“Kasian sekali, masih muda sudah kehilangan kedua orang tuanya.”
“Dia tidak punya siapa-siapa. Tidak ada kerabat yang mau mengurusnya.”
“Kau adalah kerabatnya, mengapa tidak memberi sedikit biaya agar dia bisa makan.”
“Anak itu sudah besar dan sudah lulus SMA. Dia bisa mengurus dirinya sendiri atau bekerja.”
“Setidaknya kasih uang kek buat biaya hidup.”
“Hidup keluargaku sudah sulit. Bagaimana bisa nambah orang untuk diberi makan.”
“Aku tidak bisa mengambil tanggung jawab anak itu. Dan lagi Pak Dody memiliki banyak utang yang menumpuk. Siapa yang mau mengambil tanggung jawab utang-utang itu.”
“Ini salah Pak Dody, sudah tidak punya istri yang bertanggung jawab untuk anak itu, masa ninggalin banyak utang.”
“Anak itu kasihan sekali.”
“Sudah ibunya melarikan diri dengan alasan merantau sekaliannya tidak pernah pulang selama sepuluh tahun.”
Banyak tetangga maupun kerabat yang datang melayat di pemakaman berbisik-bisik sembari memandang gadis belia yang berdiri diam dengan kepala menunduk memandang gundukan tanah merah.
Dia bisa mendengar semua bisik-bisik yang tertuju padanya. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Rambut hitam panjangnya terurai menutupi seluruh wajahnya. Tanpa ada orang yang menyadari, air matanya terus mengalir di pipinya tanpa mengeluarkan suara isakan. Tidak ada orang yang menghibur gadis yang baru saja ditinggalkan mati oleh ayahnya.
Para tetangga maupun kerabatnya hanya mengucapkan belasungkawa untuknya tetapi berbisik-bisik menggunjing kondisi hidup keluarganya.
Ayahnya hanya seorang petani miskin yang hidup kesusahan dengan tumpukkan utang yang ditinggalkannya untuk anak gadisnya yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas.
Sementara ibunya yang entah ke mana tidak pernah pulang selama sepuluh tahun dengan alasan pergi kerja ke luar negeri demi keluarga.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya menahan isakkannya keluar. Bisik-bisik tetangga tidak pernah berhenti. Dia hanya seorang gadis belia yang baru SMA dan tidak memiliki pengalaman hidup di masyarakat. Tidak ada satu pun kerabat yang mengulurkan tangan untuk membantunya.
Begitu para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman, meninggalkan gadis itu sendirian. Dia tidak bisa tangisannya tumpah. Isakkannya semakin bertambah keras di pemakaman yang sepi itu. Dia terduduk sambil tersedu-sedu di samping makam ayahnya.
Entah berapa lama dia menangis, sampai suara berat seorang pria tiba-tiba masuk dalam pendengarannya.
“Apa kau Raelina Yuswandari, Putri bapak Dody Gustiwana?”
Gadis itu tersentak dan menghentikan tangisannya. Dia tidak mengangkat kepalanya untuk memandang orang yang berbicara padanya. Dia diam membisu. Gadis itu takut begitu dia mengangkat kepalanya, wajah yang penuh dengan air mata dan kesedihan akan mendapat tatapan penuh kasihan dari para tetangga atau kerabat yang datang untuk melihatnya.
Dia tidak membutuhkan rasa kasihan mereka. Sekalipun mereka kasihan, tidak ada yang akan mengulurkan tangan padanya. Orang hanya peduli pada hidup mereka masing-masing, mana punya waktu untuk mengurus anak yatim sudah tidak punya apa-apa dan utang menumpuk.
Laki-laki yang berbicara padanya terdiam melihat gadis itu tidak merespons dan hanya menundukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Jangan khawatir, aku akan menjagamu.”
Gadis langsung mendongakkan kepalanya memandang laki-laki yang baru saja mengatakan hal itu.
Berbeda dengan tetangga dan kerabat yang mengenakan baju melayat, hanya laki-laki itu yang memakai seragam tentara lengkap. Dia tinggi dan masih muda. Kira-kira berusia dua puluhan dan memiliki wajah tampan yang membuat orang tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Postur tubuhnya tegap khas tentara dan tatapannya menatap gadis belia itu lurus dengan mata segelas malam. Ada senyum tipis di bibirnya di wajahnya yang pucat dan tanpa ekspresi kala dia mengulurkan tangannya pada gadis itu.
“Jangan khawatir, mulai sekarang aku akan menjagamu.”
Dia mengulang kalimatnya seperti sudah melafalkannya berulang kali.
