Share

6. Cemburu

“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.”

“Lalu?”

“Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?”

“Kamu mengancamku?”

“Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?”

Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas.

Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan.

Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut!

Aku : Gimana?

Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya.

Aku : Terimakasih.

***

Tepat hari sabtu, pengantin baru sudah kembali ke rumah. Selama tiga hari ini aku sudah latihan beberapa kali untuk tidak menangis meski gemuruh dalam dada terus mengusik.

“Ardina!” panggil Ferdila.

Gegas aku membuka pintu. “Ada apa?”

“Kamu sibuk gak hari ini? Kalau tidak, boleh temani Vidia jalan-jalan?”

“Kenapa bukan kamu?” tanyaku penasaran. Apalagi sejak mereka sampai, sempat terdengar teriakan Vidia dalam kamar.

“Malas. Kamu saja.”

“Ogah! Memang aku bodyguard apa?” Kubanting pintu kamar kasar.

Langkah Ferdila terdengar menjauh, aku kembali membuka pintu perlahan agar tidak ketahuan. Dia masuk kamar dan menutup rapat. 

Tidak ingin tenggelam dalam teka-teki, kaki melangkah mendekat dan memasang telinga baik-baik.

“Kamu masih gak percaya sama aku, Fer?”

“Gimana aku mau percaya kalau jelas ada bukti kamu pelukan sama laki-laki.”

“Harus berapa kali aku bilang itu jebakan?!”

“Jebakan apa, Vid? Kamu terlihat menikmati gitu!”

Aku tersenyum, kemudian mengambil sapu pura-pura membersihkan. Lebih baik seperti ini agar dikira ikhlas dan bodoh, kelak akan ke luar sebagai pemenang.

Menang bukan berarti harus kembali bersama Ferdila. Akan tetapi, menang adalah ketika mereka merasakan luka yang lebih menyakitkan.

Kembali kuedarkan pandangan ke seluruh bagian rumah khawatir ada CCTV yang mengintai. Namun, sepertinya benar tidak ada. Perempuan itu hanya mengancam saja.

Baiklah, dia mengancam dan akan aku langgar aturan yang dibuatnya.

“Buatkan aku kopi, Din!” titah Ferdila.

Aku menoleh padanya. “Oke, tunggu sebentar!”

Ini saatnya untuk memulai permainan. Aku yakin mereka tidak akan mengira siapa pelakunya. 

Di dapur aku meraih cangkir putih dan menuangkan air panas, terakhir melarutkan kopi dan gula dengan takaran yang selalu Ferdi sukai.

“Sekalian untukku!” titah Vidia, kemudian menghisap rokok.

“Baiklah.” Aku tersenyum manis.

Lima menit berlalu, aku melangkah ke luar dengan baki berisi tiga cangkir kopi untuk kami nikmati bersama. Rupanya mereka tidak sedang mengobrol melainkan sibuk pada ponselnya.

“Kamu gak campur racun ke minuman ini, 'kan?” tanya Vidia ketika aku mengempas bokong ke sofa di ruang tengah.

“Suudzon kamu, Vid.”

“Aku gak percaya sama kamu. Biasanya perempuan sakit hati itu akan balas dendam. Tukar minuman kita!”

“Oke, kalau itu maumu,” jawabku singkat. Memang benar bahwa salah satu dari tiga cangkir kopi telah kutaburi sesuatu.

Vidia meneguk kopi kemudian menyemburkan pada Ferdila.

“Anj*ng! Kamu pikir aku apa dikasih kopi asin kayak gini?!”

“Pertama, aku bukan anj*ng. Ke dua, aku memang suka yang asin. Ke tiga, itu minumanku hanya saja kamu nekat menukarnya.”

Ferdila meneguk kopinya. “Ini pas.”

“Siapa tahu dua cangkir ini asin,” balas Vidia.

Ferdila meraih cangkir di depanku, lalu meneguknya. “Ini lebih enak.”

“Jadi, gimana? Apa aku yang salah?”

“Sengaja, ya?”

“Vid, aku ini sudah baik menerima kamu sebagai istri kedua Ferdila. Membuatkan kopi untukmu juga. Lantas, kenapa menuduh yang tidak-tidak bahkan mengataiku anj*ng?” Aku berusaha melembutkan suara.

Vidia melempar cangkir hingga pecah, kemudian melangkah masuk dapur.

