Eridan mengunci pintu dengan raut datar. Tamunya baru saja pulang, meninggalkan kesan misterius yang menyuburkan tanda tanya dalam benaknya. “Jadi, apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Vela?” gumamnya. Sambil menerka-nerka, pria itu berjalan masuk ke kamar.
Belum semenit Eridan kembali di depan laptop, suara khas dari tuas pintu kamar lamanya terdengar. “Hm? Vela keluar kamar?”
Selama beberapa detik, sang pria memutar otak. “Benar juga. Hari ini, dia hanya keluar setiap aku masuk kamar.” Setelah celingak-celinguk mencari ide, tangannya pun meraih botol minum. Seperti orang kehausan, ia menenggak habis sisa air yang ada.
Dengan berpura-pura santai, Eridan berjalan memasuki dapur. “Kamu enggak mengajar malam ini?” tanyanya sembari menghampiri galon.
Vela yang sedang berdiri di depan bak pencucian piring pun terperanjat. Tanpa menoleh, perempuan itu menjawab, “Enggak.”
“Kenapa?”
“Aku
Vela meletakkan sepiring nasi goreng ke atas meja. Sambil mengingat-ingat kejadian semalam, ia mengunyah makanannya dengan kasar seolah-olah itu Eridan.“Dasar semena-mena!” umpatnya dalam hati. “Padahal, dia dulu yang memintaku untuk tidak mencampuri urusannya. Lalu, kenapa dia malah sok peduli padaku? Apa dia mau membuatku menjadi sosok istri yang jahat?”Sekali lagi, Vela memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. “Awas saja kalau dia menarik ucapan kemarin. Pokoknya, aku enggak bakal memberi bantuan ataupun perhatian lagi, sekecil apa pun itu.”Tatapan Vela beralih ke arah jam dinding. Selang satu kedipan, sendok di tangannya kembali mengantar nasi ke depan mulut meskipun suapan sebelumnya masih dikunyah. “Aku harus cepat. Jangan sampai dia masuk dapur sebelum aku selesai makan,” batinnya.“Wah, ada nasi goreng!” seru Eridan tanpa terduga. Mata si wanita pun terbelalak. Detik berikutnya, dengan tatapan heran, Vela m
“Kenapa kamu ikut masuk? Keluar!” pekik Vela ketika lengan Eridan mulai melingkari dirinya.“Aku juga takut, Vel. Biarkan aku bersembunyi di sini,” ujar sang pria sembari memantapkan posisi menjiplak pose istrinya. Tubuh mereka kini sudah tidak lagi berjarak.“Bohong! Kamu kan suka petir,” protes Vela sambil mendorong tangan Eridan menjauhinya.“Bukan petir, Vel, tapi kesempatan ini. Aku takut melewatkan kesempatan untuk berbaikan denganmu,” bisik sang suami sambil menempelkan bibir di cuping telinga si wanita. Kerut alis Vela pun bertambah dalam.“Bohong! Kamu pasti mau mengambil kesempatan dalam kesempitan,” tuduh perempuan yang masih berjuang mengendurkan pelukan suaminya. Akan tetapi, tenaga Eridan bukanlah tandingannya.“Kalau itu sih tergantung dirimu, Vel. Kalau kamu terus bergerak-gerak, aku bisa saja mengambil kesempatan,” ancam sang pria secara tidak langsung.“Ih … lepas!
Eridan mengerutkan alis dengan tatapan terkunci pada Vela. Perempuan itu terus-menerus mendesah dengan bola mata bergerak tak tentu arah.“Vel,” panggil sang pria seraya mengusap pundak istrinya. Vela hanya melirik sekilas sebelum tertunduk menatap lantai yang baru kali ini ia pijak. Sentuhan Eridan tak mampu mengangkat beban yang merenggut keceriaannya.Ting! Pintu lift pun terbuka. Tanpa mengucap kata, perempuan itu bergegas keluar disusul oleh sang suami. Ketika mereka berbelok mengikuti anak panah bertuliskan VVIP, Tante Helena pun terlihat. Wanita itu sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Begitu menyadari kedatangan keponakannya, ia langsung berdiri sambil mengangkat tas kecilnya.“Bagaimana keadaan Oma—““Kenapa kalian lama sekali baru sampai?”Mata Vela sontak terbelalak. “Apa terjadi sesuatu dengan Oma?” t
