"Aku sudah berniat jika kehadiranku tidak akan membuat beban di hidupmu jadi jika kamu tidak suka, maka kamu boleh meninggalkanku sekarang juga," ucap David dengan tegas.
Ameli terdiam memandangi wajah David. Melihat wajah David, Ameli tiba-tiba merasa tidak tega jika harus meninggalkannya sendirian di tepi jalan yang sepi ini. Terlebih, Ameli merasa jika dia memang membutuhkan sosok laki-laki yang bisa membuatnya tenang untuk saat ini."Masuklah!" perintah Ameli sambil menyalakan mesin mobil."Apa?" respon David terkejut."Masuk dan ayo, kita pergi ke rumahmu!"David terdiam dengan perasaan tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Ameli."Kenapa kamu masih berdiri di situ? Jangan sampai aku berubah pikiran dan meninggalkanmu sendirian di tepi jalan yang banyak binatang buasnya ini," imbuh Ameli."Kamu jangan menakut-nakutiku!" Jawab David yang kemudian kembali masuk ke dalam mobil Ameli dengan cepat."Aku tidak menyangka, mempunyai tubuh gagah"Om, mana bolaku?" tanya Jendra, bocah berusia lima tahun itu menghentikan langkah kakinya di hadapan seorang pria yang memakai kemeja, celana hitam, dan bersepatu. Dia terkejut ketika melihat sosok anak kecil yang datang menghampiri dan meminta bola yang berada di dekat kakinya. "Anak itu? Kenapa wajahnya mirip denganku?" gumam Amar. "Kamu mau bola ini?" tanya Amar yang kemudian mengambil bola berwarna merah itu.Jendra mengangukkan kepala dan kemudian berjalan mendekati Amar. "Tangkap, ya!" ucap Amar yang kemudian melempar bola itu kepada Jendra."Yes, dapat!" teriak Jendra kegirangan.Melihat Jendra tertawa, mengingatkan Amar kepada seseorang.Tidak berselang lama, ada seorang wanita cantik berkulit putih dan berambut panjang berlarian dengan wajah panik melihat ke berbagai sudut pusat perbelanjaan."Jendra? Kamu di mana?" teriak wanita itu.Jendra melihat ke arah sumber suara tanpa menjawab. Sementara Amar masih memperhatikan wajah bocah itu."Jendra? Akhirnya mama menemukanmu!
"Rasanya terlalu cepat jika kita harus berpisah denganmu malam ini," jawab Amar."Apa?" respon Ameli dengan mata melotot.Amar memberhentikan mobilnya di suatu tempat seperti bukit dengan pemandangan banyak lampu layaknya sinar bintang. Amar membuka pintu terlebih dahulu dan duduk di atas kap mobil. Pria tampan dan terlihat cool itu menyalakan rokok yang dia ambil dari dalam saku jasnya. "Memangnya apa yang dia inginkan?" Ameli terus menggerutu di dalam hati.Ameli menyusul Amar dan duduk di sampingnya. "Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Ameli."Karena ada sesuatu hal yang ingin aku katakan kepadamu," jawab Amar."Apa itu?" Ameli kembali bertanya.Amar seketika memadamkan rokoknya dan menatap wajah Ameli."Besok ada pertandingan basket di perusahaan, tolong temani aku!" ucap Amar."Apa? Menemani bermain basket?" tanya Ameli.***Besoknya, Ameli menemani Amar bertanding basket sebagaimana Amar inginkan. Dari situlah keakraban diantara mereka mulai terbentuk. Amar mulai melibatkan
Ameli sengaja mengatakan kehamilan itu dan kebangkrutan yang dialami oleh keluarganya agar Amar bisa membantunya. Namun, dugaan Ameli salah."Apa yang kamu katakan, Amar! Jelas-jelas kita melakukannya malam itu!" jawab Ameli dengan tegas."Tapi itu bukan anakku! Kamu bisa saja, kan, melakukan itu dengan pria lain dan meminta pertanggungjawaban kepadaku!" jawab Amar sambil membuang wajah ke samping."Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Amar! Jelas-jelas ini anak kamu dan aku melakukan itu hanya denganmu!" ucap Ameli semakin meninggikan nada suaranya."Sudahlah, Ameli! Tidak mungkin itu anak Amar. Apa kamu sengaja meminta pertanggungjawaban kepada kami agar kami mau menutupi kebangkrutan yang keluargamu alami saat ini? Jika iya, apa yang ada didalam pikiranmu salah besar, karena itu tidak mungkin kami lakukan!" sahut Bu Mega."Jadi, kami memutuskan untuk membatalkan pernikahan!" imbuh Pak Hadi.Hati Ameli terasa seperti tercabik-cabik. Rasa ingin menangis bercampur rasa benci menyeli
