnya dan ikut tertawa setelah memastikan tidak ada apa-apa karena kejadian tadi.
"Kita jalan sambil berbincang. Ingat, kira rekan kerja bukan baginda raja dan bawahannya," ucapnya berjalan melambat mensejajari aku.
"Siap, Pak!" ucapku bersikap kembali seperti semula.
Saat ini, aku masih menjajaki Pak Sakti. Apakah dia termasuk golongan seperti rekan kampusku dulu, yang melihat kami bukan berdasar gendre, atau seperti laki-laki pada umumnya.
"Bagus penampilanmu saat ini, daripada kemarin. Baju baru?" tanyanya, menoleh ke arahku.
"Ini karena sahabatku, Alysia namanya. Kami tinggal bersama dan dia di sini mempunyai butik. Karena itulah saya menjadi korbannya," jelasku.
"Oh karena dia. Akhirnya tinggi kita menjadi sama!" ucapnya dengan tersenyum miring seperti menyindir kejadian tadi.
"E-e, tadi itu. Maaf saya tidak sengaja." Dia tidak merespon perkataanku. Dia memasuki ruangan dan duduk di meja kerjanya. Beberapa saat, kami asik dengan aktifitas masing-masing.
"Litu! hari ini kita mulai kerja yang sebenarnya!" teriaknya, berdiri dan menghampiriku.
"Sebelumnya, kita harus clearkan tentang hubungan kita!"
"Hubungan kita?!" ucapku mendongakkan kepalaku kepada Pak Sakti yang berdiri di seberang meja.
"Litu! Kita adalah rekan kerja. Aku tidak menganggap atau melihatmu sebagai perempuan. Jadi jangan tersinggung atau sakit hati kalau saya bersikap atau berkata kasar kepadamu. Begitu juga kamu! Jangan sungkan kepadaku. Walaupun aku seniormu, disini kita mengembangkan kreatifitas, jangan sampai senioritas menjadi langkah kita terganggu. Mangerti!" terangnya dengan menatapku tajam.
Aku langsung tersenyum lega. Akhirnya aku mendapatkan rekan kerja yang aku inginkan.
"Baik! Saya menerima dan sangat senang dengan hal ini. Jadi saya tidak canggung lagj dengan Pak Sakti. Ternyata bapak lebih asik daripada yang saya bayangkan!" ucapku sambil tertawa kecil.
"Huus! Satu lagi, kamu jangan panggil saya pak atau bapak. Aku tidak setua itu!" ucapnya dengan melempar penghapus pencil ke arahku.
"Panggil saya Mas Sakti, kecuali ketika meeting dengan divisi lain atau bertemu costumer!" tambahnya.
"Siap, Mas Sakti!" teriakku senang.
*Kami langsung berdiskusi tentang rancangan yang akan kami kerjakan ini. Perusahaan menginginkan kami menterjemahkan keinginan mendiang pimpinan. Beliau adalah kakek dari Pak Mahendra Haryanto.
"Itu tugas kita untuk itu. Arsitektur itu ibarat menulis. Kita harus menuangkan dalam rancangan bangunan. Sehingga nantinya ketika seorang melihatnya akan mengerti apa yang yang tersirat di sana!" jelas Sakti yang mulai saat ini Mas Sakti.
"Iya saya mengerti!"
"Karena itu, Mahendra memilih karyamu karena menilai kau mempunyai ide tidak terbatas!"
"Tetapi, kenapa Pak Mahendra seperti keberatan menerima saya?" tanyaku setelah mengerti prosesnya."Iya. Karena dia tidak tahu kalau yang dipilihnya seorang perempuan," jelasnya.
"Jadi dia memilihku berdasarkan portfolio saya, kan?"
"Iya betul. Dia menganggap kemampuan kamu bisa memperkuat team kami dan mengerti tujuan pembanguan ini!"
"Iya begitulah Mas Sakti. Saya mengerti itu. Arsitektur bukan sekadar membuat tempat berteduh, melainkan tempat yang membuat kita tertarik dan berpikir jauh ketika melihatnya. Saya sudah siap," timpalku.
"Untuk konsep dasarnya, siang ini kita ada meeting dengan Mahendra. Dia akan menceritakan tentang keinginan kakeknya," kata Mas Sakti.
"Maaf, saya ingin tanya. Sebelum bertemu langsung dengan Pak Mahendra."
"Apa?"
"Ada masalah apa beliau tidak menyukai perempuan sebagai anggota teamnya?" Pertanyaan yang dari awal berputar di kepalaku, semenjak menginjakkan kaki di perusahaan ini
"Iya itu, karena ada masalah pribadi. Dia pernah mempunyai masalah besar dengan salah satu manager perempuan di sini dan berakhir manager itu keluar dari sini. Sejak itu, karyawan yang berhubungan langsung dengannya tidak ada yang perempuan!"
"Sudah lama?"
"Lumayan lama. Kamu perempuan pertama setelah sepuluh tahun terkahir ini .... Kenapa?! Kamu takut menghadapinya?" tanyanya sambil memiringkan kepala.
Aku menggelengkan kepalaku. ini sebuah tantangan. Aku harus mematahkan pemikirannya.Treeet .... Treeet ....
Interkom berbunyi dan langsung mengangkatnya."Halo, dengan Litu di sini. Bisa saya bantu?"
"Halo, saya sekertaris Pak Mahendra. Memberitahukan, pertemuan diajukan. Tolong ke ruangan ini sekarang," ucapnya dan menutup telponnya.
Huuft, sekertaris dengan bos sama modelnya. Sama-sama kaku. Tidak ada basa-basi apa kek, langsung to the point. Mungkin model seperti ini yang disukai Pak Mahendra. Bisa aku bayangkan seberapa tidak asiknya dia.
Aku meletakkan gagang interkom dan berpaling ke arah Mas Sakti.
"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?"
Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini.
'Semangat!'
*****"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?" Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini. 'Siap!'* "Kamu tidak usah kawatir. Siapapun dia, kita tetap sama. Sama-sama makan nasi!" kelakar Mas Sakti. "Saya tidak kawatir," elakku. "Tapi takut, kan?" ledeknya sekali lagi. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Persiapan mental, itu yang utama. Kalau keilmuan atau kreatifitas sudah ada di genggaman. Setiap di tempat kerja, aku mempunyai misi. Seorang perempuan pun berhak dan bisa menjadi seorang arsitek dengan kemampuan yang bisa diperhitungkan. Itulah yang menjadi semangat dan kekuatanku menghadapi siapapun di bidang ini. "Kita ke sana sekarang. Dia paling tidak suka dengan ketidaktepatan waktu," ingat Pak Sakti. "Kan Pa
"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku."Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.'Aduh!'"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh."Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu."Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya."Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu."Kenapa, Litu?" "Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk m
Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan. "Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku. "Pagi Pak Sakti!" sapaku. "Hlo, kok Pak?" tanyanya heran. "Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku. Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya? "Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap. Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan m
"Kamu kenapa, Litu?" suara berat terdengar di sebelahku, membuatku kaget. Hampir saja ponsel di tanganku terpental. Ternyata kalau bersuara lirih, kedengaran di telinga berbeda. Ada rasa menggelitik di hati ini, menyelusup dan gimana gitu."Ti-tidak, Pak. Tadi minum kopi terlalu kental," jawabku asal nyomot. Tidak mungkin aku berterus terang penyebab sebenarnya. Bisa jadi, aku langsung di pecat. "Sakti, tadi kalian minum kopi tanpa makan apapun?!" tanyanya dengan suara agak keras. "Iya, tadi kita tunggu lebih setengah jam sambil minum kopi. Yang lebih kasihan itu Litu. Karena terlalu bersemangat, datangnya lebih awal. Pasti dia tidak sempat sarapan!" seloroh Mas Sakti berbalas pelototan mata dariku. Sialan aku dijadikan alasan. "Baik, aku minta maaf sudah terlambat. Kamu mau makan pagi apa, Litu? Saya traktir," ucapnya dengan menatapku. Aku langsung menatapnya balik, beneran yang bicara barusan si Vampir itu? Minta maaf? Dan, dengan suara pelan lagi. Lebih enak didengar tetapi te
