“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.”
“Lalu?”
“Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?”
“Kamu mengancamku?”
“Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?”
Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas.
Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan.
Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut!
Aku : Gimana?
Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya.
Aku : Terimakasih.
***
Tepat hari sabtu, pengantin baru sudah kembali ke rumah. Selama tiga hari ini aku sudah latihan beberapa kali untuk tidak menangis meski gemuruh dalam dada terus mengusik.
“Ardina!” panggil Ferdila.
Gegas aku membuka pintu. “Ada apa?”
“Kamu sibuk gak hari ini? Kalau tidak, boleh temani Vidia jalan-jalan?”
“Kenapa bukan kamu?” tanyaku penasaran. Apalagi sejak mereka sampai, sempat terdengar teriakan Vidia dalam kamar.
“Malas. Kamu saja.”
“Ogah! Memang aku bodyguard apa?” Kubanting pintu kamar kasar.
Langkah Ferdila terdengar menjauh, aku kembali membuka pintu perlahan agar tidak ketahuan. Dia masuk kamar dan menutup rapat.
Tidak ingin tenggelam dalam teka-teki, kaki melangkah mendekat dan memasang telinga baik-baik.
“Kamu masih gak percaya sama aku, Fer?”
“Gimana aku mau percaya kalau jelas ada bukti kamu pelukan sama laki-laki.”
“Harus berapa kali aku bilang itu jebakan?!”
“Jebakan apa, Vid? Kamu terlihat menikmati gitu!”
Aku tersenyum, kemudian mengambil sapu pura-pura membersihkan. Lebih baik seperti ini agar dikira ikhlas dan bodoh, kelak akan ke luar sebagai pemenang.
Menang bukan berarti harus kembali bersama Ferdila. Akan tetapi, menang adalah ketika mereka merasakan luka yang lebih menyakitkan.
Kembali kuedarkan pandangan ke seluruh bagian rumah khawatir ada CCTV yang mengintai. Namun, sepertinya benar tidak ada. Perempuan itu hanya mengancam saja.
Baiklah, dia mengancam dan akan aku langgar aturan yang dibuatnya.
“Buatkan aku kopi, Din!” titah Ferdila.
Aku menoleh padanya. “Oke, tunggu sebentar!”
Ini saatnya untuk memulai permainan. Aku yakin mereka tidak akan mengira siapa pelakunya.
Di dapur aku meraih cangkir putih dan menuangkan air panas, terakhir melarutkan kopi dan gula dengan takaran yang selalu Ferdi sukai.
“Sekalian untukku!” titah Vidia, kemudian menghisap rokok.
“Baiklah.” Aku tersenyum manis.
Lima menit berlalu, aku melangkah ke luar dengan baki berisi tiga cangkir kopi untuk kami nikmati bersama. Rupanya mereka tidak sedang mengobrol melainkan sibuk pada ponselnya.
“Kamu gak campur racun ke minuman ini, 'kan?” tanya Vidia ketika aku mengempas bokong ke sofa di ruang tengah.
“Suudzon kamu, Vid.”
“Aku gak percaya sama kamu. Biasanya perempuan sakit hati itu akan balas dendam. Tukar minuman kita!”
“Oke, kalau itu maumu,” jawabku singkat. Memang benar bahwa salah satu dari tiga cangkir kopi telah kutaburi sesuatu.
Vidia meneguk kopi kemudian menyemburkan pada Ferdila.
“Anj*ng! Kamu pikir aku apa dikasih kopi asin kayak gini?!”
“Pertama, aku bukan anj*ng. Ke dua, aku memang suka yang asin. Ke tiga, itu minumanku hanya saja kamu nekat menukarnya.”
Ferdila meneguk kopinya. “Ini pas.”
“Siapa tahu dua cangkir ini asin,” balas Vidia.
Ferdila meraih cangkir di depanku, lalu meneguknya. “Ini lebih enak.”