Air mata gadis luruh makin deras tanpa mengeluarkan suara isakan. Dia menggigit bibir bawahnya menahan isakkannya. Hanya laki-laki itu yang mengulurkan tangan padanya di saat terpuruknya.
Dengan satu kata 'Aku akan menjagamu' meruntuhkan benteng pertahanan yang dia buat untuk tidak bergantung pada belas kasihan orang lain.
“Nona!”
Seorang wanita berusia 26 tahun itu tersentak dan membuka matanya merasakan guncangan di tubuhnya. Dia mengerjapkan matanya menatap seorang wanita berseragam pramugari yang memandang sambil mengulurkan sebuah tisu padanya.
“Ah, terima kasih,” ucap wanita itu bingung menerima tisu dari pramugari dan hanya menggenggam tisu itu dengan linglung. Dia belum mengumpulkan kesadarannya sepenuhnya usai bangun tidur.
Pramugari itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya menunjukkan pipinya pada wanita itu dengan tatapan simpati.
Raelina, nama wanita itu meraba wajahnya dan menyadari pipinya basah oleh air mata. Dia merasa malu dan menghapus air matanya dengan tisu yang diberikan oleh pramugari itu.
“Terima kasih.” Dia bergumam pelan sembari menundukkan kepalanya untuk menghapus air matanya.
Tanpa sadar dia tertidur sambil menangis.
Apa karena mimpi itu? Pikirnya.
Sudah lima tahun berlalu dan dia sudah melupakan mimpi pertemuan pertanya dengan ‘pria itu'. Tetapi dia memimpikan mimpi itu lagi setelah bertahun-tahun melupakannya.
Pramugari itu tersenyum dan berujar ramah. “Anda sebaiknya bersiap-siap, sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara.”
“Ah, terima kasih,” ucap Raelina tersenyum pada pramugari itu sebelum pramugari itu pergi dan memeriksa penumpang lainnya.
Raelina menghela napas memandang keluar jendela pesawat. Hari masih siang dan pemandangan awan terlihat dari balik jendela pesawat.
Raelina tersenyum samar dan memejamkan matanya.
Tidak lama kemudian pesawat yang ditumpangi Raelina mendarat di tempat tujuan.
Raelina membawa kopernya dan mengikuti kerumunan orang yang keluar dari pintu kedatangan. Dia berhenti sejenak dan memandang ke sekeliling bandara yang ramai oleh lalu lalang orang-orang yang memiliki tujuan datang dan pergi.
Sudah lima tahun dia meninggalkan tempat ini dan belajar ke luar negeri untuk melanjutkan studinya.
Siapa yang mengira seorang anak petani miskin bisa kuliah di luar negeri dan kembali membawa gelar dokter dari universitas ternama ke kampung halamannya.
Raelina tersenyum pahit. Semua yang dia capai berkat ‘pria itu’ yang sekarang sudah menjadi mantan suaminya.
Ya, di umurnya yang ke dua enam tahun dia pernah menikah sekali dan bercerai di usia belia.
Semua pencapaiannya saat ini sebanding dengan penderitaan yang dialaminya di masa lalu. Sekarang dia kembali bukan melihat ke belakang, tetapi untuk menata masa depannya.
Raelina sudah bertekad kembali setelah lima tahun meninggalkan tempat kelahiran dan mengatur masa depannya yang cerah. Kembalinya dia ke kampung halamannya, tidak ada hubungannya dengan masa lalunya.
Raelina mengalihkan pandangannya ke sekeliling bandara mencari salah satu teman terbaiknya yang sudah duluan kembali ke negara ini. Alasannya kembali juga karena teman yang mengundangnya untuk magang bersamanya setelah beberapa bulan Raelina belum juga mendapat pekerjaan di Inggris.
Raelina celingukan mencari keberadaan teman satu-satunya di kerumunan orang di bandara. Tetapi dia tidak menemukan temannya dan ponsel di tangan Raelina bergetar. Melihat itu temannya yang meneleponnya, dia mengangkat panggilan itu.
“Lina, apa kau sudah tiba di bandara?” Suara seorang wanita terdengar lelah dari seberang telepon.
Raelina mengerutkan dahinya dan berujar dengan khawatir. “Iya, kamu ada di mana, aku tidak melihatmu di mana pun? Apa sesuatu terjadi padamu?”
“Ya, aku baik-baik saja. Tapi maaf ya Lina, kayaknya aku tidak bisa menjemput hari ini di bandara. Rumah sakit tampak penuh, ada banyak pasien harus ditangani. Tidak apa-apa ‘kan kau pergi sendiri. Aku akan mengirimkan alamat apartemenku padamu.”
