“Eridan, kamu sudah pulang? Bagaimana tadi? Lancar?” sambut Vela ketika suaminya tiba di teras rumah. Senyum manis telah melengkapi tatapan hangatnya.
“Lancar,” angguk Eridan seadanya.
Sadar akan sikap dingin suaminya, bibir sang istri sontak mengerucut. Setelah memutar otak sejenak, mulutnya kembali terbuka. “Malam ini, kamu jadi mengantarku? Ada sesi les dua jam,” tanya Vela dengan nada pelan. Ada keraguan terselip di antara kata-kata.
Selang beberapa detik, sang suami belum juga menjawab. Vela pun memberanikan diri untuk lanjut bicara. “Kalau bisa, kita berangkat lebih awal, ya. Soalnya, ini pertemuan pertama. Jadi, kita harus mencari alamatnya dulu.”
Tiba-tiba, Eridan menarik napas panjang. “Maaf, Vel. Kamu pesan ojek online saja, ya. Aku capek banget,” tolaknya tak terduga. Laki-laki itu belum pernah mengingkari kata-katanya.
“Oh … oke,” sahut Vela menyembunyikan kecewa. Lengkung bibirnya yang
Mau tidak mau, Vela meraih ponselnya di bawah selimut. Dengan tangan kiri yang masih mulus, ia menyerahkan benda itu kepada sang suami.“Loh? Kenapa HP-mu retak?” selidik Eridan dengan sebelah alis melengkungkan tanya.Perasaan Vela mendadak menjadi sedikit lega. Pria di hadapannya ternyata belum mengetahui kecelakaan itu. Bukankah itu berarti, si perempuan masih memiliki harapan untuk menutupi rahasianya?“T-tadi, enggak sengaja jatuh,” jawab Vela dengan bola mata terus berputar.Tanpa menaruh curiga, sang pria mulai memeriksa isi ponsel istrinya. Beberapa detik kemudian, dengan rahang mengeras, ia menunjukkan layar yang retak itu kepada Vela.“Kenapa kamu enggak bilang kalau Cassie masih mengganggu kamu?” tanya Eridan dengan penekanan. Mata sang istri pun terbelalak.“O-oh, itu ….” Vela hampir
Eridan mengunci pintu dengan raut datar. Tamunya baru saja pulang, meninggalkan kesan misterius yang menyuburkan tanda tanya dalam benaknya. “Jadi, apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Vela?” gumamnya. Sambil menerka-nerka, pria itu berjalan masuk ke kamar.Belum semenit Eridan kembali di depan laptop, suara khas dari tuas pintu kamar lamanya terdengar. “Hm? Vela keluar kamar?”Selama beberapa detik, sang pria memutar otak. “Benar juga. Hari ini, dia hanya keluar setiap aku masuk kamar.” Setelah celingak-celinguk mencari ide, tangannya pun meraih botol minum. Seperti orang kehausan, ia menenggak habis sisa air yang ada.Dengan berpura-pura santai, Eridan berjalan memasuki dapur. “Kamu enggak mengajar malam ini?” tanyanya sembari menghampiri galon.Vela yang sedang berdiri di depan bak pencucian piring pun terperanjat. Tanpa menoleh, perempuan itu menjawab, “Enggak.”“Kenapa?”“Aku
Vela meletakkan sepiring nasi goreng ke atas meja. Sambil mengingat-ingat kejadian semalam, ia mengunyah makanannya dengan kasar seolah-olah itu Eridan.“Dasar semena-mena!” umpatnya dalam hati. “Padahal, dia dulu yang memintaku untuk tidak mencampuri urusannya. Lalu, kenapa dia malah sok peduli padaku? Apa dia mau membuatku menjadi sosok istri yang jahat?”Sekali lagi, Vela memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. “Awas saja kalau dia menarik ucapan kemarin. Pokoknya, aku enggak bakal memberi bantuan ataupun perhatian lagi, sekecil apa pun itu.”Tatapan Vela beralih ke arah jam dinding. Selang satu kedipan, sendok di tangannya kembali mengantar nasi ke depan mulut meskipun suapan sebelumnya masih dikunyah. “Aku harus cepat. Jangan sampai dia masuk dapur sebelum aku selesai makan,” batinnya.“Wah, ada nasi goreng!” seru Eridan tanpa terduga. Mata si wanita pun terbelalak. Detik berikutnya, dengan tatapan heran, Vela m
“Kenapa kamu ikut masuk? Keluar!” pekik Vela ketika lengan Eridan mulai melingkari dirinya.“Aku juga takut, Vel. Biarkan aku bersembunyi di sini,” ujar sang pria sembari memantapkan posisi menjiplak pose istrinya. Tubuh mereka kini sudah tidak lagi berjarak.“Bohong! Kamu kan suka petir,” protes Vela sambil mendorong tangan Eridan menjauhinya.“Bukan petir, Vel, tapi kesempatan ini. Aku takut melewatkan kesempatan untuk berbaikan denganmu,” bisik sang suami sambil menempelkan bibir di cuping telinga si wanita. Kerut alis Vela pun bertambah dalam.“Bohong! Kamu pasti mau mengambil kesempatan dalam kesempitan,” tuduh perempuan yang masih berjuang mengendurkan pelukan suaminya. Akan tetapi, tenaga Eridan bukanlah tandingannya.“Kalau itu sih tergantung dirimu, Vel. Kalau kamu terus bergerak-gerak, aku bisa saja mengambil kesempatan,” ancam sang pria secara tidak langsung.“Ih … lepas!