"Ada apa, Sakti? " Suara yang menjadi mimpi buruk membuat badanku kaku seketika. ‘Duh, kenapa sampai ketahuan Si Vampir?’ Mas Sakti tertawa melihat wajahku yang memberi kode untuk tidak berkata sejujurnya. Alih-alih menutupi apa yang terjadi, dia justru berkata yang tidak-tidak. “Litu kawatir kalau aku tinggal dia pulang dengan siapa. Takut kamu tinggal. Kamu akan menunggunya, kan?” ucap Mas Sakti membuat mataku semakin melotot ke arahnya. Kenapa dia justru berkata kebalikannya? Bikin malu saja! “Ti-tidak, Pak. Saya tidak bilang seperti itu,” ucapku sembari membalikkan badan. Namun, yang dituju justru sudah melangkahkan kaki menjauh dari kami. ‘Ish … dasar bos tidak punya sopan santun. Orang belum selesai bicara sudah diringgal pergi!’ gerutuku dalam hati. *** Setelah beberapa waktu kami sibuk menggali data. Aku berbincang dengan Kepala Proyek, Mas Sakti sudah pergi dengan penanggung jawab pembangunan aparteman, sedangkan Pak Mahendra terlihat sibuk dengan ponselnya. "Bu Li
"Litu! Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Mas Sakti setiba aku di ruangan. Dia sudah sibuk di balik meja kerjanya dengan setumpuk berkas dihadapannya. "Tidak apa-apa bagaimana? Tadi saya mempertaruhkan nyawa!" jawabku sambil menghempaskan tubuh ini di kursi kerjaku. Dia langsung berdiri dan menghampiriku."Tadi kamu bertemu dengan Siska? Anak lapangan memberi tahu tadi." Jadi kejadian tadi sudah menyebar kemana-mana. Pantas saja, mereka bersikap seperti itu. Menatapku seakan menjadi tersangka pada sebuah kejadian."Siska? Perempuan itu, namanya Siska? Mas Sakti kenal?" tanyaku dan menegakkan dudukku. Jiwa penasaranku langsung bangkit, aku tatap Mas Sakti menuntut penjelasan."Kenapa? Kenapa kamu melotot kepadaku?" tanyanya dengan memundurkan wajahnya."Mas, ayolah. Beri saya penjelasan. Saya bisa mati penasaran kalau nantinya dicelakainya. Mas Sakti mau saya hantui?!" ucapku sambil menyeringai ke arahnya. Dia malah tertawa."Kamu sudah siap jadi hantu demi Mahendra? Hahaha ..." ledeknya
"Weee! Melamun saja!" teriak Alysia mengagetkan aku. Entah kapan dia pulang ke rumah. Tiba-tiba sudah nongol di pintu kamar. Dia menghampiriku yang berbaring malas di tempat tidur. "Main, yuk! Pusing, aku!" teriaknya sambil meloncat berbaring di sebelahku. "Tumben pusing. Biasanya kamu orang yang tidak pernah pusing?" tanyaku melihat mukanya yang cemberut. Dari kuliah dulu, dia memang seperti ibu peri. Tempat berkeluh kesah dan pemberi semangat, dan sekarang kelihatan seperti orang kalah. "Kesal saja, ngadepin pelanggan yang ngeselin! Seperti dia saja yang punya uang. Gemes aku!" teriaknya sambil menggoyang-goyangkan kaki ke atas. Katanya kalau kesal, cara membuang energi dengan olah raga. Termasuk gerakan dia sekarang ini. Ada-ada saja! "Kalau gemes, cubit aja pipinya!" celetukku sambil tertawa. "Pipinya sudah kempot, Say! Sudah tua, tapi otaknya tidak jalan!" keluhnya. "Siapa, sih?!" tanyaku dengan memiringkan badan ke arahnya. Alysia mendapat pelanggan baru, orang berduit
Astaga!Dia perempuan yang berbaju merah yang membuatku takut tadi!Siska, mantan Pak Mahendra.Aduh ...!Bagaimana ini?Tanganku mendingin, ingatanku dengan wajah marahnya terbayang jelas. Bagaimana kalau dia bertemu denganku lagi? Bisa jadi aku dicincangnya. Ingatan itu membuatku begidik.Aku langsung menarik kepalaku dan meringkuk bersembunyi di balik tanaman tinggi. Alysia mengikuti apa yang aku lakukan."Kenapa kita bersembunyi?" tanya Alysia memegang tanganku. "Litu, kenapa kamu terlihat takut?" tanyanya sekali lagi "Ssstt ...! Dia itu Siska, yang aku ceritakan tadi," ucapku dengan berbisik. "Apa!" teriak Alysia kaget dan aku membungkam mulutnya sebelum bersuara keras lagi. "Ssstt ...!"Keributan itu masih terjadi, pegawai yang sepertinya supervisor tidak mampu menanganinya. Dia malah semakin menjadi, pegawai itu dibuatnya mati kutu. Dia baru berhenti setelah ada laki-laki berjaket kulit warna hitam, menghampiri mereka. Dia bersama beberapa laki-laki berbaju senada, hitam. Be