Tepat pukul 17.58 aku sampai di depan gerbang rumah mewah konglomerat yang kini sudah menjadi rumahku juga.
"Non, cepat masuk ya, daritadi ibu sudah ngomel-ngomel...." Ucap satpam yang masih belum kuketahui juga namanya karena di rumah ini beneran interaksiku sangat dibatasi.
"I...iya Pak, terima kasih..." Aku langsung bergegas lari agar bisa cepat masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum...." Aku perlahan membuka pintu kayu dengan ornamen ukiran kayu sebagai penghiasnya.
"Mepet banget ya, untung gak sampai terlambat. Sana naik ke atas kamu!" Mama mertuaku sudah mengenakan setelan blouse biru dengan rok setengah lututnya. Sementara Roger mengenakan setelan kemeja batik yang sudah jelas dari kelihatannya saja terlihat mahal.
"Aku perlu bantu-bantu, Ma?"
"Gak perlu. Masuk aja ke dalam kamar, gak usah keluar-keluar. Paham?" Perintahnya.
Aku mengangguk pelan, dan berjalan melintasi satu per satu anak tangga hingga sampai di depan kamarku.
"Huft cukup lega sudah sampai sini...." Batinku yang menghelakan nafas. Rasanya berhadapan dengan Airin sama seperti berhadapan dengan dosen penguji ketika sidang skripsi, galak.
Aku membuka pintu kamar secara perlahan dan memasukinya dengan target langsung menuju ke atas ranjang tidur.
"Kring... kring.... kring...."
"Siapa yang nelfon maghrib gini..." Desisku.
Aku merogoh tas selempangku, mencari keberadaan ponsel sekaligus sumber suara dan getarannya dari dalam tas.
"Arsy....." Aku bergumam.
"Halo..." Sapaku sembari meletakkan ponsel ini ditelinga kanan.
"Kamu udah di rumah?"
"Iya sudah, kenapa?" Jawabku singkat.
"Gak ada sih, mau ngobrol aja. Boleh gak Claire? Udah lama banget kita gak ngobrol..." Serunya.
Terang saja, ini membuatku sedikit tidak nyaman, karena rasanya seolah mengkhianati Randi. Meskipun aku sama sekali tidak merasa selingkuh saat ini.
"Mau ngobrolin apa?"
"Kamu apa kabar?" Tanyanya yang sudah jelas-jelas ia sendiri pun tahu akan jawabanku.
"Baik. Hmm tapi maaf banget Ar. Sekarang gue lagi ada acara keluarga, mungkin bisa diagendakan lagi aja ya ngobrolnya. Maaf banget nih..." Aku langsung mengambil alih pembicaraan. Aku tidak ingin obrolan ini melebar, sebab aku tau ia masih terus ada di zona penasaran dan inginkan diriku. Kali ini cukup percaya diri aku mengungkapkannya.
Ia menyetujuinya dan aku langsung menutup ponselku. Selang dua menit dari putusnya sambungan telepon, aku mendengar suara musik seolah tempat dugem dari lantai bawah.
"Arisan atau acara apa sih ini...." Batinku.
Mungkin satu-satunya orang yang bisa aku tanya dan menjawab rasa penasaranku adalah Randi. Aku langsung menghubungi Randi yang saat ini pasti masih sibuk dengan urusan kantornya.
"Halo sayang, sudah di rumah?"
"Sudah ini. Kamu dimana?" Tanyaku balik.
"Ini di cafe sih, lagi siapin dokumen untuk pembahasan ke Bali sama Arsy."
"Disana sama Arsy juga?"
"Iya nih, tadi orangnya ke toilet dulu katanya..." Ungkap Randi.
"Gila, dia bisa hubungi gue di depan suami gue..." Batinku.
"Kenapa sayang?"
"Mas, jam berapa pulangnya? Acara di rumah kayaknya sudah mau mulai ini..."
"Mungkin after acara selesai aja aku pulangnya. Soalnya kalo party gitu entar dijodoh-jodohin, pusing akunya..."
