“Aku tidak peduli, mau kau tidak ingin menikah denganku, itu bukan urusanku,” tegas Efram.
Tangan Lyra ditarik oleh Efram, gadis itu sedikit tersentak ketika pandangan Efram tepat di depan matanya. “Cepat mandi dan anti bajumu, hari ini kau harus ikut denganku.”
Lyra hendak menolak ketika Efram lebih dulu menebak isi pikiran gadis itu. “Jangan berpikir untuk menolak, karena jika kau menolak, maka pikirkan dulu keselamatan ayahmu.”
Kalimat Efram membuat Lyra membungkam mulutnya, mau tak mau ia harus menuruti perintah laki-laki yang mulai gila itu karena memintanya untuk menikah dengannya.
****
Efram mengajak Lyra ke butik langganan ibunya semasa ia masih hidup. Hari ini mereka akan melakukan pengukuran baju pernikahan yang kata Efram tinggal menunggu dua minggu lagi. Efram sudah menemukan setelan jas yang akan ia pakai di hari pernikahannya nanti dengan Lyra. Sesungguhnya, Lyra merasa heran mengapa Efram bersedia
Lyra meraih catatan itu. Matanya menyapu beberapa daftar dengan judul “Hal-hal yang dilakukan dan tidak dilakukan ketika mereka menjadi suami istri”.Lyra menolehkan pandangannya pada Efram, kedua alisnya menyatu—mencari jawaban dari raut wajah Efram, yang ia temukan justru perasaannya yang mulai tak enak. Hal apalagi yang tengah Efram rencanakan padanya saat ini?“Apalagi ini, Efram? Apa tidak cukup membuat keputusan besar dengan menikah denganku?” tanya Lyra cukup lelah karena Efram terus-terusan menyakitinya atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.Efram membuang muka sesaat dan menatap malas pada Lyra. “Apa kau berubah menjadi gadis yang malas sekarang? Kau bisa membacanya sendiri, ‘kan?”Lyra mengatupkan bibirnya, dengan setengah hati dibacanya peraturan-peraturan yang dibuat oleh Efram itu. Namun, baru menyapu baris pertama, tatapan mata Lyra sudah melebar karenanya. Melihat Lyra yang tak kunjung m
Retaknya Persahabatan Kita“Aku ingin mengatakan kebenaran ini padamu!”Seorang laki-laki paruh baya mengatakan itu secara tiba-tiba di depan seorang pemuda yang baru saja turun dari mobilnya—ketika sang sopir datang membawa payung untuk melindungi pemuda itu dari guyuran hujan. Pemuda itu dibuat terkejut oleh pria paruh baya yang merupakan tetangganya—menghampirinya di tengah hujan deras seperti ini. tak sampai di situ, beberapa saat kemudian seorang gadis berlari ke arah mereka yang semakin membuat pemuda itu keheranan.“Nak, maafkan aku menghampirimu seperti ini. Tetapi aku tak sanggup lagi jika harus merahasiakan ini,” ucap pria paruh baya itu setengah berteriak.“Ayah, sebaiknya kita pulang. Saat ini sedang hujan dan aku tidak ingin ayah sakit nanti.” Dia adalah Lyra, seorang gadis yang merupakan tetangga sekaligus sahabat Efram sejak masih duduk di bangku sekol
Hari PertunanganSeorang pemuda berperawakan tinggi tegap turun dari lamborgininya. Sepatu pantofel mewahnya berjalan di atas karpet merah, semua orang kini menyambutnya dengan hormat. Ia memasuki sebuah gedung di mana pesta pertunangannya malam ini akan berlangsung.Efram menyapa beberapa tamu yang merupakan rekan kerja ayahnya di aula. Atas kejadian di halaman rumahanya siang tadi, Efram telah meminta ibunya untuk berangkat bersama Jessie—calon tunangannya itu dari rumahnya. Efram tak menceritakan ini kepada siapa pun, bahkan ia memerintahkan sopirnya untuk menutup
“Joe! Mengapa kau di sini? Seharusnya kau bersama ibuku sekarang, bukannya malah bersama gadis ini!” tanya Efram pada Joe. Ia terang-terangan menunjuk Lyra saat gadis itu berani datang ke pesta pertunangannya padahal Efram sudah memintanya untuk tidak muncul lagi.Joe menundukkan kepalanya dengan hormat. “Maaf, Tuan Muda, tetapi nyonya besar sendiri lah yang memerintahkanku untuk mengantar Nona Lyra ke mari.”“Lalu di mana sekarang ibuku?” tanya Erland tak bisa santai. Kekhawatiran di wajahnya masih belum hilang. Sementara Efram berpikir bahwa adiknya itu terlalu cemas tanpa alasan.“Tenanglah,” ucap Efram pada Erland.“Jika kau ditugaskan untuk mengantar gadis ini, lalu bersama siapa ibuku sekarang?” tanya Efram pada Joe.“Nyonya besar meminta Tuan Zen untuk mengawalnya bersama Nona Jessie dengan mobil yang akan digunakan khusus untuk menjemput Nona Jessie—seperti yang T