Eridan mengerutkan alis dengan tatapan terkunci pada Vela. Perempuan itu terus-menerus mendesah dengan bola mata bergerak tak tentu arah.“Vel,” panggil sang pria seraya mengusap pundak istrinya. Vela hanya melirik sekilas sebelum tertunduk menatap lantai yang baru kali ini ia pijak. Sentuhan Eridan tak mampu mengangkat beban yang merenggut keceriaannya.Ting! Pintu lift pun terbuka. Tanpa mengucap kata, perempuan itu bergegas keluar disusul oleh sang suami. Ketika mereka berbelok mengikuti anak panah bertuliskan VVIP, Tante Helena pun terlihat. Wanita itu sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Begitu menyadari kedatangan keponakannya, ia langsung berdiri sambil mengangkat tas kecilnya.“Bagaimana keadaan Oma—““Kenapa kalian lama sekali baru sampai?”Mata Vela sontak terbelalak. “Apa terjadi sesuatu dengan Oma?” t
“Astaga, Oma? Apa yang terjadi, Vir?” seru Vela ketika mendapati sang nenek sudah berlutut di lantai. Sepupunya yang terlalu kurus itu sedang berjuang mati-matian untuk menahan tubuh Oma Stela agar tidak mendarat sepenuhnya.“Oma mau ke toilet. Tapi tiba-tiba, jatuh begini,” terang Virgo dengan napas terengah-engah. Ketika Vela dan Eridan mengambil alih beban di tangannya, barulah perempuan itu membebaskan udara. “Ah, sakit pinggangku. Oma berat sekali.”“Kenapa enggak panggil aku saja kalau kamu enggak kuat?” tanya Vela dengan kerut alis cemas.“Mana kutahu kalau Oma bisa jatuh seperti itu? Kamu jangan cuma bisa menyalahkanku saja. Dari tadi, aku sudah menjaga Oma, sedangkan kamu asyik bermesraan di luar.”Sadar bahwa ribut tidak akan menyelesaikan masalah, Vela pun mengabaikan ocehan sepupunya. Dengan hati-hati, ia membantu Eridan membawa sang nenek ke ranjang.”Iiuuuh … disgusting!” guma
“Bagaimana hari ini, Vel? Apakah Virgo mengganggumu lagi?” tanya Eridan ketika mereka sedang makan bersama. Wanita yang sedang memutar-mutar sendoknya di atas nasi pun melirik sejenak.“Enggak,” sahutnya singkat. Ia enggan membahas tentang Sagita, khawatir jika air mata tidak mampu lagi dibendung.“Lalu, kenapa kamu murung? Dari tadi, kamu belum makan satu suap pun, sedangkan aku sudah hampir habis.”“Aku enggak lapar.”Napas Eridan pun berembus cepat. Setelah meletakkan kotak nasinya di atas meja, ia mengambil jatah Vela dan langsung menyuapinya. “Aaak ….”Vela menggeleng lalu menunduk, menyembunyikan mata merah di bawah bayang-bayang wajahnya.“Kamu marah karena aku baru datang jam tujuh malam?”“Enggak,” sahut sang istri datar. Getar suaranya tak mampu lagi ditutupi.“Kalau begitu, ada apa?”Tidak ada jawaban yang terdengar. Sang
Seorang laki-laki berpakaian olahraga berlari menyusul perempuan berseragam serupa. Begitu tiba, tanpa ragu ia menahan lengan si gadis.“Kok kamu ikut jalan santai sih, Vel?” tanya Eridan dengan nada khawatir. Ia tidak peduli dengan gadis lain yang sedang berbisik.“Memangnya kenapa?” Vela mengerutkan alis.“Kamu kan lagi datang bulan. Kalau pingsan, bagaimana? Pas upacara yang cuma berdiri diam saja kamu sering pingsan.”Rombongan yang semula berbisik spontan memekik. “Vel, kami jalan duluan, ya. Kamu bareng sama Eri saja. Da ….” Gadis-gadis lain pun berlari meninggalkan teman mereka yang tidak dibiarkan mengejar. Dengan tampang memelas, Vela membalas tatapan sahabatnya.“Ridan, kamu jangan membuatku malu, dong.”“Lebih malu mana dibandingkan dengan pingsan di jalan? Kamu mau diangkut orang-orang pakai tandu?”“Jangan berlebihan, deh,” celetuk Vela sambil menepuk t