Share

5. Pengakuan Reina

“Saya hanya bisa mengingatkan untuk kalian saling melindungi, Saya rasa kekuatan iblis itu semakin tinggi. Saya tidak bisa menjamin dapat melindungi keluarga kalian.” Pungkas Mbah DaemeHela nafas Mbah Darmo panjang.

“Letakkan benda ini di bawah bantal ibumu, semoga dapat membantu terhidar dari gangguan iblis itu.” Mbah Darmo memberikan keris kecilnya kepada Bu Mirna.

“Terimakasih banyak Mbah, sudah membantu kami.” Ucap Pak Arya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada Mbah Darmo. 

Mbah Darmo pun berpamitan pulang, dan berpesan untuk  tidak sungkan memanggilnya jika ada situasi darurat.

“Mari Mbah saya antar pulang.” Tawar Pak Arya.

“Ndak perlu, Le. Kamu jaga aja keluargamu saja di sini. Bahaya.” Bisik Mbah Darmo.

Setelah Mbah Darmo pulang, Pak Arya langsung mengunci rapat semua pintu dan jendela. Dan bergegas menuju kamar Nenek Iroh, ternyata Bu Mirna sudah duduk di kursi samping ranjang Nenek Iroh, membelakangi Pak Arya.

“Ma, kamu istirahat dulu aja. Biar Papa yang jagain Ibu. Nanti kamu sakit lho.” Tangan Pak Arya mengusap bahu Bu Mirna lembut.

Namun Bu Mirna hanya diam saja. Sama sekali tidak menggubris Pak Arya. Namun perlahan tangannya memegang tangan Pak Arya yang sedang mengusap bahunya. Betapa terkejutnyanya Pak Arya melihat tangan Bu Mirna putih pucat dengan kuku tangan hitam dan sedikit terluka. Tiba-tiba... 

“Pa, ternyata kamu disini, Mama cariin di kamar lho.” Suara Bu Mirna terdengar sangat dekat di belakang tubuh Pak Arya.

Pak Arya terkejut, hingga badannya berjingkat dan tersentak, suara nafasnya berat. Dia memberanikan diri, perlahan memalingkan wajahnya ke belakang.

“Astagfirullahalazim.” Pak Arya dian kembali menoleh ke arah kursi tadi. Sosok tadi sudah tidak ada.

“Ada apa e ,Pak? Kok seperti kebingungan gitu?”

“Engga kok Ma, Nggak apa-apa. Cuma kaget aja Mama tiba-tiba datang.” Sangkal Pak Arya dengan mata tetap berpendar mencari sosok yang mirip dengan Bu Mirna. 

“Siapa tadi itu kalau bukan Mirna?” batin Pak Arya penasaran. 

“Pa, kita istirahat dulu yuk. Udah jam segini.” Bu Mirna mengarahkan jari telunjuknya ke jam dinding yang menunjukkan sudah pukul 22.50 WIB.

“Bu, Aku sama Mas Arya istirahat dulu ya.” Tangan Bu Mirna mengelus dahi Nenek Iroh.

Mereka keluar dari kamar nenek iroh, kemudian menutup pintunya dengan pelan-pelan.

***

“Reeeeinaaa-Reinaaaa.”

“Reeeiiinaaa.”

Terdengar suara sosok itu memanggilnya. Selimut Reina seperti ada yang menarik dari bawah kakinya.

“Aaarrgh.” Jerit reina tertahan, dia terbangun dari tidurnya. Jantungnya berhenti seperti sudah tidak berfungsi, dadanya sesak dan nafasnya terdengar pendek. 

"Reeiiinaaaa."

Sayup-sayup suara itu kembali terdengar. Reina mengambil bantal untuk menutupi telinganya agar tidak lagi bisa mendengar suara itu, namun percuma.

Srreeeekkk sreeekk sreeeekkk!!

Ternyata suara itu berasal dari dalam selimut Reina. Reina terperanjat saat melihat selimut yang dia pakai terlihat bergelombang seperti ada yang merangkat di dalamnya.

Deg deg deg.

Suara jantung Reina terdengar kencang, nafasnya semakin tidak stabil. Dia perlahan membuka selimutnya dengan tangan gemetaran. Sesekali dia terlihat menelan ludahnya. 

