Hari-hari yang kulewati di rumah mertua sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Rasanya apa pun yang kulakukan takada yang benar di mata Mama Laely.
Setiap hari, saat jam menunjukkan pukul empat pagi, jika aku tidak segera keluar kamar, Mama Laely akan membuat kegaduhan di depan kamarku. Entah sengaja menghentak-hentakkan kakinya yang memakai sandal ke lantai, kadang membangunkan Rizki yang tidur di sebelah kamar kami dengan berteriak, bahkan takjarang terdengar suara wajan dan sutil besi yang sengaja diadu.Sedangkan aku, di kehamilan yang semakin membesar, pergerakanku semakin terbatas. Aku juga semakin cepat merasakan kelelahan. Namun, Mama Laely takmau tahu akan kondisiku. Jika aku melawan atau menjawab perkataannya, maka mertuaku itu akan mengadu yang tidak-tidak pada Bang Doni."Rizki! Nia! Cepat bereskan semua mainan kalian ini! Nenek nggak suka rumah nenek jadi berantakan seperti ini karena kalian, paham!" Terdengar suara bentakan Mama Laely pada anak-anakku di ruang tamu. Membuatku yang tengah melipat pakaian di ruang keluarga, bergegas menghampiri mereka.Terlihat Nia yang sedang menangis ketakutan, di sampingnya Rizki juga terlihat ketakutan, tetapi berusaha untuk tidak menangis. Jelas saja mereka ketakutan, kami bahkan tak pernah membentak mereka. Namun, seseorang yang mereka sebut nenek, malah menjadi orang pertama yang menyakiti anak-anakku.Nia dan Rizki langsung memelukku ketika aku sudah berada di dekat mereka, tangis mereka berdua meledak melihatku. "Mama, Nenek jahat. Nenek marah-marah, Nenek cubit Abang dan Adek juga, hiks ...," adu Riski padaku."Ma, Mama kenapa tega sekali sama mereka? Apa salah anak-anakku, Ma? Mereka ini cucu Mama!" sentakku pada Mama Laely."Ajarin anak-anakmu itu dengan benar. Seenaknya saja membuat rumah berantakan! Jangan cuma bisa buat anak saja kerjamu!" ucapnya pedas sembari mendelikkan kedua bola matanya."Ya, Allah, Ma. Mama, kan, bisa ngomong baik-baik sama mereka. Gak harus membentak dan mencubit juga. Mereka itu masih kecil. Kalau diberitahu baik-baik juga menurut, kok. Lagian, aku juga udah mengajarkan mereka untuk beberes setelah bermain. Biasanya juga mereka pandai membereskan mainannya," jawabku panjang."Halah, banyak alasan kamu. Bela saja terus anak-anakmu. Ingat, ya! Kamu itu menumpang di sini! Jangan macam-macam kalau gak mau diusir!" ancamnya padaku. "Satu lagi, apa pun kesalahan yang dilakukan oleh anak-anakmu, maka aku menganggap kalau kamu sebagai ibunya yang tidak becus mendidik mereka!" lantangnya sembari mengacungkan telunjuknya di depan mataku. Setelah itu, Mama Laely lalu pergi dari hadapan kami.Badanku merosot ke lantai, bersandar pada dinding yang berlapis cat berwarna abu-abu. Aku lelah, sangat lelah. Rasanya ingin segera mengakhiri semua ini. Andai saja saat itu aku bisa meyakinkan Bang Doni untuk tidak pindah ke rumah ini. Namun, sekarang semua telah terjadi.Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Rizki telah tidur di kamarnya. Begitu pun Nia yang juga telah terlelap di sampingku. Saat ini aku sudah berada di kamar. Sedangkan Bang Doni, sekarang lebih sering lembur dan pulang paling cepat jam sembilan malam, bahkan terkadang jam sebelas malam.Sejak tinggal di rumah mertua, hanya kamar ini yang masih menjadi tempat ternyaman untukku bersantai, sejenak melepas lelah setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan rumah yang seperti takada habisnya. Berbeda dengan di kontrakan kami dulu, meski kecil, tetapi terasa aman dan nyaman. Saat santai, kami bisa menghabiskan waktu bersama-sama di mana saja. Entah di ruang tengah, di dapur, ataupun di teras.Kehamilan ketigaku ini memang bukan kehamilan yang direncanakan. Aku dan Bang Doni