"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.
Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah.
"Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren.
"Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.
Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.
Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit.
"Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
“Berbuat baiklah pada Vidia. Dia cinta pertamaku sekaligus calon adik madu kamu.” Aku diam seribu kata, merasa hancur bagai disambar petir. “Perlakuanku padamu, tergantung perlakuan kamu padanya,” tambah Ferdila. Perempuan yang bernama Vidia tersenyum tipis padaku. “Fer.” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sekarang. Dadaku seketika sesak mendapati kenyataan sepahit ini. “Keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Kalau kamu keberatan, silakan ajukan permintaan cerai.” “Kenapa?” tanyaku. Suara benar-benar lemah. “Agar orangtua kita tidak menyalahkan Vidia. Kamu tahu? Vidia sangat berharga, Din.” Setelah mengucapkan itu, Ferdila menggandeng tangan Vidia masuk rumah. Mereka duduk di kursi tamu, mengobrol begitu hangat. Aku menutup rapat pintu utama, kemudian berlari kecil masuk kamar. Kutenggelamkan wajah di tepi ranjang sambil terus merutuki nasib. “Tuhan, kenapa aku selemah ini?” lirihku. Ferdila
Aku meraih ponsel dan mengirim pesan untuk Yuni. Untung saja hari ini libur sehingga tidak harus menunggunya pulang dari kantor. Dia memang tergolong dewasa dan pandai mengambil sikap terlebih saat dalam urusan percintaan. Tersakiti berulang kali menjadikannya sangat berpengalaman. Yuni juga teman SMA Ferdila dan Vidia dulu. Mungkin dia tahu kelemahan mereka atau salah satunya saja. Satu jam berlalu, dia sudah sampai. Aku harus menghilangkan pikiran tentang kemesraan Ferdila dahulu. Kami duduk saling berhadapan. “Ada masalah apa, Din? Tumben banget kamu memintaku datang hari libur. Biasanya jalan-jalan sama Ferdi.” “Itu dulu, Yun. Ferdi sudah punya perempuan lain. Kamu pasti gak nyangka siapa perempuan itu.” Aku menjawab setelah menarik napas panjang berulang kali. “What?!” “Iya, perempuan itu bernama Vidia.” “Vidia Maida?!” Yuni terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Aku hanya bisa mengangguk membenarkannya. “
“Iya, Vidia itu terkenal licik. Aneh saja, kenapa Ferdila malah jatuh cinta mati padanya.” “Licik gimana?” “Haduh, banyak. Bahkan sejak SD dia sudah pandai membully orang. Vidia itu mata duitan, Din.” Jantungku berdegup kencang. Sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi. Ingin menyampaikan pada Ferdila juga tidak mungkin karena hanya akan mendapat amarahnya. Hati yang sudah dikuasai orang lain itu susah untuk kembali. *** Hari sudah malam. Sejak sore tadi aku tidak ada kesibukan. Ingin keluar mencari Ferdila juga tidak mungkin karena tidak tahu alamat rumah Vidia. Jam sudah menunjuk angka sembilan, aku mendengar suara orang dari luar. Saat membuka pintu, rupanya Ferdila kembali. Hanya saja di sampingnya berdiri seorang perempuan. Tidak usah ditanya itu siapa, sudah pasti adalah Vidia. “Fer, kamu bawa Vidia pulang ke sini? Apa kata tetangga?” tanyaku setelah keluar kamar. “Tidak usah pus
Panggilan telepon terputus sepihak. Aku menarik napas dalam berulang kali agar air mata tidak jatuh membasahi pipi. Nomor tidak dikenal itu entah milik siapa. Ingin menelepon balik, ternyata sudah diblokir duluan. Lantai aku bersihkan, setelah itu melangkah masuk kamar dan membanting kasar pintu. Untuk berbaring saja jijik rasanya mengingat mereka tidur di kamar ini tadi malam. Aku membuka lemari dan mengambil semua pakaianku untuk dipindahkan ke kamar tamu. Tidak apa mengalah untuk saat ini, suatu hari kita akan tahu siapa yang mengemis untuk bertahan. Besok suamiku akan menikah dengan pacar yang dia anggap lebih baik dari istrinya. Semoga saja dia bahagia agar tidak menangis darah. Aku harus hadir untuk memberi hadiah paling terbaik sehingga mereka tidak akan pernah melupakannya. Malam telah tiba, angin berembus memaksaku berselimutkan rindu. Tak ingin menyimpan sesak sendirian, aku menelepon Yuni. “Ada apa, Din?” “Besok Ferdila nika
“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?” “Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?” “Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?” “Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras. “Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?” “Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!” “Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni. “Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila. “Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku. Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir. “Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga