Menjelang siang hari, Asha berjalan ke balkon utama. Tidak sengaja ia melihat ke halaman depan rumah, tampak seorang wanita berambut pendek dengan beberapa paper bag di tangannya.
"Kak Ilona," batin Asha.
Ibu mertuanya datang dari dalam, tampak begitu hangat ketika menyambut kedatangan Ilona. Setelah itu, Selina langsung mengajak Ilona duduk di kursi halaman depan.
"Asha!" teriak Selina yang langsung membuat Asha beranjak turun dari balkon ke lantai bawah.
"Iya, Bu," sahut Asha setelah sampai di halaman depan.
"Sha, Bi Weni lagi belanja ke pasar. Jadi, tolong kamu bikinin minum untuk Ilona, yah. Jarang-jarang Kakakmu datang ke rumah setelah Luke menikah," ucap Selina tampak begitu senang dengan kedatangan Ilona.
Asha mengangguk, sebelum ia masuk ke dalam. Asha sempat melirik ke arah Ilona, raut wanita yang ditatap masih sama seperti tadi malam. Menyirat ketidaksukaan pada dirinya.
"Sebentar, Bu."
Asha langsung berhambur masuk dan membuat juz mangga kesukaan Ilona. Ia masih ingat dengan sangat jelas, juz mangga adalah minuman favorit Ilona.
Tidak butuh waktu lama, Asha kembali ke halaman depan dengan membawa nampan yang di atasnya juz mangga. Ia meletakkan gelas itu ke meja, tepat di hadapan Ilona.
"Silahkan diminum, Kak Ilona," kata Asha dengan sopan.
Ilona tidak mengubris atau sekedar tersenyum. Raut wajahnya begitu menampakkan ketidaksukaan pada Asha. Alih-alih membalas menyapa, Ilona malah membuka obrolan dengan Selina.
"Tante, apa kabar? Sehat-sehat aja kan?"
"Ya, seperti yang kamu lihat. Eh, kamu makin cantik aja deh. Pasti rajin banget ngerawat diri, ya?" puji Selina.
Asha yang melihat dua orang itu telah tenggelam dengan obrolan. Memutuskan untuk berbalik dan masuk ke dalam. Sepertinya, ia hanya akan menjadi obat nyamuk diantara mereka.
"Gak juga Tante. Perawatan biasa aja, sesempatnya aja kalau kerjaan udah kelar," jawab Ilona yang sekali-kali melirik punggung Asha.
Selina menghembus napas gusar dan hal itu menarik perhatian Ilona. "Ada apa, Tan? Lagi ada masalah?"
Selina memegang tangan Ilona dan berkata. "Ada satu keinginan Tante yang belum terwujud."
"Keinginan apa Tan?" tanya Ilona penasaran.
"Tante pengen banget gendong pewaris keluarga Watson sebelum Tante meninggal," jawab Selina dengan lirih.
Seketika langkah Asha terhenti tepat di ambang pintu ketika mendengar kalimat Selina. Hatinya terasa sakit karena ia belum juga bisa melahirkan pewaris keluarga Watson.
Diam-diam Ilona melirik ke arah pintu, melihat Asha yang masih bergeming di tempat. Tanpa disadari Selina. Ilona berusaha menahan senyum. Hatinya sangat senang karena ia tahu jika Asha tersinggung dengan kalimat Selina barusan.
Di malam hari, Asha tampak melamun di balkon kamar dengan selembar kertas hasil dari pemeriksaan waktu itu. Matanya berkaca-kaca hingga penglihatannya terasa buram. Karena sampai kapan pun, ia tidak akan bisa memberi keturunan di keluarga Watson. Tanpa disadari, bahunya mulai bergetar menahan tangis.
"Kenapa kau di sini? Angin malam tidak bagus untuk kesehatan."
Suara bass lelaki bersamaan dengan sebuah jaket tebal melingkar di tubuhnya. Asha langsung menghapus air matanya yang berjatuhan, berusaha menarik napas sedalam-dalamnya untuk menetralkan emosinya. Menyembunyikan rasa sakit dari lelaki yang sangat ia cintai itu.
Luke melingkarkan tangannya di pinggang Asha dan membiarkan wajahnya terbenam di leher jenjang istrinya seraya membaui setiap aroma tubuh sang istri. "Kau masih marah, hm?"
"Aku minta maaf, malam itu aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku. Sungguh, aku tidak nyaman jika kau terus mengacuhkanku seperti ini," lanjut Luke yang semakin mengeratkan pelukannya.
Sekali lagi Asha menarik napas sedalam-dalamnya kemudian berkata dengan suara netral. "Ceraikan aku dan nikahilah Kakakku."
Seketika pelukan itu mengendur bersamaan dengan wajah Luke yang membeku. "Kau bercanda?"
Sekali lagi Asha menarik napas sedalam-dalamnya kemudian berkata dengan suara netral. "Ceraikan aku dan nikahilah Kakakku."Seketika pelukan itu mengendur bersamaan dengan wajah Luke yang membeku. "Kau bercanda?" tanya Luke dengan nada tak percaya.Lelaki itu langsung membalikkan tubuh sang istri menghadapnya. Terlihat wajah putih itu sedikit memerah. "Apa yang kau katakan? Kau sadar dengan perkataanmu barusan, hah?" Luke menguncang-nguncang tubuh Asha yang tidak berdaya.Wanita itu langsung mendongak, menatap dengan berani kedua manik suaminya. Di bawah sana tangannya tergenggam erat, berusaha menguatkan diri untuk mengeluarkan suara."Aku tidak bercanda dan aku sadar dengan ucapanku tadi, Luke. Jadi, kumohon ceraikan aku.""Tidak!" sergah Luke dengan cepat. Kedua matanya telah memerah akibat menahan amarah."Asha, apa kar
Setelah membuka pintu, sesaat Luke mematung ketika melihat punggung seorang wanita yang tidak asing di matanya. Selang beberapa saat, kedua sudut bibirnya perlahan naik. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai menutup pintu kembali dan berjalan tanpa mengeluarkan suara. Wanita itu langsung menggeliat geli saat tangan kekar merayap di pinggangnya. Tetapi, sesaat kemudian. Ia mulai bernapas lega dan membiarkan lelaki itu tetap di posisi nyamannya. "Kau dari mana saja?" tanya Asha yang tetap sibuk mengeluarkan kotak makan dari dalam tas kecil. "Kau sudah lama menunggu?" Alih-alih menjawab, Luke malah melontarkan pertanyaan. Gelengan kepala si wanita sebagai jawabannya. "Aku merindukanmu," ujar Luke tiba-tiba yang berhasil membuat kedua alis wanita tertaut. Asha melihat wajah Luke dengan ekor matanya. Lelaki itu sedang memejamkan mata seraya mengendus-endus membaui. "Belum satu hari kau ke kantor, Luke. Kenapa kau sudah
"Apa! Kau mandul?" teriak Selina di atas keterkejutannya ketika membaca laporan hasil pemeriksaan kesuburan. Selina menggerakkan bola matanya ke arah Asha yang kini tengah menunduk dalam. Rasa panas perlahan menaik diselingi dengan kerutan tebal di dahi ketika tahu bahwa apa yang baru saja dibaca olehnya memanglah benar. "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi di dalam keluarga Watson? Seorang menantunya bisa mengalami kemandulan," ujar Selina setelah melemparkan kertas yang telah ia remuk ke sembarang arah. Napasnya menderu hebat, panik memikirkan masalah besar yang baru saja menghampiri. Sedang Asha tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, lidahnya terlalu keluh walau sekedar mengatakan maaf. Belum juga bisa menemukan solusi, Selina mendesah kasar kemudian melemparkan bokongnya ke sofa. Wajahnya masih menyirat kepanikan dan kekhawatiran akan ancaman keluarga Watson yang tidak bisa melahirkan penerus. Beberapa saat kalut dala
Kelopak mata yang masih tertutup itu terus berkedut lantaran cahaya memenuhi sekitaran mata. Perlahan kelopak itu naik hingga wajah yang masih tertidur pulas memenuhi netranya. Lelaki itu mengulas senyum saat matanya telah terbuka sempurna. Luke menggerakkan tangannya untuk memainkan rambut wanitanya dengan mata terus memandang lekat wajah itu. "Kau masih saja terlihat cantik meski tertidur," ucapnya pelan. Namun, siapa sangka. Kalimat itu malah membuat pipi sang wanita spontan memerah. Membuat lelaki itu menyatukan alis, belum sampai tiga detik, lelaki itu kembali mengangkat sudut bibirnya dengan alis telah terpisah. "Kenapa pipi istriku ini tiba-tiba memerah? Apa dia baru saja menguping pembicaraanku dan sedikit malu untuk membuka mata?" gumam Luke yang sebenarnya sedang menguji si wanita. Tidak bisa lagi menahan kepura-puraan, wanita itu menggeliat lalu membenamkan wajahnya ke dalam dada sang suami. Tentu saja mengundang tawa pelan
