Sepanjang hari ini Fiona masih menjalankan rutinitas hariannya seperti biasa. Setelah pulang dari kantor paling lambat pukul enam sore, dia menyempatkan diri untuk mampir ke sembarang cafe atau restauran untuk makan malam yang sudah menjadi kebiasaannya baru-baru ini. Dia pun baru tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul 8 malam. Meski dia tahu bahwa tidak ada lagi mobil Mercedes-Benz hitam metalik itu terparkir di garasi, Fiona tetap memarkirkan mobil bututnya di bahu jalan depan pagar rumahnya. Sebelum melangkah ke dalam rumah, Fiona terlebih dulu mengatur wajahnya agar tidak terlihat terlalu bahagia. Dia membuat wajahnya sedatar mungkin sebelum membuka pintu ruang tamu. "Kok mobil itu bisa hilang sih?!" suara tinggi ibu mertuanya membuat Fiona sedikit ragu untuk terus melangkah. "Aku dirampok, Bu!" keluh Mbak Zoya dengan suara tersedu-sedu. "Kok bisa kamu dirampok siang-siang bolong? Emang kamu habis darimana aja?!" sentak ibu mertuanya dengan kejam. Sama sekali tidak
[Bagianmu sudah aku transfer!]Fiona membaca pesan dari Naura yang masuk ke ponselnya dengan senyum sumringah. Tanpa basa-basi dia langsung mengintip saldo ATM melalui m-banking yang ada di ponselnya. Ada ratusan juta rupiah uang yang masuk ke dalam rekeningnya membuat mata Fiona hijau. Senyum di wajahnya juga tak terhindarkan semakin mekar. "Mau aku traktir apa?" tanya Fiona pada Igor yang terlihat begitu fokus pada dokumen yang ada di atas meja kerjanya. Ya! Saat ini dia lagi-lagi terdampar di ruangan bosnya. Hal ini terjadi lantaran Freya yang beberapa hari belakang ini sibuk berurusan dengan kliennya. Terlalu membosankan bagi Fiona untuk menghabiskan waktu makan siang seorang diri. "Dalam rangka apa nih?" tanya Igor sambil mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sudah sangat menyita perhatiannya ini. "Keberhasilan morotin uang Jaya? Aku mau ngajak kamu menikmati hasil rampasanku!"Senyum di wajah Igor semakin dalam ketika melihat betapa girangnya Fiona saat ini. Untu
Sementara menunggu Igor selesai memasak, Fiona duduk di kursi meja makan dengan patuh. Dalam rangka membunuh waktu, dia memilih untuk bermain dengan ponselnya. Semua media sosial dia buka untuk melihat postingan baru beberapa kenalan serta berita-berita yang memang sedang viral di kalangan masyarakat. Setelah men-scroll layar ponselnya bolak-balik, Fiona diterpa kebosanan. Tidak ada hal menarik yang dia temukan selain sambatan orang-orang tentang kehidupan penuh liku yang mereka jalani. Entah itu terkait dengan sekolah, maupun kehidupan di dunia kerja yang begitu menguras energi. Fiona mematikan layar ponselnya, dan meletakkan benda pipih yang masuk dalam kategori barang penting itu di atas meja. Sambil menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku, Fiona kembali beranjak menuju balkon. Dia untuk sementara mengabaikan aroma harum daging panggang yang sudah memicu kelenjar ludah di dalam mulutnya. Semilir angin malam menerjang tubuh Fiona sesaat setelah dia membuka pintu penghubung balkon
Ruang makan yang hanya dihuni oleh dua anak manusia itu diselimuti keheningan. Baik Igor maupun Fiona terlarut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar mengisi latar belakang. "Walaupun aku tidak bisa memberikan jaminan apa-apa, tapi aku tetap tidak akan menyerah!" Igor berucap setelah kebisuan yang lama. Fiona tidak memberikan tanggapan apapun. Hanya matanya yang menatap penuh arti pada pria di depannya. "Adanya perbedaan status sosial memang sulit untuk diarungi, tapi bukan berarti tidak mungkin 'kan?" Igor melanjutkan dengan mantap. Fiona kemudian menganggukkan kepala melihat kepercayaan diri ini. "Lalu, jika semisal kamu disuruh memilih antara aku atau keluarga kamu, siapa yang akan kamu pilih?" tanya Fiona. Dia hanya sekedar ingin tahu bagaimana pria ini akan menjawab pertanyaan yang sarat akan dilema ini. Dia tidak begitu naif berharap bahwa dirinya akan dijadikan pilihan pertama, dan yang paling utama. Anggap saja dia sedang menguji b