sebenarnya hanya menginginkan dua anak saja, apalagi kami telah mendapatkan sepasang putra dan putri. Sebenarnya, aku telah memakai alat kontrasepsi berupa pil. Namun, entah bagaimana kehamilanku bisa terjadi. Entah aku yang terlupa meminum pilnya atau anak di dalam kandunganku ini memang sudah menjadi rezeki untuk kami.Aku tidak pernah berniat untuk menggugurkan kandungan ini. Biar bagaimanapun dia adalah darah dagingku. Meski tidak merencanakan kehadirannya, tetapi dia adalah anugerah dari Allah. Siapa aku yang berani untuk tidak bersyukur ketika diberikan titipan oleh Sang Maha Pemberi, sedangkan di luar sana, masih banyak pasangan yang sedang berusaha untuk mendapatkan keturunan.Akan tetapi, semakin tua usia kandungan ini, terlebih setelah tinggal di sini, aku tidak merasakan kebahagiaan akan kehamilanku. Berbeda dengan saat mengandung Rizki dan Nia. Bahkan timbanganku turun saat memeriksakan kehamilan minggu lalu. Yang ada hanya rasa lelah, letih, dan beberapa rasa yang takdapat kuungkapkan dengan kata-kata. Ingin rasanya segera mengakhiri semua ini."Hiks, Ya, Allah, maafkan aku atas kekhilafanku. Maafkan aku yang tak pandai bersyukur. Nak, maafkan Bunda, ya. Bunda telah membuatmu bersedih di dalam sana. Sehat-sehat, ya, sayang. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama-sama," ucapku terisak sembari mengelus perutku yang semakin membuncit.Akhir-akhir ini, menangis menjadi rutinatasku setiap malam. Hanya ini yang dapat kulakukan di tengah ketidakberdayaanku."Ris-,"Terdengar suara Bang Doni memanggil namaku dan membuka handle pintu kamar kami.Aku segera menghapus air mata yang membasahi pipi dan beranjak dari tempat tidur, lalu menghampirinya."Kamu kenapa lagi, hah? Perasaan hampir setiap malam aku disambut dengan wajah jelekmu yang tengah menangis itu. Cuci muka sana! Ada yang mau aku bicarakan. Pulang kerja bukannya disambut dengan cantik, malah begitu," titah Bang Doni padaku.Perkataan Bang Doni lagi-lagi menyakiti hatiku. Entah kenapa, sejak tinggal di sini perangainya mulai berubah. Suamiku itu jadi begitu mudah mengucapkan kata-kata hinaan untukku. Dia yang dulu menasehatiku dengan lembut, kini dengan terang-terangan mencerca. Bang Doni yang sekarang juga sangat gampang tersulut emosi dan tidak percaya lagi pada perkataanku.Tanpa berkata-kata, dengan hanya menganggukkan kepala saja, aku pergi ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Di rumah mertuaku ini, tiga kamar utama memiliki kamar mandi masing-masing. Hanya kamar yamg ditempati Rizki saja yang tidak ada kamar mandinya.Setelah mencuci muka, memastikan penampilanku sudah lebih baik, juga perasaanku sudah lebih tenang, aku baru keluar dari kamar mandi dan duduk di samping Bang Doni di pinggir ranjang."Kamu kenapa lagi sama mama, Ris?" tanya Bang Doni membuka percakapan di antara kami."Memangnya mama cerita apalagi sama Abang?" tanyaku."Kamu ini, ditanya malah nanya balik. Jawab aja pertanyaanku kenapa, sih?" "Ya, gimana, ya, Bang. Jawabanku pasti tidak akan membuat Abang percaya karena Mama pasti telah lebih dulu cerita yang tidak-tidak padamu," jelasku."Kamu kenapa, sih, Ris? Kamu, kok, jadi sering menjelekkan mama sekarang? Kalau ada yang tidak kamu sukai atau mengganjal di hatimu, kamu bisa cerita padaku. Aku ini suamimu." "Iya," jawabku pendek."Ini bukan Risa yang aku kenal. Risa istriku tidak membangkang seperti ini," ucapnya kesal."Sudahlah, Bang. Aku lelah, ngantuk. Aku mau istirahat. Besok Subuh aku sudah harus bangun sebelum nyonya ratu menggedor kamar dan melempar wajan penggorengan ke sini," sindirku ketus. “Lagi pula, cerita dengan Abang juga takada gunanya. Itu takbisa membuat Abang percaya padaku.”"Risa!" bentak Bang Doni."Oh, ya, kata mama kamu boros sekali berbelanja," ucapnya lagi yang sama sekali takaku hiraukan. Aku taktahu, entah drama apa lagi yang sedang dimainkan mertuaku kali ini.Pagi ini Rani menghampiriku saat aku sedang memasukkan pakaian ke dalam pengering mesin cuci. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus sebahu itu tampak telah rapi dan cantik mengenakan kemeja putih dengan blazer berwarna hitam dan rok berwarna senada sebatas lutut. Wajahnya dipoles dengan make up tipis dan lipstik berwarna nude, menambah anggun penampilannya."Kak Risa, lagi nyuci, ya?" tanyanya berbasa-basi."Iya, Ran. Tumben datangin kakak pagi gini. Bukannya kamu udah mau berangkat kerja?" tanyaku balik padanya."Iya, Kak. Rani cuma mau bilang, kamar Rani gak usah Kakak bersihin, biar Rani yang bersihin sendiri. Baju kotor Rani juga, biar Rani aja yang nyuci sendiri. Kakak, kan, lagi hamil, pasti capek ngerjain semuanya sendiri. Maaf, ya, kalau mama menyuruh Kakak mengerjakan semuanya sendiri," ucapnya."Tapi kalau nanti mama nanya, gimana?" "Bilang aja kamar Rani terkunci, jadi Kakak gak bisa masuk. Pakaianku juga kusimpan di kamar aja, biar mama gak bisa nyuruh Kakak m
Hari ini badanku terasa taknyaman. Tadi malam Nia sakit, badannya panas, tidurnya mengingau, dan dia sama sekali takingin kulepas hingga aku takbisa tidur meski sebentar saja. Untungnya, setelah kuberi obat penurun panas, suhu tubuhnya berangsur normal kembali.Seperti biasa, karena tadi aku terlambat bangun dan keluar dari kamar, mertuaku memberi pekerjaan rumah yang banyak sekali, disertai omelan yang panjang.Bukan hanya membersihkan seisi rumah, Mama Laely juga menyuruhku mengganti semua gorden di rumah ini, dan mencucinya juga. Alasannya karena sejak kami tinggal di sini, kurang lebih sudah sekitar lima bulan, aku belum pernah mencuci gorden di rumah ini sekali pun.Sebenarnya takjadi masalah untukku mencucinya, hanya saja di kehamilan yang sudah memasuki bulan ke sembilan ini, menyulitkanku untuk melakukan itu.Beruntung berat tubuhku tidak terlalu berisi, bahkan bisa dibilang kurus untuk ukuran ibu hamil, sehingga aku masih bisa memanjat kursi untuk membongkar dan memasangnya.
Aku bercengkrama bersama Papa dan Mama di sebuah taman. Taman ini, seperti taman di dekat rumah kami, tempat aku bermain semasa kecil. Namun, taman ini terlihat lebih indah. Bahkan, lebih tepatnya sangat indah. Bunga-bunga bermekaran penuh warna, mengeluarkan aroma harum mewangi. Di atasnya, kupu-kupu hilir-mudik mengepakkan sayapnya yang berwarna-warni, lalu singgah dan menghisap nektar bunga. Aneka mainan anak-anak berjejer rapi di salah satu sudut taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, juga perosotan. Orang tuaku tampak sangat bahagia berada di sini, wajah mereka terlihat cerah berseri. Saat ini kami duduk di salah satu bangku taman yang berjejer rapi di sepanjang sudut taman. Taman ini juga terlihat sangat bersih, takada sampah bekas bungkus makanan ataupun daun yang berserakan. “Risa, hiduplah bahagia dengan keluargamu, ya,” kata Mama.“Kamu pasti bisa karena kamu kuat!” ucap Papa.“Ingatlah, kami selalu ada untukmu!” sambung Mama lagi.Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara aneh. H
Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. "Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku."Hhmmm," katanya.Aku m