“Astaga, Oma? Apa yang terjadi, Vir?” seru Vela ketika mendapati sang nenek sudah berlutut di lantai. Sepupunya yang terlalu kurus itu sedang berjuang mati-matian untuk menahan tubuh Oma Stela agar tidak mendarat sepenuhnya.“Oma mau ke toilet. Tapi tiba-tiba, jatuh begini,” terang Virgo dengan napas terengah-engah. Ketika Vela dan Eridan mengambil alih beban di tangannya, barulah perempuan itu membebaskan udara. “Ah, sakit pinggangku. Oma berat sekali.”“Kenapa enggak panggil aku saja kalau kamu enggak kuat?” tanya Vela dengan kerut alis cemas.“Mana kutahu kalau Oma bisa jatuh seperti itu? Kamu jangan cuma bisa menyalahkanku saja. Dari tadi, aku sudah menjaga Oma, sedangkan kamu asyik bermesraan di luar.”Sadar bahwa ribut tidak akan menyelesaikan masalah, Vela pun mengabaikan ocehan sepupunya. Dengan hati-hati, ia membantu Eridan membawa sang nenek ke ranjang.”Iiuuuh … disgusting!” guma
“Bagaimana hari ini, Vel? Apakah Virgo mengganggumu lagi?” tanya Eridan ketika mereka sedang makan bersama. Wanita yang sedang memutar-mutar sendoknya di atas nasi pun melirik sejenak.“Enggak,” sahutnya singkat. Ia enggan membahas tentang Sagita, khawatir jika air mata tidak mampu lagi dibendung.“Lalu, kenapa kamu murung? Dari tadi, kamu belum makan satu suap pun, sedangkan aku sudah hampir habis.”“Aku enggak lapar.”Napas Eridan pun berembus cepat. Setelah meletakkan kotak nasinya di atas meja, ia mengambil jatah Vela dan langsung menyuapinya. “Aaak ….”Vela menggeleng lalu menunduk, menyembunyikan mata merah di bawah bayang-bayang wajahnya.“Kamu marah karena aku baru datang jam tujuh malam?”“Enggak,” sahut sang istri datar. Getar suaranya tak mampu lagi ditutupi.“Kalau begitu, ada apa?”Tidak ada jawaban yang terdengar. Sang
Seorang laki-laki berpakaian olahraga berlari menyusul perempuan berseragam serupa. Begitu tiba, tanpa ragu ia menahan lengan si gadis.“Kok kamu ikut jalan santai sih, Vel?” tanya Eridan dengan nada khawatir. Ia tidak peduli dengan gadis lain yang sedang berbisik.“Memangnya kenapa?” Vela mengerutkan alis.“Kamu kan lagi datang bulan. Kalau pingsan, bagaimana? Pas upacara yang cuma berdiri diam saja kamu sering pingsan.”Rombongan yang semula berbisik spontan memekik. “Vel, kami jalan duluan, ya. Kamu bareng sama Eri saja. Da ….” Gadis-gadis lain pun berlari meninggalkan teman mereka yang tidak dibiarkan mengejar. Dengan tampang memelas, Vela membalas tatapan sahabatnya.“Ridan, kamu jangan membuatku malu, dong.”“Lebih malu mana dibandingkan dengan pingsan di jalan? Kamu mau diangkut orang-orang pakai tandu?”“Jangan berlebihan, deh,” celetuk Vela sambil menepuk t
Tubuh Eridan mulai merapat ke arah Vela. Semakin kecil jarak di antara mereka, semakin besar getaran dalam dada si wanita. Ketika bibir sang pria menyentuh miliknya, letupan kecil sontak melambungkan jiwa. Vela tidak sanggup memungkiri bahwa hatinya telah tunduk pada Eridan.“Engh, Ridan ….”Sang suami pun terpanggil untuk menatap kedua matanya. “Kenapa belakangan ini, pipimu cepat sekali merah?” tanya pria itu dengan senyum menggoda.“Aku juga enggak tahu. Mungkin, karena cuaca.”Setelah membunyikan tawa kecil, sang pria kembali melancarkan aksi. Vela semakin mabuk karenanya. Perlahan-lahan, pikiran wanita itu tertarik ke masa lampau, masa ketika ia pernah memiliki perasaan yang sama.*“Ayo, Vel. Kan kamu yang penasaran mau ke sini. Jangan sampai bensinku sia-sia. Perjalanan kita jauh, loh,” bujuk Eridan yang sedang berdiri di atas sebilah papan. Dengan tampang ngeri, Vela melihat
“Kenapa enggak jawab? Apakah kamu mencintaiku?” Vela mengulangi pertanyaannya. Pria yang sedang membalas tatapannya pun mengerjap.“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?” ucap Eridan seraya memasang senyuman. Ia takut jika matanya menyiratkan kejujuran.“Karena ucapanmu barusan bisa membuatku salah paham. Aku hampir mengira kalau kamu mencintaiku. Perkataanmu terlalu menyanjungku, Ridan,” terang Vela seraya menyeka air mata. “Bagus, Vela. Kamu berhasil mengendalikan situasi dengan cukup baik,” puji perempuan itu dalam hati.“Ck, apa yang kamu bicarakan? Aku hanya mengatakan yang sesungguhnya. Sudahlah, aku masuk saja. Biar aku yang memasak untuk makan malam. Kamu coba pertimbangkan data dariku itu. Siapa tahu, kamu benar-benar menemukan platform yang lebih sesuai.” Eridan langsung berdiri dan menghilang dari hadapan Vela. Si wanita hanya terdiam menatap punggungnya.“Lihatlah, Vel. Kamu menyakiti hatimu lagi,” batinnya sebelum mengembuskan napas pasrah.