Bagi Ana, pemandangan luar mobil saat ini jauh lebih menarik dari pada pria di sampingnya. Davin sendiri masih fokus pada jalanan yang cukup padat. Sesekali matanya melirik gadis di sampingnya yang memilih untuk terus diam. Davin sadar jika dia sudah keterlaluan, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk membuat Ana tetap berada di sisinya.
Sejak menjadi pemateri seminar bisnis dulu, Davin mulai memperhatikan Ana. Melihat setiap gerak-geriknya yang tidak berubah sejak dulu. Perbedaannya, Ana sekarang tumbuh menjadi gadis yang cantik tapi tetap ceroboh. Setelah berjumpa beberapa kali, dapat Davin simpulkan jika Ana tidak mengingatnya sama sekali. Dia merasa konyol pada dirinya sendiri yang sabar mencari Ana hingga detik ini. Padahal orang yang ia cari terlihat acuh dan tidak tertarik sedikitpun.
"Kita makan dulu?"
"Nggak usah, Pak. Saya pulang aja," jawab Ana tanpa menatap Davin.
"Kamu belum makan."
"Saya bisa makan nanti." Ana berusaha untuk segera berpisah.
Tanpa meminta persetujuan dari Ana, Davin membelokkan setir mobil ke restoran cepat saji. Dia memilih drive-thru karena yakin jika Ana tidak akan mau turun. Davin memberikan makanan yang dia pesan pada Ana. Uluran tangan itu menggantung saat Ana tidak menerimanya, bahkan gadis itu masih menatap jendela mobil yang tidak terlihat menarik sama sekali.
"Ana?" panggil Davin sabar.
Terlihat Ana sedikit melirik dan lagi-lagi menggeleng sebagai jawaban.
"Makan, Ana!" Davin berbicara dengan penekanan. Dia tidak suka diabaikan.
Ana berdecak dan mulai menatap Davin sepenuhnya, "Saya nggak laper, Pak."
"Ya udah, dibuang aja."
Ana yang melihat itu, langsung merebut bungkus makanan dari tangan Davin dan memeluknya erat. "Jangan buang-buang makanan!" ucapnya kesal.
"Kalau gitu kamu makan."
Dengan perasaan yang campur aduk, akhirnya Ana mulai memakan makanannya. Sebenarnya ayam di tangannya cukup menggiurkan, tapi entah kenapa dia tidak ingin makan apapun. Rasa laparnya seolah menguap entah ke mana. Ini semua karena Davin. Perasaannya selalu memburuk jika bertemu dengan pria itu.
Tangan Ana menarik selada dari burger dengan tatapan masam. Dia tidak suka sayuran dan Davin membelikannya burger yang penuh dengan sayuran. Hal itu tidak luput dari pandangan Davin. Pria itu mengamati Ana sejak tadi. Meskipun tidak berselera untuk makan, tapi tetap gadis itu menghabiskan beberapa menu yang dia pesan.
"Katanya jangan buang-buang makanan."
Ana menghentikan kegiatannya memilih sayuran, "Untuk sayur pengecualian."
"Sayur kan sehat."
Ana menggeleng cepat. "Nggak enak."
"Pantes kamu pendek."
Ana mendelik mendengar itu. Dengan kesal dia membungkus kembali burger-nya dan meminum minumannya cepat. Kenapa ketika Davin berbicara semuanya langsung berubah? Mulut pedas itu selalu membuatnya kesal. Ana gemas, dia ingin memukul pria itu saat ini juga.
"Jangan dibuang, nanti aku makan."
Ana menatap Davin tidak percaya, "Tapi ini bekas saya, Pak."
"Dulu aku juga sering makan makanan sisamu," gumam Davin pelan ketika teringat dengan kebersamaannya bersama Ana 10 tahun yang lalu.
"Bapak ngomong apa?" Ana mendekat untuk mendengar ucapan Davin lebih jelas.
Davin menggeleng. "Di mana kosmu?"