Raelina menghela napas dan tersenyum membalas temannya yang bernama Stella Marissa, teman satu jurusannya di Inggris.
“Iya, tidak apa-apa. Lanjutkan pekerjaanmu. Jangan khawatirkan aku.”
“Ok, maaf banget ya.”
Terdengar suara bercakap-cakap dengan Stella di seberang telepon sebelum dia menjawab Raelina dengan terburu-buru. “Aku tutup dulu ya. Aku akan bertemu denganmu nanti malam, sampai jumpa.”
Setelah itu sambungan telepon di tutup Stella.
Raelina menghela napas dan terdiam sejenak memandang ke sekeliling bandara, melihat beberapa orang membawa koper dan berpelukan dengan bahagia dengan orang yang menjemput atau ada beberapa orang yang sendirian seperti Raelina.Raelina tersenyum pahit memandang ke sekitar. Dia lahir dan besar di negara ini, tetapi dia seperti orang asing di tempat ini. Tidak memiliki keluarga yang menjemputnya dan sendirian seperti orang asing.Raelina menghela napas dan menarik kopernya untuk keluar dari bandara. Tetapi baru beberapa langkah, dia tiba-tiba berhenti dan merasakan jantungnya berdegup memandang ke depan. Dia mematung memandang lurus sosok pria yang berdiri di garis khusus untuk penjemput.Pria itu tinggi dan berotot memakai setelan kasual. Bukan seragam tentara yang selalu dipakainya sepanjang yang diingat Raelina. Meskipun begitu, dia memiliki kehadiran yang kuat. Wajahnya
“Apa kau sendirian?”Raelina mendongak memandang dengan mata berkaca-kaca seorang gadis berwajah asing, tetapi menggunakan bahasa negara Raelina dengan lancar.Itu adalah pertama kali Raelina bertemu dengan Stella, gadis asing berdarah blasteran. Dia mengulurkan tangannya dengan ramah pada Raelina.“Namaku Stella. Aku datang menjemput ibuku yang baru pulang dari negara asalnya dan kebetulan melihatmu sendirian selama satu jam di sini.” Dia menatap gadis muda yang seumuran dengannya dengan tatapan simpati. Dia sudah menunggu ibunya selama satu jam di bandara dan melihat gadis berwajah Asia seperti ibunya berdiri sendirian di luar bandara larut malam sambil menangis. Kemungkinan memikirkan gadis itu ditipu dan tinggalkan di bandara.Dia memiliki setengah darah ibunya dan merasa bersimpati dengan orang yang berasal dari negara ibunya.“Kau mengingatku pada ibuku. Jika kau tidak keberat
Angin sepoi-sepoi berembus memainkan anak rambut Raelina. Tatapannya menatap sendu gundukan tanah merah yang sudah ditumbuhi rumput. Kapan terakhir kali dia mengunjungi makam ayahnya?Dia tidak pernah mengunjungi makam ayah sejak 'pria itu' membawanya untuk tinggal bersama. Dia bahkan tidak memiliki waktu untuk mengunjungi makam ayahnya setelah perceraian mereka dan diusir ke luar negeri oleh keluarga mantan suaminya.“Maafkan aku ayah, karena baru mengunjungimu,” bisiknya dengan suara lirih.Ada banyak hak yang ingin dia cerita pada ayahnya seperti yang selalu dia lakukan semasa ayah masih bersamanya. Ada banyak tahun yang terlewatkan tanpa bisa dia cerita pada ayah. Tetapi Raelina tidak tahu harus memulai dari mana. Dia hanya bisa dia membisu dalam keheningan pemakaman. Bahkan jika dia menceritakannya, apakah ayah akan mendengar dan menghiburnya seperti dulu?Ketiadaan terasa menyesakka
“Dari mana kakak memungut gadis gembel ini?”Seorang gadis muda cantik duduk di sofa mewah bersama dengan seorang wanita paruh baya, mengerutkan hidung mungilnya memandang gadis berpakaian lusuh yang berdiri di sebelah kakak laki-lakinya.Raelina menundukkan kepalanya sambil meremas rok berwarna cokelat yang hampir pudar. Dia melirik kemeja kotak-kotak berwarna merah tua yang sudah kusut tidak peduli berapa kali dia menyetrika bajunya.Pakaian dikenakannya merupakan pakaian terbaik yang dimilikinya, tetapi disebut gembel oleh gadis cantik di depannya.Matanya berkaca-kaca dengan pandangan menunduk ke lantai. Dia sudah bersusah payah mempersiap pakaian terbaik yang dimilikinya dan menyetrikanya berulang kali untuk bisa tampil rapi di depan keluarga pria yang mengatakan akan ‘menjaganya’.Pria itu mengatakan dia adalah kenalan ayahnya dan membawanya untuk tinggal bersamanya. Raelina setuju mengikutiny