“Jadi, gimana? Apa aku yang salah?”
“Sengaja, ya?”
“Vid, aku ini sudah baik menerima kamu sebagai istri kedua Ferdila. Membuatkan kopi untukmu juga. Lantas, kenapa menuduh yang tidak-tidak bahkan mengataiku anj*ng?” Aku berusaha melembutkan suara.
Vidia melempar cangkir hingga pecah, kemudian melangkah masuk dapur.
“Vid! Bersihkan ini!” teriak Ferdila.
“Memangnya aku pembantu? Dina, kan, ada!”
“Vidia!”
Aku memegang bahu Ferdila. “Gak apa-apa, biar aku yang bersihkan nanti.”
Suamiku tersenyum, di matanya masih ada binar cinta. Akan tetapi, sungguh aku muak melihat senyum itu. Ingin rasanya menyiram Ferdi dengan air panas hingga kulitnya terkelupas.
Aku mendengar langkah Vidia mendekat, gegas kucium pipi Ferdila lama. Untung saja dia tidak menghindar. Saat netraku dengan perempuan berambut pirang itu bertemu, hati merasa menang.
Bagaimana tidak, dia menampilkan raut wajah cemburu.
***
“Ini baru permulaan, Vid. Kelak kamu akan tahu bahwa istri pertama tidak selalu lemah, perempuan lugu tidak selalu mampu bersabar.” Aku bermonolog sambil menatap cermin rias.
Ketukan pintu membuatku tersentak. Aku merapikan rambut, memakai wewangian kemudian membukanya.
“Fer?”
“Boleh tidur di sini?” Pertanyaan itu sebenarnya membuatku jijik mengingat dia lelaki pezina. Hanya saja demi membuat Vidia panas, aku akan mengizinkan.
“Boleh, silakan masuk!”
Ferdila tersenyum, kemudian merebahkan diri di tempat tidur yang sudah harum semerbak. Lelaki itu memberi isyarat agar aku mendekat.
“Kangen,” lirih Ferdila sambil memelukku erat.
Aku tertawa dalam hati. Entah kenapa aku sangat yakin kalau Vidia ada di balik pintu. Baiklah, tidak mengapa meladeni lelaki yang masih berstatus suamiku.
“Aku juga kangen sama kamu, Ferdila Sayang,” balasku dengan suara keras.
“Kenapa teriak?”
“Gak apa-apa, senang banget soalnya.”
“Malam minggu yang indah. Haruskah kita?”
“Kamu mau bercinta denganku, Fer? Aduh, aku lagi sakit perut soalnya. Lagian kalau baru hamil muda, gak boleh anu-anuan!” Lagi aku sedikit meninggikan suara.
“Eh, alhamdulillah kamu gak mandul, ya? Sudah tespeck?”
“Iya,” jawabku singkat, lalu melanjutkan dalam hati. 'Aku tidak hamil.'
Tok, tok, tok!
Vidia mungkin sudah panas di tempat. Benar sekali dugaanku kalau dia berdiri di balik pintu. Ferdila mengembus napas kasar, kemudian memintaku membukanya.
“Ferdila!” teriak Vidia.
Aku membuka pintu. “Ada apa? Ganggu suami istri lagi mesraan saja.”
“Suamiku ada di sini?”
“Suamimu?” Aku tertawa kecil. “Iya, suami kita ada di sini. Tolong jangan ganggu, kami sedang mengobati rindu.”
Sebenarnya aku masih penasaran kenapa Ferdila bisa semarah itu. Mungkin ada sesuatu yang terungkap selain foto itu. Ini berita bagus.
“Udah sana!” usirku, kemudian membanting pintu kamar.
Ponsel yang tergeletak di meja rias berbunyi. Aku gegas meraih dan membuka aplikasi sms. Nomor tidak dikenal itu mengirim pesan, rupanya dia tahu kejadian saat ini.
Ia menelepon.