Fiona tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Ada satu jam lebih lambat daripada biasanya."Assalamu'alaikum." ucap Fiona memberi salam. Hening, Jam sembilan malam, rumah masih dalam kondisi terang benderang. Suara dialog orang dari televisi terdengar menyambangi indera pendengaran Fiona yang sedang mengunci pintu ruang tamu. Akan tetapi, tidak ada yang membalas salamnya. Fiona sendiri tidak mau peduli. Setelah mematikan lampu ruang tamu untuk menghemat listrik, dia terus melangkah menuju ruang tengah dengan langkah cuek. "Kamu darimana aja jam segini baru pulang?" tanya Mas Jaya yang tumben-tumbenan menyapanya. "Lembur di kantor." jawab Fiona acuh tak acuh. Dia bahkan tidak mengalihkan perhatiannya pada Mas Jaya yang sedang berada di ruang tengah, dan terus berjalan ke arah kamarnya sendiri. "Dulu kamu gak pernah tuh lembur-lemburan. Kok sekarang aku liat kamu banyak lemburnya." tegur Mas Jaya yang membuat Fiona menggulung matanya. "Sekarang dan dulu jelas be
Satu hari lagi berlalu,"Mas, kamu masih marah sama aku gara-gara mobil itu?" pertanyaan yang terdengar centil itu memasuki telinga Fiona yang baru saja pulang kerja. "Sedikit!" suara Mas Jaya menjawab. "Aku benar-benar minta maaf, Mas. Aku beneran dirampok!" Mbak Zoya mencoba menjelaskan dirinya dengan nada memelas. "Haaahh~" Mas Jaya terdengar menghela nafas. "Mau gimana lagi? Benar kata Aruna, kalau mobilnya sudah hilang, akan susah kembali lagi," pungkas Mas Jaya dengan nada datar. Fiona yang berjalan lambat membelah ruang tamu menggeram kesal saat mendengar nada santai meluncur mulus dari bibir pria yang masih menjadi suaminya itu. Terlebih lagi karena nada ini terdengar seolah-olah pria itu tidak peduli lagi dengan mobil baru yang hilang. "Sialan! Giliran aku yang menghilangkan barang, pasti diamuk sama dia!" dumel Fiona yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Meski perasaan jengkel masih menguasinya. Fiona tetap saja tidak bisa berhenti membandingkan perlakuan san
Saat ini, jarum jam sedang menunjukkan tepat pukul 12 siang. Angin AC berhembus membelai Zoya yang sedang berbaring malas di sofa depan televisi. Telinganya tegak menunggu yang katanya bendahara arisan kompleks yang akan bertamu. Disindir kuper oleh Fiona semalam membuat Zoya sedikit kesal. Pagi-pagi sekali setelah semua orang berangkat kerja, dia menarik sejumlah uang tunai dari mesin ATM yang ada di depan kompleks. Dia tidak mau kalah dengan Fiona. Dia juga berencana untuk ikut arisan dengan jumlah yang lebih besar dari istri tua suaminya itu. "Permisi!""Assalamu'alaikum!"Telinga Zoya langsung menegak ketika mendengar suara salam dari luar. Tanpa basa-basi, dia bergegas menuju ruang tamu. Sebelum membuka pintu Zoya terlebih dulu merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, dan merapikan rambutnya dengan sisir jari. "Waalaikumsalam!" jawab Zoya kemudian sembari membuka pintu ruang tamu. "Permisi, Bu!" Seorang wanita berkaca mata tebal dengan rambut dikepang serta gigi berbehel mir
[Misi sukses!]Pesan dari Naura itu membuat Fiona luar biasa senang, ditambah lagi dengan pemberitahuan bahwa sejumlah uang telah memasuki kartu rekeningnya. Sambil bersiul kecil, Fiona memarkir mobilnya di garasi rumah seperti biasa. Jika sebelumnya Fiona selalu disuguhkan oleh drama kacangan yang dipentaskan oleh Mbak Zoya, kali ini dia memutuskan untuk membuat dramanya sendiri. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah, Fiona terlebih dulu merapikan pakaian kerjanya yang sedikit kusut. Lalu berdehem pelan untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Ekhm!""Showtime!" gumam Fiona pada diri sendiri. "Assalamu'alaikum. Mbak Zoya!" panggil Fiona dengan suara menggelegar. Dia juga sengaja membuat langkahnya berderap kasar di atas lantai supaya bisa didengar oleh orang di ruang keluarga. "Ada apa sih teriak-teriak?" tanya Mas Jaya yang terkejut dengan teriakan tiba-tiba Fiona. "Gimana sih, dimintai tolong buat nyerahin uang arisan aja gak becus!" sentak Fiona pada Mbak Zoya