Kata orang, kasih ibu sepanjang masa. Cinta seorang ibu kepada anak melebihi segala sesuatu yang ada di dunia. Kasih sayang ibu sangat sempurna dan sejahat apa pun anak menyakitinya, beliau tak akan pernah bisa membencinya. Seorang ibu rela melakukan apa aja meskipun nyawa taruhannya. Semua petuah itu berlaku untuk ibu.
Diam-diam, ibu menggadaikan sertifikat rumah dan uangnya dipakai untuk menebus denda agar putranya bisa bebas dari hukuman penjara. Setidaknya itulah yang dikatakan Hardi pada perempuan renta tersebut . Namun, karena keluguan yang dimiliki ibu, lagi-lagi Hardi membohonginya. Pria jahat itu kabur dari penjara setelah mengambil semua uang. Entah bagaimana caranya, seusai ibu mengunjungi dan menyerah uang puluhan juta, Hardi menarik langkah seribu dari penjara. Kini, Hardi menjadi buronan polisi.Ah, miris sekali kehidupan wanita yang melahirkan anak seperti Hardi. Sebulan kemudian dua pria yang berprofesi sebagai kreditur mendatangi rumah dan menemui ibu. Mereka menagih cicilan di bulan keenam yang harus dibayar."Maaf, Pak. Bukannya saya tidak mau bayar, tetapi saat ini saya belum punya uang. Apa bisa diberi keringanan lagi?""Maaf, Bu. Sejak cicilan pertama kami sudah memberi keringanan untuk dibayar di bulan kedua. Tapi nyatanya belum ada itikad baik dari ibu untuk membayar sepersen pun kepada pihak kami. Ini sudah bulan keenam, Bu. Apa yang harus kami katakan kepada pimpinan jika kami memberi keringanan lagi kepada Ibu?""Tapi, Pak. Bulan ini saya janji akan membayarnya. Karena Minggu ini saya lagi ada banyak orderan kue. Jadi saya rasa sanggup membayar cicilan itu.""Maaf, Bu. Kami hanya menjalankan tugas saja. Jika siang ini kami tidak mendapatkan uang, kami terpaksa segel rumah ini dan silakan Ibu meninggalkan rumah hari ini juga.""Saya mohon jangan usir kami, Pak. Mau tinggal di mana kita jika kami pergi dari sini? Saya mohon belas kasihan kalian.""Ibu?"Giandra yang baru pulang dari pasar, sedikit terkejut melihat ibu yang sedang berlutut di hadapan kedua pria yang berseragam rapi."Maaf, ada apa, ya?" tanyanya dengan sopan setelah meletakkan barang belanjaan di meja teras, lalu mendekati dan membantu ibu untuk berdiri."Rumah ini akan kami sita karena sejak pinjaman itu kami belum mendapatkan uang cicilan dari kalian.""Sita? Pinjaman?" tanya Giandra lirih dengan rona bingung dan tak mendapat sahutan apa pun dari mereka.Dia sama sekali tak tahu akar permasalahan. Kepalanya menoleh menatap ibu dan meminta jawaban tetapi wanita berambut putih tersebut menuduk, menyembunyikan air matanya."Baiklah, kami kasih keringanan satu hari lagi. Besok kami akan datang kembali menagihnya. Jika belum ada pembayaran dari kalian, dengan sangat maaf, kami terpaksa menyita rumah dan mohon kalian kosongkan tempat ini. Permisi."Kedua pria tersebut menjauh meninggalkan seribu tanya di dada Giandra. Setelah punggung kedua orang itu menghilang dari pandangan, Giandra memapah ibu ke dalam rumah. Dia harus tahu apa yang terjadi sebenarnya."Apa? Ibu gadai sertifikat untuk membebaskan Bang Hardi?"Lemas sudah seluruh otot beserta sendi dalam tubuh, Giandra tak sanggup berdiri dan terduduk di lantai dengan jantung yang seolah berhenti berdetak."Maafkan, Ibu, Gi. Hardi juga anak Ibu. Ibu tak tega melihat dia mendekap di penjara seumur hidupnya. Dia harus mendapat kebebasan selayaknya orang pada umumnya. Lagipula kata Hardi, dia khilaf." Suara ibu bergetar bercampur rasa ketakutan dan kesedihan.Meski dunia Giandra serasa runtuh, dia masih bisa menjelaskan kepada wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri."Semua orang yang sudah dijatuhkan hukuman pasti akan berdalih menyatakan dirinya khilaf. Perbuatannya itu bisa dihindarkan jika tadi dia tidak berzina. Bermain dengan wanita yang sudah bersuami, lalu membunuh sengaja atau tidak sengaja, tentu harus mendapatkan hukuman yang setimpal."Wanita renta itu tahu kesalahan yang tak bisa dimaafkan begitu saja. Hanya saja, slogan kasih ibu sepanjang masa masih melekat kuat di dada. Dia tak sanggup menolak permohonan saat putranya mengiba meminta uang. Terpaksa, harta satu-satunya peninggalan nenek pun dikorbankan.***Malam semakin larut, jarum jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas kurang. Mata Giandra belum bisa terpejam, hati dilanda kegundahan yang amat terdalam. Ke mana uang lima puluh juta akan dia dapatkan dalam semalam? Tabungan yang sudah terkumpul di bank tidak cukup untuk membayar cicilan enam bulan beserta bunganya."Besok kami akan datang kembali menagihnya. Jika belum ada pembayaran dari kalian, dengan sangat maaf, kami terpaksa menyita rumah dan mohon kalian kosongkan tempat ini."Deretan aksara itu kembali terngiang, mengusik dan mendebarkan jantungnya. Apa yang harus dilakukan jika benar besok orang itu datang kembali? Di mana akan dibawa ibu dan Jihan, adik perempuannya? Mereka sama sekali tidak punya saudara atau teman yang bisa dimintai bantuan. Rumah itu harus dipertahankan, entah bagaimana caranya. Kendatipun jauh dari kata mewah, setidaknya rumah yang sekarang ditempati dapat melindungi dari terik matahari dan hujan.Belum lagi biaya daftar tes masuk kuliah Jihan bulan depan? Impian gadis delapan belas tahun itu adalah ingin menjadi arsitek terkenal. Kemampuan otak dan keterampilan menggambarnya bisa diacungkan jempol. Sayang rasanya jika Giandra menepis harapan gadis tersebut. Sang kakak sudah berjanji akan berusaha mencari dana untuk mewujudkan mimpinya."Urusan biaya biarkan Kakak yang pikirkan. Tetapi urusan ujian masuknya, Jihan harus rajin belajar agar lulus di jurusan itu."Senyuman Jihan seolah mengisi semangat, Giandra sudah menyiapkan baterai tenaga yang penuh, berusaha bekerja dan menabung. Beruntung, dia bergabung dengan Event Organizer milik Jacky yang selalu menggunakan jasanya menjadi pembawa acara di event apa pun. Pernikahan, ulang tahun, dan reunian.Terkadang jika tidak ada kerjaan dari pria itu, Gian pun rela mengambil posisi sebagai SPG produk di salah satu mall terbesar di Jakarta. Lumayan, seharian berdiri bisa mendapat ratusan ribu. Kemolekan wajah dan tubuh yang ramping menjadi modal utamanya bisa mendapatkan pekerjaan sampingan itu. Apa pun akan dilakukan, asalkan pekerjaan itu halal.Saat menatap benda langit berwarna jingga di balik jendela, hatinya terasa sejuk seketika. Seolah benda itu mentransfer hawa dingin yang menentramkan pikiran. Sel saraf dalam otaknya pun mengingat kartu nama Emma yang dia simpan dalam laci meja belajar Jihan."Aku hanya pinjam rahimmu sampai anak itu lahir. Setelah itu, kamu bebas.""Maaf, aku tidak bisa menerima tawaranmu.""Bawa kartu ini dan hubungi aku kembali jika kamu berubah pikiran.""Kak!"Suara itu menarik paksa sepotong peristiwa beberapa bulan lalu. Ternyata Jihan masih saja menunggu respons di balik telepon. Entah, akhir-akhir ini Giandra terlihat sering melamun, seolah masalah tidak pernah berhenti mengejarnya."Kak, apa Bang Jacky ...."Kesadaran Gian dipaksa menuju ke alam kenyataan karena suara lembut Jihan. Wajah Hardi pun terurai seketika. Wanita itu menggosok matanya berusaha membuang sisa bayangan wajah Hardi yang ada di pelupuk mata."Kenapa dengan Jacky?""Apa kalian sering bersama saat di Jakarta?" Terdengar sedikit ragu nada bicaranya, Gian tersenyum seolah mengerti maksud adik perempuan tersebut. "Hm, tidak terlalu, Han. Kakak di sini, kan, kerja di perusahaan dari Senin sampai Jumat. Kalau nge-MC bareng Jacky ambil hari Sabtu atau Minggu. Itu pun nggak tidak minggu ada jadwalnya. Ya, tapi kebetulan untuk minggu ini Kakak memang full ngisi acara."Hening beberapa det