"M...maksud Mas?" Aku tidak lagi ingin overthinking sekarang. Sehingga ku biarkan ia menjelaskan secara detail apa maksud ucapannya.
"Pesta itu biasa kan tamu undangan yaa pengusaha dan pembisnis juga, nah seringkali mereka tuh ngajak mama papa buat jodohin aku sama anaknya..."
"Tapi kan Mas bisa nolak karena sekarang udah punya istri..." Jawabku langsung.
"Iya, tapikan kita belum bisa umumin pernikahan kita, sayang. Jadi ya aku menghindari acara-acara seperti itu dulu deh..."
"Oh ya sudah, hati-hati ya nanti pulangnya.." Aku langsung menutup ponselku.
"Huft, dia sebagai pria sama sekali gak bisa tegas dan gak bisa berjuang untukku..." Setelah menikah, satu hal ini yang baru aku sadarin. Tapi mungkin juga ini sudah merupakan bagian dari takdirku.
Jam terus berputar, dan suasana di bawah semakin kalut dengan musik yang sudah semakin tidak terkontrol. Entah gak tau apa yang sedang dilakukan di bawah, tapi justru membuatku sedikit penasaran juga.
"Gue pengen ngintip apa yang terjadi, tapi kalo gue ketahuan gimana..." Pikiranku terus bergejolak tapi di satu sisi ingin melihat apa yang sebetulnya sedang terjadi dibawah, dan seperti apa acara arisan keluarga konglomerat ini.
"Pelan-pelan aja, dan jangan sampai ketahuan Claire...." Tekadku sembari membuka pintu perlahan.
Dari depan pintu kamarku saja, sudah jelas pantulan lampu khas diskotik tengah menyala, dengan iringan musik yang begitu keras seperti ingin memekakkan telinga.
"Ini bukan acara arisan biasa...." Batinku.
Aku jalan mengendap-endap, memastikan di lantai dua ini tidak ada seorangpun naik, karena kata Airin mereka hanya menggunakan lantai satu untuk arisan ini.
Aku terus berjalan pelan, sampailah di sudut dekat balkon yang bisa langsung melihat aktivitas dari atas menuju ke bawah. Betul saja, sudah ada empat lampu diskotik dengan 4 speaker yang besar untuk memeriahkan malam ini. Jelas juga dari pandanganku, tamu yang hadir dari kelas atas, karena kebanyakan dari mereka menggunakan tas mewah yang harga satu tasnya saja ratusan juta.
Untuk konsep arisannya juga seperti sudah menggunakan paket event organizer, karena para pelayan yang berlalu lalang di bawah mengenakan seragam dan konsep makanannya pun ala western.
"Gila, ternyata seperti ini cara orang kaya menikmati dan menghabiskan uang...." Batinku.
Aku masih terus mengamati dari atas tentang kegiatan malam ini. Mataku mencari sosok tuan rumah, Airin yang seharusnya menjadi pusat perhatian tamu karena dia adalah yang punya rumah.
Mataku melirik ke kanan, ke kiri dan bahkan seantero ruangan, hingga sampai mataku dan matanya tanpa sengaja bertatapan. Ia melihatku seolah target empuk yang siap ia terkam. Matanya merah, wajahnya bengis melihatku penuh dengan ketidaksukaan.
Tangannya menunjukku dan menyaratkan agar aku segera pergi dari lokasi pengamatanku.
"Kakak ngapain disini? Kenapa gak ke bawah aja...." tiba-tiba suara yang begitu dekat ini menghampiriku dan tanganku ditarik olehnya.
"Eh eh kamu siapa?" Aku menoleh ke bawah, melihat seorang anak kecil laki-laki tengah menarik tanganku mengajakku untuk ikut turun bersamanya, lantas aku segera menahan diri.
"Kakak ngapain disini? Tersesat ya? Di sana kak pestanya bukan diatas.. Entar kalo kakak terlihat dengan tante Airin bisa diomelin loh...." Anak laki-laki yang begitu manis ini mungkin masih berusia 6 tahun, entah gak tau ada hubungan apa sama Airin tapi yang jelas kini keberadaanku sudah mulai diketahui.