Raelina menatapnya ragu-ragu dan tidak melepaskan cengkeramannya dari seragam Yosua. Ketika melihat tatapan Wina dan Arina yang memandangnya tidak tahu diri, dia melepaskan cengkeramannya dari seragam Yosua dengan kepala tertunduk, merasa malu karena terlalu bergantung pada pria itu.“Baiklah.” Dia mengikuti pembantu kediaman Rajjata sembari membawa tas berisi pakaiannya dengan kepala terus menunduk.Bibi itu membawanya ke kamar yang akan ditempatinya.“Mulai sekarang, kau akan tinggal di kamar ini,” ujar Bibi itu membuka pintu kamar Raelina.Gadis itu mengangakan mulutnya melihat kamar yang akan ditempatinya. Kamar ini lebih besar daripada ukuran ruang di rumahnya. Kamar ini bahkan memiliki kamar mandi sendiri.Bibi itu kemudian meninggalkan Raelina di kamarnya setelah berbicara sebentar.Raelina dengan hati-hati duduk di ranjang yang berukuran cukup besar. Merasakan keempu
Setelah diusir ke negara asing, dia mencoba mati-matian melupakan masa lalunya dan memfokuskan dirinya pada studinya. Butuh tiga tahun baginya untuk melupakan kenangan masa lalunya. Tetapi sejak dia kembali ke negara ini dan bertemu lagi dengan mantan suaminya, memori masa lalunya kembali terbuka seolah mengejek usahanya yang sia-sia untuk melupakan masa lalunya bersama pria itu.Meskipun sudah lima tahun berlalu dia masih mengingat setiap detail kenangan masa lalunya bersama Yosua seolah dia baru mengalaminya kemarin.Dia memandang gelas kaca di tangannya dengan senyum muram mengingat saat dia dibawa Yosua ke dalam keluarga Rajjata. Dia tidak pernah melupakan kebahagiaan yang dia rasakan saat itu ketika Yosua mengatakan akan menikahinya.Tidak ada pesta pernikahan seperti dibayangkan Raelina. Dia dan Yosua hanya menandatangani catatan pernikahan mereka di kantor urusan sipil, dan mengadakan perjamuan sederhana yang hanya dihadiri a
Ketika Stella terbangun di pagi hari dan keluar dari kamarnya, hendak ke kamar mandi untuk mencuci muka, dia dikejutkan dengan kehadiran Raelina yang sedang duduk di sofa ruang tamu dan menonton TV dengan lingkaran hitam di bawah kelopak matanya.“Apa kau begadang semalam?” Stella duduk di sebelahnya setelah mencuci mukanya dengan membawa botol air dingin di tangannya. Dia masih memakai piyamanya.Hari ini adalah hari Minggu. Dia mendapat jatah libur hari ini dan tidak pergi ke rumah sakit. Berbeda dengan Raelina yang mulai bekerja Senin besok.“Bisa dibilang begitu,” jawab Raelina dengan lesu. Dia dengan malas menonton berita pagi sambil bersandar di lengan sofa.“Ada apa dengan matamu? Apa kau habis menangis?” Penglihatan Stella cukup tajam untuk melihat mata Raelina merah dan bengkak.“Apa terjadi sesuatu kemarin?”
“Ibu ....” Arina langsung mengeluh begitu melihat ibunya datang. “Aku yang duluan melihat gaun itu, tetapi perempuan murahan itu mengambilnya.”Raelina memutar bola matanya dalam hati. Sudah begitu dewasa masih kekanak-kanakan untuk mengeluh pada ibunya di depan umunya. Tampaknya waktu tidak mengubah sifat asli Arina.Wina menatap perempuan muda yang ditunjuk Arina. Seperti putrinya, dia merasa familier dengan wanita itu.“Ibu, dia si udik bau itu,” bisik Arina di samping ibunya.Setelah mendengar kalimat Arina dan mengamati sebentar, dia mengenali Raelina. Keningnya berkerut melihat Raelina dari bawah ke atas, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan penghinaan di matanya.Raelina menatap ibu dan anak itu dengan wajah tanpa ekspresi. Dulu dia berpikir ibu dan anak itu bersikap sombong padanya sesuai dengan status keluarga mereka.Tetapi setelah beberapa pikiran dia mencibir m