Di tempat lain"Kenapa kamu menghianatiku, Jasmine? Apa salahku? Apa kekuranganku? Ke mana kamu sekarang? Apa kamu sudah menikah dengan pria itu? Aku ...."Rasanya tak sanggup Darren melanjutkan deretan kalimat yang selalu menyulutkan amarah sekaligus kesedihan yang amat terdalam. Sudah berkali-kali, dia mencoba membuang nama dan wajah wanita masa lalu dalam hidupnya, tetapi selalu gagal. Bayangan Jasmine seolah seperti hantu yang terus menari di tempurung kepala dan mengakar di hati."Bro, kamu sudah menemukan Jasmine? Itu dia, kan? Karyawan baru di bagian divisi desain?"Entah sejak kapan, Fito datang dan langsung duduk di depannya. Mereka memang ada janji di kafe untuk membahas perencanaan mendistribusikan produk ke negara kangguru."Entahlah, yang kulihat wajah memang mirip, tapi nama dan gelagatnya beda. Aku belum yakin itu dia."Perhatiannya tiba-tiba tertuju pada layar 14 inch yang menampilkan foto gadis dua puluh tahun
Sudah berkali-kali Fito mengingatkannya. Darren belum move on meski sudah ada Emma yang mengisi hidupnya. Cinta? Iya, Darren mencintai istrinya itu. Sebesar apa? Tentu tidak sebanding untuk Jasmine karena kata orang cinta pertama itu memang cinta yang sulit dilupakan. Lantaran bayangan wanita itu telah meninggalkan jejak pada area sensorik otak Darren.Helaan napas Darren terdengar kasar, tangannya menutup layar yang ada di depan. Suasana hati tiba-tiba kacau detik itu. Pernikahan siri dengan Giandra kemarin pagi membuatnya harus berada di dekatnya kembali. Apalagi keinginan Emma yang di luar nalar, segera menghamili istri muda tersebut. Bagaimana mungkin?"Tapi peristiwa itu masih cukup misteri, menurutku." Setelah menyeruput teh hijau panas, Fito melanjutkan opininya. Seketika rasa hangat menjalar tenggorokan sampai ke lambung. Aroma khas teh tersebut memanjakan hidung sehingga otaknya mudah berpikir jernih. Lalu, dia menatap lawan bicara tanpa berkedip
"Kamu tidak perlu melakukan hal itu, Emma. Aku tidak suka dengan caramu."Selesai menikmati makan malam, sepasang suami istri sedang berbincang di meja. Pembahasan yang sama kerap menjadi perseteruan ringan di antara mereka."Aku harus melakukannya. Aku tidak mau dipandang sebelah mata oleh mamamu.""Beliau tidak pernah mempermasalahkannya."Tentu Darren tak pernah tahu apa yang menjadi keinginan terbesar ibu mertua Emma selama ini. Jika wanita senja itu yang kini bermukim di London tiba ke Indonesia, hal pertama yang ditanyakan selalu masalah cucu. Kalimat yang diucapkan terdengar biasa, tetapi nadanya penuh penekanan. "Siapa bilang, Mas? Dia selalu bertanya tentang kapan kehamilanku. Mana mungkin aku memberitahukannya kalau aku mandul. Rahimku kecil yang sudah divonis dokter kalau seumur hidupku tak akan ada janin yang bisa hidup di organ itu. Aku tidak mau ....""Sstt, tenang, Emma. Aku tidak pernah menyalahkanmu. A