"Oh oh enggak kok. Kakak mau disini aja, soalnya dibawah rame banget, kepalanya jadi pusing. Nama kamu siapa?" Aku coba menjelaskan dengan kalimat baik agar anak kecil ini tidak berpikir aneh-aneh.
"Oh oke, kirain tadi kakak tersesat. Aku Rafael, keponakannya tante Airin. Kakak namanya siapa?" Pria kecil ini begitu manis dan baik.
"A...aku namanya.."
"Kring... kring..."
Telfonku berdering kembali, dan aku melirik nama yang menelfon tersebut bertuliskan Airin.
"Mampus gue...." Bisikku dalam hati.
Sementara Rafael masih menungguku untuk menjawab pertanyaannya.
"A.. aku Risa...."
"Pokoknya hal begini jangan sampai terulang lagi. Didik tuh istri kamu, dibilang sama orang tua tuh susah banget....." Cela Airin di pagi hari yang masih awal untuk sekedar berinteraksi namun ia telah mengomeliku di depan Roger, Randi, dan asisten rumah tangganya."Memang Claire kenapa Ma?" Randi lantas bingung dengan serangan fajar ini. Aku pun sama sekali tidak menceritakan ke suamiku perihal masalah tadi malam."Tuhkan bahkan hal yang krusial aja, dia bisa gak cerita sama suaminya. Istri seperti apa sih kamu?" Nadanya lebih tinggi lagi.Aku menunduk kala air mataku sudah tidak bisa ku bendung lagi. Dengan sigap, telapak tanganku mengusap pipiku, memastikan Airin tidak melihat jatuhnya air mataku.Randi sontak menarik tanganku, membawaku ke area taman belakang. Duduk di tepi kolam renang mungkin untuk sekedar menanyakan peristiwa apa yang ia lewati kemarin."Kenapa kamu gak cerita apa-apa?" Ia nada bicaranya lebih tinggi daripada bias
"Kenapa sih Claire kelihatannya canggung banget...." Tegur Arsy yang kini sudah berada dihadapanku tengah melihat buku menu."E..enggak kok. Sudah pesan?" Balasku."Udah tau mau pesan apa. Nih, kamu mau pesan apa?" Ia menyodorkan buku menunya kepadaku."Pasti sih vanilla milkshake ya...." Celetuknya dengan tertawa.Ia masih begitu jelas mengingat menu minuman favoritku ketika dinner bersammanya."Bener gak gue, Claire?" Ia memastikan, dan memang pria ini tipikal yang butuh validasi."Iya benar kok. Ya udah aku pesan vanilla milkshake sama spaghetti aja.." Aku mengembalikan buku menu tersebut kepada sang pelayan yang sedari tadi sudah berada di tengah kami."Saya ulangi ya Bu menu pesanannya. Ada milkshake vanilla dua, spaghetti satu, dan nasi goreng satu." Ucap pelayan memastikan apa yang kami order telah sesuai.Setelah aku dan Arsy kompak mengangguk pelan, wanita tersebut pamit untuk menyiapkan pesanan kami.