"Luke, bisa kita pergi sekarang?" Dua sejoli yang masih bergeming saling tatap itu pun mengerjap. Namun, Luke masih belum merubah posisinya. Asha melihat ke arah Ilona di belakang Luke dengan senyum kaku. Kernyitan tercipta di dahi Asha ketika Luke masih belum beranjak dan malah terus memandangnya. "Luke, kenapa kau masih terus mengurungku di sini? Kita harus segera pergi, bukan?" tanyanya. Untuk sesaat Luke masih bergeming dengan tatapan lembutnya. Setelah berusaha mengajak hatinya untuk kerja sama, akhirnya kepala itu mengangguk dengan berat. "Baiklah." Luke melepaskan tangannya dari mengunci tubuh istrinya. Kemudian Asha langsung beranjak ke pintu belakang dan membiarkan Ilona duduk di bangku depan. Namun, sebelum hal itu terjadi, suara bass si lelaki menghentikan setiap langkah dua wanita itu. "Asha, kau mau ke mana?" tanya Luke setelah membuka pintu depan sebelah pengemudi. "Tentu saja masuk ke mobil," jawabnya seraya telu
Asha mengalihkan perhatiannya ke deretan gaun di hadapannya setelah memastikan jika Ilona telah masuk ke ruangan ganti. Bibirnya terus melengkung tinggi saat ia mengamati satu per satu gaun yang dirancang dengan luar biasa. "Melihat semua gaun-gaun ini membuatku jadi teringat saat kita menikah dulu," ucap Asha dengan memori berputar saat tiga tahun yang lalu. Di mana sebuah gaun putih berkilauan terbalut di tubuhnya, berjalan anggun menuju altar. Seolah hari itu ia adalah ratu dari segala ratu, sungguh momen yang tidak akan pernah terlupakan. "Lihat, Luke. Bukankah gaun-gaun di sini begitu cantik. Rasanya aku ingin mencoba semua gaun ini," lanjutnya lagi dengan kekehan kecil. Saat keheningan masih menyapa, spontan kedua alisnya menyatu heran. "Luke, kau mendengarku. Akhh-" serunya meringis sembari mengelus dahi tepat saat tubuhnya berbalik. Netranya beranjak ke atas, terlihat sang pelaku memasang wajah tanpa dosa. Seakan perlakuannya tadi adalah hukum
Seorang lelaki berjas putih, berkali-kali memeriksa dengan teliti kaki di hadapannya. Tetapi, berkali-kali juga alisnya menyatu. Setelah menghembus napas panjang, lelaki itu mendesah dan menegakkan netranya ke arah pasien yang mengaku sakit kaki. "Nona, saya lihat, kaki Anda baik-baik saja. Tidak ada gejala memar ataupun terkilir. Lalu kenapa Anda menampakkan wajah kesakitan?" Tahu bahwa ia tidak akan bisa membohongi seorang dokter, Ilona akhirnya merubah wajah sejujurnya. "Benar, kaki saya memang tidak sakit." Spontan sang dokter langsung membelalakkan mata dengan ekspresi terkejut. Selang beberapa saat ia kembali mengendurkan garis wajah dan menyingkirkan tangannya dari kaki tersebut. "Kenapa Anda berbohong, Nona? Saya yakin, orang seperti Anda tidak akan mungkin melakukan hal sia-sia seperti ini. Bukankah itu hanya membuang waktu?" Tampak Ilona berdecak samar seraya memutar bola matanya. Ia mengeluarkan oksigen dari paru
Selang beberapa saat berada di lift, kini ia telah menginjak lantai hotel yang ditujuinya. Namun, baru beberapa langkah kakinya mengayun. Tiba-tiba ia berhenti saat otaknya mengingat sesuatu, mulutnya terbuka lebar seraya menepuk jidatnya karena menyadari kelalaiannya. "Ah, ya ampun. Kenapa aku bisa lupa memberitahu Luke." Tanpa pikir panjang, ia langsung merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Namun kemalangan kembali menghampirinya ketika layar dihadapannya mendadak redup dan dalam hitungan detik layar itu benar-benar telah menghitam. Suara desahan spontan berembus dari mulutnya. "Akkhh, kenapa malah mati di waktu yang tidak tepat," ringisnya seraya menggigit bibir. Sejenak berpikir. Ia akhirnya menarik napas dalam, berusaha meyakinkan diri sendiri. "Luke pasti mengerti. Aku pergi untuk membantu Kak Ilona. Jika ia masih marah, terpaksa aku harus mengeluarkan jurus andalanku," gumamnya dengan senyum tipis di bibir. Setelah itu ia kemba