“Ya Tuhan, apalagi ini?” tangan Reina semakin kencang meremas selimutnya. 

Tiba-tiba sosok itu keluar dari dalam selimut, tengah menatap tajam Reina, kedua bola matanya menghitam. Mulutnya terbuka lebar. Jari-jari dengan kuku panjang itu mulai menggrayangi tubuh Reina.

“Aaaaaaaaaarrrghhhhh!!” Reina berusaha teriak sekencang mungkin, tapi suara seperti tertahan, serak dan lirih, nyaris tak terdengar. Tubuhnya kaku, keringat sebesar jagung menetes deras dari dahinya. 

Reina mencoba tenang, dia memejamkan matanya sebentar. Dia terus berdoa dalam hatinya. 

"Aaaaaaarrrgh!" Akhirnya Reina dapat berteriak dengan kencang. 

Kemal sontak terbangun mendengar teriakan itu. Dia berlari menuju kamar orang tuanya, meninggalkan Reina di kamar seorang diri.

Tok tok tok!

Kemal mengetok pintu kamar kedua orang tuanya.

"Papa ... Mama!!” Kemal memanggil kedua orangtuanya.

Bu Mirna dan Pak Arya terbangun oleh ketukan pintu kamarnya dan beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintunya. Betapa kagetnya mereka melihat Kemal sudah terduduk kaku di samping pintu. Saking ketakutannya Kemal kencing di celana yang mebuat celananya basah dan bau pesing.

“Ya Allah Nak, kamu kenapa duduk disitu. Itu basah-basah apa? Kencing kamu? Kenapa di celana kan bisa ke kamar mandi. Apa kamu lagi ketakutan?”

“iya, Kemal takut Pa, Kakak teriak-teriak dari tadi. Kemal takut sama Kakak Pa.”

Bu Mirna dan Pak Arya pun saling menatap. Mereka terheran, apa lagi yang terjadi dengan Reina.

“Nak, ayo ganti baju sama Mama ya. Biar Papa nengokin Kakak dulu di kamarnya.”

Akhirnya Bu Mirna menemani Kemal pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Sementara Pak Arya menemui Reina.

“Rei. Nak?”

Cahaya masuk dari lampu luar menyoroti wajah imut  Reina yangbb. Sosok itu pun hilang bagai angin. Sontak Reina beranjak dari ranjangnya dan memeluk Pak Arya.

“Paaa ... Reina takut,Pa!” Reina menangis sesenggukan.

“Tenang Nak, udah ada Papa disini. Kamu jangan takut lagi.” Pak Arya mencoba menenangkan Reina dan membawanya duduk ke kursi ruang tamu.

Kemal dan Bu Marni menghampiri mereka. Mereka saling berpelukan. Bu Marni menangis sejadi-jadinya. Wajahnya bersandar di dada Pak Arya.

“Seandainya Mama dan Papa tidak mementingkan usaha yang kita rintis dulu sampai puluhan tahun tak menyempatkan menengok Nenekmu, tidak akan kejadian seperti ini. Kita pasti dapat mencegahnya dari awal.” Sesal Bu Mirna.

“Sudahlah, Ma. Kita perbaiki ini semua dan mencari cara untuk memusnahkan iblis itu. Kita harus selamatkan Nenek” Reina memegang tangan Bu Marni.

“Maafin Reina juga, karena Reina yang telah membuka papan penutup sumur itu, Reina juga sempat mengumpat dan meludahi sumur tua itu. Karena keteledoran Reina, keluarga kita jadi tidak tenang seperti ini.” Imbuh Reina.

Mereka semua pun kaget mendengar pengakuan Reina. Tak menyangka ternyata Reina lah yang telah membuat iblis itu bangkit. Suasana menjadi hening, seketika wajah Pak Arya dan Bu Mirna menjadi pucat, mereka ketakutan iblis itu akan mengamcam nyawa Reina. Tangan Pak Arya dan Bu Mirna saling menggenggam erat.

“Ya sudah, Nak. Mau bagaimana lagi. Semua udah terlanjut terjadi. Yang terpenting sekarang kita harus lebih hati-hati.” Pak Arya memeluk mereka bertiga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status