"Cle tunggu dulu. Kamu tuh ya kebiasaan suka mood swing gak jelas..." Randi mengejar dan menarik tanganku."Apalagi?" Tanpa sadar suaraku memang cukup tinggi kali ini menghadapinya."Ya kamu main pergi gitu aja. Aku kan cuma nanya..." Ia membela dirinya."Randi, untuk apa sih kita nikah kalo ujung-ujungnya kamu gak pernah kasih rasa percaya itu ke aku?""Maksud kamu? Aku gak mau kita masuk ke dalam rumah masih dengan kondisi marahan gini ya Cle..." Ia lagi-lagi coba mengancamku. Aku sadar pertengkaran kami ini disaksikan juga oleh satpam yang sedari tadi sedikit melirik ke arah kami. Cuma memang aku sudah gak sabar untuk meluapkan emosi.Aku diam, menatap tajam mata Randi lalu jalan perlahan ke arahnya."Ran, tolong kasih aku rasa percaya. Aku bukan lagi pacar kamu, aku sudah jadi istri kamu. Aku butuh kamu untuk percaya sama aku, aku sama Arsy ya cuma sebatas teman SMA aja gak lebih. Jadi tolong berhenti untuk berpikir
"Aku mau ngobrol sama kamu malam ini..." Ia melindungi dirinya."Bukan, bukan masalah kamu baru bilangnya sekarang, tapi kok bisa mama duluan yang tau daripada aku?" Aku menegaskan kembali arah obrolanku yang sama sekali merasa tidak dihargai sebagai istri olehnya."Lah kan gak ada masalahnya juga. Udah deh jangan buat buat keributan yaaa...." Ia membantahku lagi dan beranjak pergi...****"Claire sama Cathrine tolong ke ruangan saya sekarang..." Rasanya semalaman suntuk Randi enggan berbicara kepadaku, entah karena dia badmood aku terus-terusan bermasalah dengan Airin atau memang ada yang sedang ia pikirkan, entahlah. Tiba-tiba pagi hari ini, jam delapan tepatnya ia memintaku dan Catherine untuk ke ruangannya jelas saja aku merasa sedikit awkward untuk menatap matanya."Baik Pak..." Ucap Catherine.Perempuan dengan rok diatas lutusnya itu dengan sigap memasuki ruangan Randi tanpa mengajakku. Ya memang santer kabar yang
"Dengar ya kamu, jangan mentang-memtang suamimu pergi kamu mudah aja keluar masuk kamar seperti ini..."Belum ada 6 jam pasca keberangkatan Randi, ibu mertuaku sudah langsung menyeramahiku perkara aku langsung bergegas masuk kamar."Ada yang bisa aku bantu, Ma?" "Masak sana, bersih-bersih rumah. Pokoknya kamu jangan cuma makan tidur disini!" Ucapnya.Ia membentakku sehingga asisten rumah tangga yang tadi ada di belakang juga turut keluar."Nah ini Bi, coba diajarin cara bersih-bersih rumah." Tunjuk Airin kepadaku pada saat berbicara dengan asisten rumah tangga di sini."Malam ini, biar dia aja yang masak. Mau lihat apa sih yang buat Randi secinta ini sampai melawan orang tuanya..." Sindir Airin."Ma.. Maaaf tapi aku gak bisaa...." Aku menjawab pelan."Gak bisa? Apa? Kata kamu gak bisa?" "E... enggak Ma. Oke Ma, aku izin ke dapur dulu..." Alihku. Jelas saja harga diriku sudah tidak ada di rumah ini. Me
"Gak becus banget. Masak aja gak bisa. Apa sih kelebihan kamu di mata anak saya?" Airin membentak keras dan marah dengan kejamnya dihadapan suami dan Bi Asih selaku asisten rumah tangganya."Maaf ma....." Aku menunduk takut."Nyonya maaf, tadi saya yang lupa untuk ingatin non Claire angkat steaknya. Maaf Nyonya..." Bi Asih memelas iba kepada Airin."Ah sudah, sekarang kamu pesankan saya makan malam. Atau belikan saja langsung keluar sana...." Perintah Airin, entah itu untukku atau untuk Bi Asih dengan dentuman geprakan meja.Namun, dengan sigapnya aja aku langsung mengeluarkan ponselku dari saku rokku, membuka layanan makanan online, dan mencari steak yang mertuaku ini inginkan."Ma, sebentar ya sedang dipesan....." Ucapku pelan.***Setelah kejadian sadis makan malam tadi, aku tidak melanjutkan makan malamku. Ku biarkan Airin dan Roger untuk makan, sementara aku kembali ke kamar. Aku menangis sejadinya, meng
"Claire, kamu dimana?" "Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam...." "Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini. "Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya . "Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini. "Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya. "Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." **** "Mau i
"Claire, kamu dimana?""Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam....""Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini."Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya ."Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini."Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya."Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." ****"Mau istirahat d