Ana menunjukkan jalan tanpa wajah cemberutnya. Ini langkah yang bagus. Setidaknya Ana sudah tidak lagi marah dan mulai bersikap santai jika bersama dirinya. Jujur saja, Davin lelah ketika Ana selalu menatapnya dengan rasa takut dan kesalnya. Dia menginginkan tatapan lain dari gadis itu.
"Besok berangkat kuliah aku antar," ucap Davin saat mereka sudah sampai di depan kos.
"Jangan aneh-aneh deh, Pak. Kita nggak akan ketemu lagi setelah ini."
Davin tersenyum miring, "Jangan harap."
"Bapak paham nggak sih kalau saya nggak mau ketemu Bapak lagi?!"
Davin tersenyum kecut mendengar itu. Baru kali ini ada gadis yang menolaknya mentah-mentah. Jika perasaannya pada Ana tidak tumbuh, sudah sejak dulu dia menendang gadis bar-bar itu menjauh.
"Masuk sana. Besok aku jemput."
"Nggak mau, Pak!"
Davin memejamkan matanya lelah, "Jangan membantah, Ana!" ucapnya keras.
"Tuh kan liat! Saya nggak mau punya pacar galak!" Bukannya takut, Ana malah semakin menjadi-jadi.
Davin memilih untuk mengalah dan mengambil kotak kecil dari kursi belakang.
"Apa ini?" Ana menerima kotak itu dengan ragu.
"Hp-mu."
Ana membuka kotak itu dan menatap Davin terkejut, "Ini buat saya?" tanya Ana tidak percaya. Bagaimana tidak terkejut jika Davin memberikan ponsel keluaran terbaru untuknya.
"Kamu suka?"
Ana mengangguk semangat. Dia seolah lupa dengan rasa kesalnya tadi. Ana akui Davin sangat pintar dalam mengalihkan fokusnya. "Suka, tapi ini mahal, Pak."
"Ambil aja."
"Nggak deh. Ini berlebihan kayanya," ucap Ana pelan yang masih bisa didengar oleh Davin.
"Cuma HP, Ana."
"Tapi, Pa—"
"Nurut, Ana!" Ana terdiam mendengar ucapan Davin yang tegas.
"Oke, saya terima, tapi tetep saya nggak mau jadi pacar Bapak," balas Ana cepat membuat Davin mendengkus tidak percaya.
"Udah, masuk sana."
Saat Ana akan membuka pintu mobil, Davin menariknya dan mengecup dahinya cepat, "Sampai ketemu besok." Ana masih diam dan menatap Davin tidak percaya.
"Keluar sekarang. Aku mau kerja."
Tidak ingin bertengkar, Ana memutuskan untuk keluar. Baru beberapa langkah, dia kembali berbalik dan membuka mobil, "Makasih ya, Pak." Sekesal apapun dirinya terhadap Davin tetap saja Ana harus berterima kasih.
Saat Ana telah menghilang dari pandangannya, Davin mulai menjalankan mobilnya ke sebuah restoran. Sebenarnya dia ada rapat siang tadi tapi demi Ana dia rela menundanya. Davin termasuk orang yang sibuk. Namun, hanya karena seorang Ana dia mau melakukan apapun. Sungguh dahsyat efek seorang Ana.
***
Ana menatap keadaan sekitar dengan was-was. Dia sedang bersembunyi sekarang, menghindar dari pria yang selalu menjemputnya akhir-akhir ini. Bukannya apa, tapi Ana juga membutuhkan waktu untuk sendiri. Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Ana bergegas masuk ke dalam dan menatap Ally dengan tatapan penuh terima kasih. Untung saja sahabatnya datang di waktu yang tepat, jika tidak maka dapat Ana pastikan jika dia akan berakhir dengan kecanggungan di dalam mobil Davin lagi."Ayo, cepet jalan!" Ana menoleh ke belakang dan menemukan Edo yang masih berdiri di samping mobilnya.