"Tapi aku lihat ada potensi darinya, Mas. Dia berbeda dengan calon yang datang melamar di perusahaan kita. Mereka fresh graduation yang harus kita papah. Berbeda dengan Gian, talenta dan kemampuannya sudah melebihi jam terbang orang-orang baru itu." Emma terus berusaha meyakinkan dengan nada dan mimik serius."Aku belum melihat potensi itu, Emma. Aku semakin bingung dengan sikap kamu akhir-akhir ini. Kamu tidak seperti Emma yang aku kenal."Wajah itu tampak pasrah. Pria bertubuh 175 cm itu terus menghindari perdebatan dengan mengalah hingga terpaksa menuruti keinginan istrinya."Nanti kamu pasti akan suka dengan hasil jerih payahku mencarikan karyawan seperti Gian. Kita lihat saja nanti, Mas-ku sayang."Bukan berniat untuk menjodohkan lalu menyuruh Darren jatuh cinta pada istri sirinya, Emma hanya ingin si suami rela menanamkan benih ke rahim wanita pilihannya secepatnya. Hanya itu. Terlihat gampang tetapi rumit dilakukan oleh pria sedingin Darren
"Malam ini ada diskon besar di supermarket Sederhana. Apa kamu mau aku temani untuk memborong bahan makanan itu?"Satu pesan dari aplikasi hijau membulatkan mata Gian. Membaca diskon besar membuat hatinya berdebar. Sebagai pemburu diskon sejati, Giandra tak pernah sekalipun mau melewati momen langka tersebut."Boleh, malam ini harus ke sana." Dibubuhi emot tokoh smile yang menunjukkan semua giginya."Aku jemput, jam berapa selesai dari kantor? Langsung jemput dari kantor saja, biar tidak terlalu malam sampai ke sana.""Jam lima kalau tidak ada halangan dan rintangan yang disengaja." Cepat sekali jari itu menari memberi jawaban."Siap, Cantik. Aku tunggu di lobi. See you." Kali ini, lawan chat memberi emot ada hati di mata tokoh smile tersebut.Sempat membuat dahi Gian terlipat dengan emot dan kata cantik di balasan Jacky. Namun, wanita itu segera menepiskan prasangka yang ada di benak. Dia dan Jacky murni hanya teman berbagi dan
"Yes, dapat!"Tangan terampil Giandra menyentuh ikan bakar yang tinggal satu-satunya di rak supermarket, lalu dibawanya ke dalam dekapan. Jika tidak, bisa saja ikan tersebut bisa pindah tangan ke wanita yang berbibir tebal yang juga berjuang memburu diskon di tempat itu."Mbak, pake sopan santun dong kalau belanja. Itu ikan, aku duluan yang memergoki, kenapa situ yang main rebut aja?""Maaf, ya, Mbak. Tapi aku duluan yang ambil berarti ini jadi milikku. Di sini bukannya siapa cepat dia yang dapat?" Gian masih ngotot dan mempertahankan haknya. Dia tak peduli dengan mata melotot yang ditampilkan wanita gendut yang ada di hadapannya."Tapi aku duluan yang melihat ikan ini dari kejauhan. Baru mau aku ambil, eh, situ mau nyambar aja. Memangnya situ tidak pernah diajarkan cara berbelanja yang baik dan benar. Tidak pernah belajar antri atau ....""Eh, Mbak. Kalau bicara itu difilter dulu. Mana ada aturan baku cara belanja yang baik dan benar. Di
"Hei, kadar kecantikan yang kamu miliki sekarang berkurang jika pasang wajah seperti itu terus."Pria berdarah Jerman Sunda itu terus menggoda sembari menarik hidung bangir yang melekat di wajahnya. Kedekatan fisik seperti itu sudah sering dipraktikkan lantaran Gian sudah menganggap Jacky sebagai sahabat sekaligus penyelamat hidupnya."Senyum dong." Kedua jari Jacky menarik sudut bibir hingga membentuk lengkungan. Terpaksa, Gian menyunggingkan senyuman sebab ia tak mau menjadi tontonan gratis penghuni unit yang tak sengaja melintas ke daerah lobi."Besok sore ada acara ulang tahun anaknya Tante Mirna jam tiga. Aku jemput jam satu, oke?"Secercah senyuman kini terbit dengan tulus di bibir ranum wanita tersebut. Mendapat jemputan agar dapat memangkas pengeluaran dan pekerjaan yang dapat menghasilkan cuan."Iya, besok jadwalnya hanya membawakan acara itu, kan?"Pria itu mengangguk dan mengusap kembali puncak kepalanya. Jac