Tujuh hari sudah usia Nina. Namun, belum ada peningkatan pada ASIku. Sejak mendengar fitnah yang dilontarkan oleh Mama Laely, aku merasa takada gunanya bertahan di sini. Namun, meminta Bang Doni untuk pindah pun, rasanya akan sia-sia. Bang Doni pasti takmau pindah dari rumah ibunya.Harusnya hari ini jadwalku kontrol jahitan bekas operasi ke dokter, tetapi Bang Doni sibuk. Sejak dua hari yang lalu dia lembur dan pulang jam sembilan malam. Sejujurnya, aku butuh kehadiran Bang Doni, tetapi kami juga membutuhkan biaya yang besar, terlebih setelah operasi dan untuk membeli susu formula untuk Nina. Sehingga aku takbisa melarang Bang Doni untuk lembur.***Siang ini mataku terasa sangat berat. Saat menidurkan Nia dan Nina di kamar, tanpa sadar aku ikut tertidur."Ya, ampun, Risa! Kalau anak tidur itu, kamu jangan ikut tidur! Apa kamu gak lihat pekerjaan rumah masih banyak? Piring dan pakaian belum dicuci! Kamu ini gimana, sih? Jadi ibu, kok, gak becus!" hardik Mama Laely setelah dia membuka
"Risa!"Bang Doni masuk ke kamar kami tepat saat aku meletakkan bantal di atas wajah Nina. Dia dengan cepat menyingkirkan bantal tersebut dan menggendong Nina. Botol susu yang dibawanya dilemparkan begitu saja ke bagian tempat tidur yang kosong.Aku kembali duduk di pojok kamar, menekuk lutut, memeluk tubuhku sendiri, juga menundukkan kepalaku sampai masuk ke dalam pelukan tanganku dan memejamkan kedua mataku, ketika kulihat kilat kemarahan di wajah suamiku.Pikiranku kosong, tiba-tiba aku merindukan Papa dan Mama. Aku rindu pelukan hangat mereka, juga canda tawa keduanya. Di sini, aku takpernah mendapatkan itu. "Risa!" panggil Bang Doni, yang telah berdiri di depanku. Kubuka mata, lalu kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Takada Nina di kamar kami, hanya ada Nia yang tertidur dengan pulas. Mungkin Nina sudah dibawa Bang Doni menjauh dariku ke ruangan lain."Kamu itu kenapa, sih? Tadi ribut sama mama. Sekarang malah berbuat yang tidak-tidak ke Nina. Kamu tahu tidak, kalau apa yan
Kemarin, setelah menonton berita tentang pembunuhan dengan menggunakan obat tetes mata, aku langsung mencari obat tersebut di kamar. Aku menemukan dua botol dengan merek yang berbeda. Ini adalah obat yang dipakai Bang Doni beberapa waktu lalu. Suamiku itu memang suka membeli obat tetes mata di apotek setiap kali merasa matanya bermasalah, entah kering atau iritasi. Setiap kali matanya sakit, dia akan terus membeli obat yang baru.Menurut berita yang kudengar kemarin, ada kandungan tetra-tetra yang setelah kubaca di botol obat itu bertuliskan tetrahydrozoline, yang apabila diminum dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar racun dalam darah karena kandungannya melewati saluran pencernaan dengan cepat.Pagi ini aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan sekarang aku juga sudah memasak sendiri. Setelah selesai membuat sarapan, aku membuat kopi untuk Bang Doni dan teh untuk Mama Laely. Taklupa kukeluarkan obat tetes mata dari dalam saku bajuku. Namun, keraguan menyelimutimu. Sepert
Setelah bergelut dengan pikiranku sendiri, aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti Bang Doni ke kamar Mama Laely. Aku sampai ke sana tepat saat Bang Doni masuk ke kamar mamanya yang ternyata takterkunci. Kulihat Bang Doni sepertinya taktahu keberadaanku. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu di depan pintu kamar mertuaku itu saja.Terlihat dari depan pintu kamar yang terbuka, mertuaku itu sedang berbaring lemas. Selimut tebal menyelimuti lebih dari separuh bagian tubuhnya, hingga hanya menyisakan bagian kepala dan dada yang tidak tertutup selimut. Wanita yang berusia 60 tahun itu tampak tersenyum samar saat melihat anaknya menghampirinya.Saat melihatnya seperti ini, rasa iba dan penyesalan muncul di hatiku. Namun, jika ingat perlakuannya terhadapku juga anak-anakku, membuat rasa sakit itu hadir kembali."Ma," sapa Bang Doni. Aku hanya mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak tersebut."Hhmmm," jawab Mama Laely."Mama kenapa? Mama sakit?" tanya suamiku itu cemas. Dia lantas duduk di