Nafisa pun duduk di sama, di antara karung terigu dan ember wadah mentega. Dia ingin membantu, tapi untuk melakukannya perlu melihat bagaimana dulu suami dan ayah mertuanya bekerja.
Namun, belum lima menit mereka sampai, dua pelanggan datang. Nafisa yang tak mau hanya duduk berdiam diri pun berdiri, melayani ibu-ibu yang datang dengan menanyai apa yang dibutuhkan mereka sambil mencatatnya. Begitu selesai ia langsung mengambil barang-barang tersebut dengan bantuan Arzan, lalu mengantonginya sebelum menjumlahkan semua menggunakan kalkulator.
“Dua ratus lima belas ribu, Bu. Ini bonnya.” Nafisa tersenyum tipis setelah sebelumnya menyengir pada Arzan. Ia pikir, melayani pelanggan itu tidak seribet yang dia pikir. “Terima kasih sudah belanja di sini, Bu. Jangan lupa ke sini lagi besok.”
“Oh, tentu atuh, Neng. Ibu memang sudah jadi pelanggan di sini.”
Nafisa mengangguk, mengiyakan sebelum pelengan di hadapannya itu mengucap pa
“Sesuatu yang indah, tidak selalu datang dari seberapa mahal sebuah barang. Melainkan seberapa tulus dirimu, saat mencipta afeksi terhadap orang lain.”***Mengingat ajakan Arzan saat di perjalanan menuju pulang, Nafisa mengobrak-abrik isi lemari hanya untuk mencari pakaian bagus dan pas setelah mandi. Dia memilah-milah sampai ketemu satu baju yang ia tahu itu adalah kado pernikahan, entah dari siapa. Gamis merah muda bagian dalam, dan abu-abu di bagian luar yang tampak seperti jas.Usai mengenakannya ia berputar-putar di depan cermin. Bagian tengah gamis ia rentangkan sampai seperti membentuk sebuah payung. Cantik. Ya, pakaian itu memang cantik. Dan setidaknya, tubuh kerempeng Nafisa tersembunyi di balik pakaiannya syar'i tersebut.Tak lupa, ia pun menyiapkan tiga pakaian ganti. Barang kali, Arzan tidak akan buru-buru membawanya pulang kembali. Satu pakaian tidur, dua lagi gamis dengan model yang hampir sama untuk pergi ke pasar
Arzan balas tersenyum sambil menyodorkan sebelah tangan, disusul Nafisa yang langsung dipeluk oleh Mariam. “Ayo, masuk. Adik-adikmu sudah tak sabar menunggu.”“Kayak mau ngapain aja ditungguin,” seloroh Arzan, bercanda.“Ya, makanlah. Mereka udah kelaparan,” timpal Mariam sambil tergelak pelan. “Kalian juga belum makan, 'kan?”Sambil berjalan masuk, keduanya mengangguk.“Tuh, kan? Makanya ayo!” Mariam tak cukup sabar sambil menggiring Nafisa yang mengulum senyum.“Iya, iya, Bu.”Arzan yang lebih dulu berjalan pun sampai di ruang keluarga. Kedatangannya langsung disambut oleh kegaduhan yang diciptakan Fitri dan Aisyah. Kedua adiknya itu melontarkan godaan demi godaan, sampai membuat Arzan merasa kebal. Namun, tidak untuk Nafisa. Dia justru tersipu malu, setiap kali dijuluki pengantin baru.“Kalian, kalau kebelet nikah, cari jodoh sana!” balas Arzan, tak
Nafisa bangun dari tidurnya, mengerjap-ngerjap sebelum membuka mata perlahan. Setelah menyadari ada di mana ia sekarang, dadanya naik-turun mengingat betapa hasrat teramat dahsyat di tengah hujan lebat semalam. Tidak ada yang terlewat, semua berputar dalam ingatan, selayaknya sebuah rekaman film.Bibir tipisnya melengkung manis kala melihat Arzan yang masih tertidur pulas. Lelaki di sampingnya itu pasti merasa lelah. Sampai tak sadar, sudah berulang kali hidungnya dimainkan jemari lentik Nafisa. Sadar akan waktu yang terus berjalan, Nafisa menepuk-nepuk pipi Arzan sampai terbangun. Lelakinya itu mengejap, langsung membuka mata.“Sayang, dah bangun?” Arzan mengusap wajahnya kasar sambil menghela napas perlahan.“Huum. Bentar lagi Subuh.” Nafisa menyeringai. “Aku mau mandi, tapi malu.”“Kenapa? Ibu sama ayah belum bangun, kayaknya. Mandi aja.”“Takut.”Arza