“Ada apa?”
“Kamu pikir aku main-main, Din? Aku tahu kamu sengaja buat Vidia cemburu, kan?”
“Aku tidak peduli.”
Aku klik loudspeker. “Kamu mengancamku?”
“Jika kamu salah mengambil tindakan, bukan hanya kamu yang mendapat akibatnya. Namun, suami juga orangtuamu.”
“Din?” Ferdila nampak terkejut.
Aku memutus panggilan itu, kemudian melangkah dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa?”
“Kamu tahu siapa yang menelepon?”
Aku menggeleng, padahal sebenarnya tahu siapa pemilik suara itu hanya saja sedikit ragu. Ferdila menarik napas panjang, lalu mengembuskan kasar.
“Dia selalu menelepon dan mengancam banyak hal. Dia mengira aku tidak menerima kehadiran Vidia. Padahal kamu lihat sendiri, 'kan?”
Ferdila mengulum senyum. “Shella.”
Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London. Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia. Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama. Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen. Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati. Aku sengaja menggoda lelak
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal
“Sabar, Vid. Mungkin kamu salah masukin bumbu.” Aku berkata pelan, padahal sebenarnya ingin menampar. Namun, demi menjalankan misi, lebih baik bertingkah lugu.“Iya, sejak tadi aku duduk di ruang tengah, gak pernah sekali pun Ardina ke luar kamar,” sambung Ferdila.Aku tersenyum dalam hati. Dia tidak tahu kalau beberapa bumbu sudah tertukar tempatnya termasuk garam, terigu dan gula. Vidia tidak sejeli itu ternyata.“Kamu kalau gak bisa masak, bilang! Jangan sok-sokan mau ngasih aku masakan buatanmu yang rasanya amburadul gini!” Ferdila melempar sendok.“Fer, sabar. Jangan marah pada Vidia. Kemarahan gak akan menyelesaikan masalah. Biar aku pesan makanan saja.” Aku kembali bersuara lembut.“Anj*ng! Memang aku gak pantas jadi pembantu. Lain kali Ardina saja yang masak. Dia lebih cocok!”Ferdila menampar Vidia. “Jadi perempuan jangan suka ngomong sekasar itu. Mudah banget keluari
“Kenapa apanya?”“Tadi aku dengar kamu bilang hamil?”“Oh itu, memang aku sedang hamil, kan?”Ferdila menatapku tajam, aku balas dengan hal serupa agar tidak ketahuan. “Kamu memang benar hamil? Bukannya divonis mandul?”“Fer, Allah yang ngasih anak, bukan dokter. Kalau kamu gak percaya, ya sudah! Gak usah akuin anak yang sedang aku kandung ini!”Aku sengaja menitikkan air mata agar lebih terkesan serius. Air mata ini bukan karena kalimat Ferdi, tetapi kehadiran Vidia. Seberusaha apa pun aku menolak keadaan, tetap saja faktanya seperti ini.Dimadu karena mandul.Sebelumnya Ferdila selalu bilang menerimaku meski tidak bisa beri keturunan untuknya. Dia janji tidak akan memaksa atau memintaku berbagi. Setia hingga maut memisahkan.Nyatanya berbeda. Dia berkata tidak serupa tindakan.“Baiklah, semoga saja kamu tidak bohong.”“Bohong?! S