“Vid! Bersihkan ini!” teriak Ferdila.

“Memangnya aku pembantu? Dina, kan, ada!”

“Vidia!”

Aku memegang bahu Ferdila. “Gak apa-apa, biar aku yang bersihkan nanti.”

Suamiku tersenyum, di matanya masih ada binar cinta. Akan tetapi, sungguh aku muak melihat senyum itu. Ingin rasanya menyiram Ferdi dengan air panas hingga kulitnya terkelupas.

Aku mendengar langkah Vidia mendekat, gegas kucium pipi Ferdila lama. Untung saja dia tidak menghindar. Saat netraku dengan perempuan berambut pirang itu bertemu, hati merasa menang.

Bagaimana tidak, dia menampilkan raut wajah cemburu.

***

“Ini baru permulaan, Vid. Kelak kamu akan tahu bahwa istri pertama tidak selalu lemah, perempuan lugu tidak selalu mampu bersabar.” Aku bermonolog sambil menatap cermin rias.

Ketukan pintu membuatku tersentak. Aku merapikan rambut, memakai wewangian kemudian membukanya.

“Fer?”

“Boleh tidur di sini?” Pertanyaan itu sebenarnya membuatku jijik mengingat dia lelaki pezina. Hanya saja demi membuat Vidia panas, aku akan mengizinkan.

“Boleh, silakan masuk!” 

Ferdila tersenyum, kemudian merebahkan diri di tempat tidur yang sudah harum semerbak. Lelaki itu memberi isyarat agar aku mendekat.

“Kangen,” lirih Ferdila sambil memelukku erat.

Aku tertawa dalam hati. Entah kenapa aku sangat yakin kalau Vidia ada di balik pintu. Baiklah, tidak mengapa meladeni lelaki yang masih berstatus suamiku.

“Aku juga kangen sama kamu, Ferdila Sayang,” balasku dengan suara keras.

“Kenapa teriak?”

“Gak apa-apa, senang banget soalnya.”

“Malam minggu yang indah. Haruskah kita?”

“Kamu mau bercinta denganku, Fer? Aduh, aku lagi sakit perut soalnya. Lagian kalau baru hamil muda, gak boleh anu-anuan!” Lagi aku sedikit meninggikan suara.

“Eh, alhamdulillah kamu gak mandul, ya? Sudah tespeck?”

“Iya,” jawabku singkat, lalu melanjutkan dalam hati. 'Aku tidak hamil.'

Tok, tok, tok!

Vidia mungkin sudah panas di tempat. Benar sekali dugaanku kalau dia berdiri di balik pintu. Ferdila mengembus napas kasar, kemudian memintaku membukanya.

“Ferdila!” teriak Vidia.

Aku membuka pintu. “Ada apa? Ganggu suami istri lagi mesraan saja.”

“Suamiku ada di sini?”

“Suamimu?” Aku tertawa kecil. “Iya, suami kita ada di sini. Tolong jangan ganggu, kami sedang mengobati rindu.”

Sebenarnya aku masih penasaran kenapa Ferdila bisa semarah itu. Mungkin ada sesuatu yang terungkap selain foto itu. Ini berita bagus.

“Udah sana!” usirku, kemudian membanting pintu kamar.

Ponsel yang tergeletak di meja rias berbunyi. Aku gegas meraih dan membuka aplikasi sms. Nomor tidak dikenal itu mengirim pesan, rupanya dia tahu kejadian saat ini.

Ia menelepon.

“Ada apa?”

“Kamu pikir aku main-main, Din? Aku tahu kamu sengaja buat Vidia cemburu, kan?”

“Aku tidak peduli.”

Aku klik loudspeker. “Kamu mengancamku?”

“Jika kamu salah mengambil tindakan, bukan hanya kamu yang mendapat akibatnya. Namun, suami juga orangtuamu.”

“Din?” Ferdila nampak terkejut. 

Aku memutus panggilan itu, kemudian melangkah dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa?”

“Kamu tahu siapa yang menelepon?”

Aku menggeleng, padahal sebenarnya tahu siapa pemilik suara itu hanya saja sedikit ragu. Ferdila menarik napas panjang, lalu mengembuskan kasar.

“Dia selalu menelepon dan mengancam banyak hal. Dia mengira aku tidak menerima kehadiran Vidia. Padahal kamu lihat sendiri, 'kan?”

Ferdila mengulum senyum. “Shella.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status