"Hari ini pasien sudah bisa dibawa pulang. Ini beberapa obat yang nanti bisa Anda tebus di apotik beserta peluasan biaya ketika administrasi selesai dilakukan," ujar Dokter Ana."Syukurlah, terimakasih banyak, Dok!" jawab Ameli dengan perasaan bahagia dan juga harap-harap cemas.Ameli berharap biaya rumah sakit tidak memakan jumlah banyak agar sisa tabungannya bisa dia pakai untuk membeli rumah baru yang lebih kecil. Dan saat yang ditunggu tiba. Ameli dipanggil ke kasir untuk melakukan pembayaran."Total semuanya lima ratus empat puluh juta rumah," ucap petugas kasir sambil menunjukkan beberapa berkas.Ameli terkejut. Tentang saja, jumlah tersebut sangatlah besar untuk kondisi Ameli saat ini. Kini sisa tabungan yang dia miliki tinggal sepuluh juta, yang artinya dengan uang sepuluh juta tersebut dia harus bisa memutarnya untuk hidup ke depan dan juga biaya kontrol mamanya.Setelah melunasi biaya rumah sakit, Ameli bersama Bu Mila keluar sambil membawa beberapa pakaian yang dia masukka
Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. "Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata."Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita."Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebena
"Baru pulang, Mas?" tanya Frieda yang duduk di sofa sambil bermain dengan handphonenya."Iya. Tadi ada meeting dadakan bersama klien. Jadi, jam segini baru pulang." Jawab Amar sambil mengendorkan dasi dan menaruh tas di sofa dekat Frieda."Meeting bersama klien atau makan malam bersama sekretaris baru?" tanya Frieda sambil terus bermain dengan handphone dan tidak melihat ke arah Amar."Apa maksudmu?" respon Amar sambil menatap Frieda dengan tatapan tajam."Iya. Aku dengar di perusahaan sedang ada sekretaris baru. Orangnya cantik dan juga masih muda. Dan aku dengar juga, akhir-akhir ini sekertaris itu sedang banyak dibicarakan dengan beberapa pria di perusahaan. Apakah jangan-jangan kamu juga menyukainya?" tanya Frieda dengan wajah kesal.Amar menghela nafas dan menggelengkan kepala."Ternyata kamu masih belum berubah juga! Frieda, aku ini suamimu! Aku bekerja pagi, siang, dan malam untuk mu! Tapi, kenapa setiap aku pulang kerja selalu kamu sambut dengan pertanyaan-pertanyaan konyol ya
"Jika kamu tidak ingin kembali bersama Amar, paling tidak kamu cari pria baru yang pantas menjadi sosok ayah untuk Jendra!" perintah Pak Danang yang sejak tadi mengetahui keributan antara Ameli dan Jendra.Ameli terdiam. Bertahun-tahun memperjuangkan hidupnya sendiri seakan menjadikan dirinya wanita tidak sudah tidak membutuhkan sosok laki-laki. "Buat apa aku mendatangkan sosok laki-laki di hidupku jika nantinya hanya menjadi beban dan menyusahkan diriku sendiri?" gumamnya dalam hati."Tapi, semua terserah kamu, Ameli! Sebagai kakek, papa hanya kasihan melihat Jendra yang setiap hari selalu menanyakan sosok ayah, dan juga menyembunyikan sesuatu terlalu lama itu tidak baik. Cepat atau lambat, Jendra tetap harus tahu siapa ayahnya dan juga bagaimana kehidupan yang sekarang ini bisa terjadi," imbuh Pak Danang dengan tatapan iba.Ameli terus terdiam dengan pikiran masa lalu. Hatinya masih keras. "Ameli belum siap menerima siapapun di hidup Ameli, Pa!" Ucap Ameli yang kemudian beranjak d
"Apa yang kamu lakukan kepadaku?" tanya Ameli sambil meletakkan kedua tangan di depan dada."Lakukan kepadamu? kenapa kamu bisa mempunyai pikiran seperti itu? apa aku terlihat seperti pria cabul?" tanya David sambil tersenyum dengan mata menggoda."Jangan halangi! aku ingin pergi dari sini! Ah, mana tasku?" Ameli melihat ke semua sudut kamar.Begitu dia melihat tas selempangnya yang terletak di sofa, bergegas Ameli berlari dan mengambilnya. Ketika mengambil tas, Ameli dikejutkan dengan suara notifikasi pesan. Seketika Ameli membuka isi pesan itu dengan jari bergetar."Ah, astaga! aku sudah membuat mama dan papa khawatir. Jendra pasti tadi malam juga mencari keberadaanku. Ibu macam apa aku ini!" gerutu Ameli yang kemudian bergegas mengembalikan handphonenya kembali ke dalam tas."Jadi siapa kamu sebenarnya?" tanya David dengan tatapan tidak berkedip."Apa? kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kamu dan kenapa kamu membawaku ke sini?" t