“Kenapa? Mau belain istri kurang ajar kamu ini, hah?!”“Kamu yang kurang ajar! Aku mengenal Ardina lebih baik. Sebenarnya, andai saat itu kamu tidak menggodaku sampai kamu hamil begini, kita tidak akan menikah!”“Apa? Coba ulangi kalimatmu? Seperti ada yang salah.”Ferdila diam, dia mengepalkan tangan hingga rahangnya mengeras. Dia meninggalkan kami dan melangkah ke luar rumah entah ke mana.Kekacauan kembali terjadi. Seperti inilah yang diinginkan lelaki yang mementingkan hawa nafsu dengan membawa hukum poligami. Dia tidak tahu poligami seperti apa yang diperbolehkan.Ferdila salat saja tidak, kenapa ingin melakukan sunnah? Hahahaha.“Kepar*t! Anj*ng! Bangs*t!” umpat Vidia, lalu menatapku tajam.“Kenapa?”“Mungkin kali ini kamu menang, tapi itu sifatnya sementara. Kamu belum mengenal aku, Din.” Tatapan Vidia kini lebih menantang.“Kamu menganc
“Genta, boleh minta nomor telepon kamu gak?”Lelaki yang baru saja menutup pintu kamar itu menoleh. “Boleh.”Dia pun menyebut sepuluh angka, kemudian tersenyum dan melangkah ke luar. Hari ini mereka bertiga harus ke kantor. Oke, aku memang seperti pembantu yang tinggal di rumah.Panggilan masuk dari Yuni.“Kamu ada rencana apa hari ini?”“Gak ada, bingung juga. Ada, sih, ngajakin Genta selingkuh.”“Ngajakin Genta selingkuh?”“Kamu kerja di perusahaan papa kamu, 'kan? Boloslah sehari. Bete, nih!”“Kamu pikir aku bisa bebas bolos? Tapi, yaudah, aku ke sana!”Hanya butuh waktu satu jam lebih, Yuni sudah ada di hadapanku. Dia terlihat bahagia, seperti ada ide baru dalam pikirannya.“Kenapa senyum mulu? Kayak orang gila tau gak?”Bukannya berhenti, Yuni malah terbahak. Aku semakin kesal hingga terpaksa memutar bola ma
“Kamu memang berparas cantik juga seksi, tetapi aku sama sekali tidak tertarik padamu!” Genta menjawab tegas.Perempuan berambut pirang itu mengembuskan napas kasar berulang kali, kemudian berteriak. Dia seperti orang gila dan untuk menghindari kekacauan, aku melangkah masuk kamar dan mengunci pintu rapat.Ada sms dari Yuni yang menanyakan kejutan, aku membalas singkat sekaligus mengucapkan terimakasih. Air mata kembali berderai mengingat saat sebelum perempuan itu hadir.Hanya ada canda dan tawa di rumah ini. Ketenangan dan kedamaian menjadikannya seperti surga.Aku mengirim sms pada Genta agar dia tahu nomorku.Genta : Oke, aku save nomor kamu. Malam ini boleh kita bertemu diam-diam? Ada satu hal yang harus kita bicarakan.Aku : Boleh saja. Pukul 12 nanti, kita ketemu di belakang rumah.Tidak ada balasan lain, sekarang aku hanya harus mandi dan memakai wewangian agar lelaki itu terpesona dan berminat ikut dalam permainan
“Siapa di sana?” teriakku.Suara panci saling bersahutan. Aku melangkah dengan ragu-ragu, tidak lupa mengirim sms pada Genta untuk ikut membuka pintu.Genta : Tidak ada apa-apa di luar kamar.Sms balasan itu malah membuatku semakin penasaran. Aku membuka pintu lebar dan benar tidak ada orang atau panci yang tergeletak.Genta memberi isyarat untuk masuk kembali karena malam sudah semakin larut. Aku menurut saja. Pintu tertutup rapat. Seseorang tiba-tiba menyeretku kasar.Dia memakai pakaian serba hitam dengan wajah yang ditutupi topi. Kamar dalam keadaan gelap hanya ada bantuan sinar rembulan melalui cela ventilasi sehingga sulit mengenalinya.Dia membekap mulutku, kemudian membaringkan tubuh ini di tempat tidur. Kedua tanganku diikat paksa di kepala ranjang, kemudian entahlah.***Sinar mentari menembus masuk kamar. Aku menggeliat beberapa saat kemudian membuka mata. Kepala sedikit sakit, tetapi rasanya hilang