Ana berhenti berlari saat kakinya sudah tidak kuat lagi untuk memutari lapangan tenis. Dia terduduk di atas tanah dan bersandar pada jaring yang menjadi pembatas lapangan. Napasnya terdengar memburu dan reflek tangannya terangkat untuk mengusap keringat yang membasahi dahinya."Cuma 4 kali putaran?" tanya Davin dengan nada mengejek."Capek, Mas!""Ayo, satu kali dan setelah itu selesai." Davin menarik tangan Ana untuk berdiri tapi gadis itu me
Ana masih ingat saat pertama kali dia bertemu dengan Ibu Davin. Dia tahu jika pertemuan itu bukanlah pertemuan yang baik. Dia berada di posisi yang tidak menguntungkan sehingga membuat wanita itu berpikiran yang tidak-tidak. Meskipun Ibu Davin tidak berkata apa-apa setelahnya, tapi siapa yang tahu jika dia memendam amarahnya pada Ana dan mengundangnya sekarang agar bisa memojokkannya bersama dengan keluarga besar."Sampai kapan kayak gini?" Davin melirik Ana yang hanya memainkan jari-jarinya sejak tadi, "Sudah hampir 30 menit, Bunda udah nunggu di dalam.""Bentar, Mas. Aku belum si
Hari sudah mulai berganti tapi tidak dengan suasana di rumah Davin. Pagi hari yang seharusnya bisa menjadi awal yang indah untuk semua orang tidak akan terjadi kali ini. Sejak semalam, suasana kelam itu masih terasa hingga saat ini. Itu semua karena Lucy yang memilih untuk tinggal."Vin, aku sama Laila pulang dulu ya," ucap Kevin setelah selesai sarapan.Ana tiba-tiba berdiri dan menatap Kevin penuh harap, "Aku ikut ya? Kalian bisa anter aku pulang?"
Entah apa yang merasuki Ana hingga membuat keputusan untuk bekerja paruh waktu. Bahkan orang tuanya pun tidak tahu akan apa yang dia lakukan saat ini. Ally yang jengah dengan kemurungannya akhirnya menawarkan pekerjaan yang langsung ia setujui. Sebenarnya Ana menganggap jika ini hanya pengalihan saja, agar otaknya tidak terus tertuju pada Davin, pria yang tega membuatnya sakit hati untuk yang pertama kali karena cinta. Selain karena Davin, Ana juga ingin memanfaatkan waktu luangnya untuk menambah pengalaman, dan uang tentu saja."Ana, tolong ambilkan piring kotor di meja 10!" Ana mengangguk dan memasukkan kain lap ke dalam kantong yang terikat di pinggangnya. Dengan
"Sebelum mengakhiri kelas hari ini, saya akan memberi tugas untuk kalian." Suara lenguhan dari mahasiswa langsung terdengar begitu dosen tidak langsung mengakhiri kelas."Sebentar lagi kan ujian, Bu? Kenapa masih dikasih tugas?" celetuk Andre, salah satu mahasiswa kupu-kupu yang berarti'kuliah-pulang kuliah-pulang'dengan berani."Kalau tidak mau dikasih tugas ya nggak usah kuliah!" ucap Bu Linda yang langsung membuat Andre terdiam. Diam bukan berarti takut, tapi dia malas untuk menanggapi.
Ana mengusap kedua tangannya senang saat makanan yang dia pesan telah datang. Andre hanya pasrah begitu melihat banyaknya makanan yang dipesan oleh temannya itu. Jika bukan karena kalah taruhan, dia tidak akan mau melakukan ini. Untung saja ayahnya memberi uang saku yang cukup seolah paham jika dia akan bertemu manusia dengan spesies aneh seperti Ally dan Ana."Habis ini nambah ya?" ucap Ally membuat wajah Andre berubah kusut."Udah dong, kalian makan udah habis 300 ribu ini."
Langkah Ana terhenti saat melihat sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya. Dia mengenali mobil itu. Perlahan Ana masuk dan terkejut saat mendapati Edo yang ada di sana dan bukan Davin seperti perkiraannya."Loh, Pak. Saya kira tadi Mas Davin.""Pak Vinno minta saya buat jemput, Dek. Makanya saya di sini. Pak Vinno lagimeetingsoalnya."Mobil berhe