Cengkeraman di pergelangan tangannya membuat Lyra sedikit meringis karenanya. Hatinya telah hancur melihat ayahnya terluka parah akibat kecelakaan, kini dihancurkan lebih keras lagi dengan tuduhan yang dilayangkan Efram kepada ayahnya. Mulut Lyra terbuka memandang laki-laki yang merupakan sahabatnya dulu. Laki-laki yang kini penuh dengan amarah ketika melihatnya. “Ayahku juga terbaring di sana, bagaimana bisa kau menuduh ayahku ingin membunuh ibu dan calon tunanganmu?” ucap Lyra lemah. Suaranya menjadi serak akibat menangisi hari yang buruk ini. An yang tak mengerti perkataan Efram, menghampiri mereka berdua. “Efram, apa yang kau katakan? Apa maksudmu dengan mengatakan itu?” Efram menatap An sesaat lalu beralih menatap Lyra dengan amarah di wajahnya. “Joe mengirimiku pesan, Bibi. Bahwa ada yang menyabotase rem mobil yang ditumpangi oleh Ibu dan Jessie. Joe bilang, semuanya masih baik-baik saja saat ibuku berangkat dari rumah. Dia telah memeriksa semua mesin,
“I—ini ... ikat rambutku yang terbawa oleh ayah,” ucap Lyra yang terkejut memandang ikat rambut di tangannya.“Tidak salah lagi.” Efram bersuara membuat Lyra menoleh padanya. Sorot mata tajam laki-laki itu mengarah padanya. “Ayahmu yang telah merencanakan kecelakaan ini! Dan dia telah membunuh ibuku!” suara Efram sudah meninggi tanpa dia sadari, semua kekacauan yang terjadi membuat Efram begitu terpukul dan sulit mengontrol emosinya.“Tidak! Ayahku tidak mungkin pembunuhnya!” Lyra membantah tuduhan Efram. Tak terima Efram mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.“Tetapi semua bukti mengarah pada ayahmu! Dia berusaha membunuh ibu dan tunanganku dengan merusak rem mobilnya!” teriak Efram di depan wajah Lyra.“Untuk saat ini, kami belum bisa memutuskan siapa pelakunya. Kami akan terus menyelidikinya lebih lanjut. Barang bukti akan kami ambil kembali.” Polisi memberi
Erland terduduk di samping ranjangnya—menatap gamang pada bingkai foto keluarga di tangannya. Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki mereka. Salah satu anak tersenyum lebar menghadap kamera, sementara anak laki-laki lebih kecil berada di gendongan ibunya. Jari-jemari Erland meraba gambar wajah wanita itu. Wanita yang baru saja meninggalkannya tanpa bisa ia duga akan secepat itu. Dadanya terasa sakit mengingat kejadian yang tidak seharusnya terjadi itu. Kejadian yang berhasil merenggut nyawa ibunya.Tubuh Erland merosot. Meringkuk di lantai dingin kamarnya. Kasih sayang ibunya adalah kasih sayang yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Sebagai anak bungsu, Erland belum bisa hidup tanpa kasih sayang sang ibu. Ia masih membutuhkan kehadiran wanita itu untuk menjadi penyokong hidupnya.Erland masih membutuhkan kasih sayang sang ibu untuk melengkapi hari hari-harinya. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah bisa ia dapatkan lagi.Baru saja 8 bulan lalu ay
“Tolong, biarkan aku bertemu dengan ayahku, Efram. Aku harus menemaninya.” Lyra memohon pada Efram.Efram memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.Kali ini amarahnya harus diuji karena gadis itu. “Kau tidak dengar apa yang kukatakan?” Tanya Efram masih berusaha sabar.“Aku tidak mengizinkanmu menemui ayahmu. Tidak hari ini.” Efram mengulangi perkataannya.Lyra merasa kecewa.“Tapi … kenapa?”“Kalau tidak, ya tidak.Tidak perlu banyak Tanya,” ucap Erland telak.Lyra benar-benar semakin merasa sedih mendengarnya.Ia tak bisa berjauhan dengan ayahnya sekali saja. Lyra berpikir bahwa ia harus menemani ayahnya dan selalu berada di sampingnya, tetapi karena kemarahan Efram, laki-laki itu sampai tak mengizinkannya untuk bertemu dengan ayahnya.“Efram sebentar sa—”“Ada apa Joe?”Lyra baru saja ingin mencoba bernegosiasi lagi pada Efram,