“Bukan hidup namanya kalau tanpa cobaan. Tapi, biarkan itu menjadi bumbu dalam masakan, layaknya makanan sehari-hari.”***Sejak awal, anak dari pasangan Laksmi dan Asep itu sudah menduga. Ibunya akan berlaku sama, walau ia adalah anak perempuan satu-satunya. Menuntut, seperti pada kakak-kakaknya yang memilih pergi, untuk memberi sedikit jarak dengan orang tua kedua belah pihak. Sebab konon katanya, saat dekat akan berbau pekat, dan saat jauh akan beraroma lezat.Sekarang, tuntutan itu sudah berlaku untuknya juga. Laksmi tidak mengizinkan Nafisa tinggal selain di rumahnya yang sederhana, walau sekadar menginap di rumah ibu mertua. Sekalipun ia pergi karena ingin menuruti keinginan suami, pada akhirnya, Laksmi akan datang ke sana untuk menjemput Nafisa pulang.Sepeti pagi ini, saat Nafisa lagi-lagi menginap atas permintaan Arzan, ibunya datang dengan ojek pengkolan yang sudah jadi langganan. Dengan alasan di rumah kesepian, juga sakit yang memb
Arzan sampai di halaman rumah Laksmi. Langkahnya lambat begitu turun dari motor yang diparkirkan terlebih dulu di samping teras. Raut wajah yang biasa semeringah tampak sedikit masam dengan pakaian kusut tak beraturan.Diketuknya pintu rumah berbahan kayu jati berkualitas tinggi itu sambil mengucap salam, lalu dijawab salam oleh Laksmi yang langsung membuka pintu. “Eh, Jang Arzan. Sok, kaleubeut,” titahnya sambil bergeser, memberi lebih banyak ruang untuk Arzan.Arzan yang tak kuat menahan lelah pun mengangguk, lalu melangkah masuk tanpa sepatah kata. Ia ingin segera mandi dan salat sebelum beristirahat, melepas penat setelah seharian bekerja dengan jumlah pelanggan jauh lebih banyak dari kemarin. Namun, begitu tangannya mendorong pintu kamar, ia berlonjak kaget.“Neng!” serunya sambil berjalan, setengah melompat saking takutnya kalau terjadi apa-apa pada Nafisa.Diraihnya kepala Nafisa sebelum ia letakkan di kedua paha. “Nen
“Neng belum makan?” Arzan menyelidik, menatap Nafisa yang sudah beralih menatapnya kembali. Wanitanya itu menggeleng.“Dia itu bandel. Sudah ibu suruh makan, tapi malah nggak mau.” Laksmi bersungut-sungut. “Apalagi dia kan capek, tuh, abis bantu-bantu di pasar. Pasti droplah. Tubuhnya memang nggak sekuat yang terlihat.”“Kenapa bisa nggak sekuat yang terlihat, Bu? Neng pernah sakit apa?” Arzan beralih, memperhatikan ibu mertuanya.“Ya, itu. Nggak bisa dibawa capek. Jadi, lain kali nggak perlu diajak pergi ke pasar!”“Bu!” bentak Asep, tak enak hati dengan sikap istrinya itu.“Lah, iya, Pak. Nafisa memang nggak bisa capek, kan? Bapak tahu sendiri kalau tekanan darah si Neng juga selali rendah, sampe sering bikin dia sakit kepala karena pusing?”“Iya, tapi nggak ada hubungannya sama pergi ke pasarlah. Hari ini, kan, dia di rumah.”“Suda
“Melaju laksana menantang badai. Begitulah seharusnya dirimu, setiap kali ada masalah datang.”***Satu dua hari telah berlalu setelah masa sakit Nafisa. Minggu ke minggu bahkan terasa merangkak cepat walau hampir setiap waktu berhadapan dengan keegoisan ibunya. Di bulan ketiga pernikahan, Arzan dan Nafisa masih tinggal di rumah Laksmi, walau tak jarang pergi menginap ke rumah Mariam saat bulan Ramadan kemarin, dengan atau tanpa izin dari ibunya itu.Nafisa ataupun Arzan tak pernah terlalu serius saat menanggapi kekesalan Laksmi. Pura-pura tak tahu, walau dengan jelas Laksmi tunjukkan ketidakridaannya saat Nafisa pergi mengunjungi mertua.Alasannya masih sama. Selain karena kesepian, terang-terangan Laksmi bicara soal kerugiannya sebagai orang tua. Ia yang membesarkan anak-anaknya dengan biaya tak terhitung, tapi saat sudah dewasa justru pergi untuk berbakti pada orang lain.Seperti hari ini, Laksmi pun
“Kemarin, Aa pikir cuma demam biasa. Tahunya parah.”“Ya, sudah. Kalian pergi menginap saja di sana. Kasihan kalau ibumu nggak ada yang ngurus, Jang.” Asep yang baru selesai makan memberi komentar.“Nggak ada yang ngurus gimana? Bu Mariam itu anaknya ada di rumah dua, perempuan pula. Nggak perlulah Nafisa harus segala nginep di sana! Kalau Arzan mau nginep, ya nginep sendiri.”“Astagfirullah, Bu!” seru Asep, tak lagi dapat menahan marah. “Kamu itu kayak nggak ngerasain perasaan seorang ibu dan anak.”“Apa, sih, Pak? Arzan pulang karena mau ngurus ibunya, ‘kan? Lah, Nafisa kan harus ngurus ibu juga di sini.”“Tapi, ibunya Arzan itu sakit, Bu. Ngaco kamu!” Tatapan masam Asep berubah tajam, setelah mendengar penjelasan Laksmi yang semakin diada-adakan.