Setelah bergelut dengan pikiranku sendiri, aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti Bang Doni ke kamar Mama Laely. Aku sampai ke sana tepat saat Bang Doni masuk ke kamar mamanya yang ternyata takterkunci. Kulihat Bang Doni sepertinya taktahu keberadaanku. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu di depan pintu kamar mertuaku itu saja.Terlihat dari depan pintu kamar yang terbuka, mertuaku itu sedang berbaring lemas. Selimut tebal menyelimuti lebih dari separuh bagian tubuhnya, hingga hanya menyisakan bagian kepala dan dada yang tidak tertutup selimut. Wanita yang berusia 60 tahun itu tampak tersenyum samar saat melihat anaknya menghampirinya.Saat melihatnya seperti ini, rasa iba dan penyesalan muncul di hatiku. Namun, jika ingat perlakuannya terhadapku juga anak-anakku, membuat rasa sakit itu hadir kembali."Ma," sapa Bang Doni. Aku hanya mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak tersebut."Hhmmm," jawab Mama Laely."Mama kenapa? Mama sakit?" tanya suamiku itu cemas. Dia lantas duduk di
Adakah yang lebih menyakitkan dari rasa sakit saat melahirkan? Yaitu saat semua pengorbanan dan pengabdianku tidak dihargai. Maka, luluh lantaklah hati ini. Terlebih, saat suami yang seharusnya bisa menjadi pelindung, takbisa menjadi tempat untukku bersandar.“Risa!" Lagi-lagi teriakan itu terdengar. Apa mertuaku itu takbisa menggunakan bahasa yang halus dan sopan saat memanggilku? Kenapa dia harus selalu berteriak? Padahal aku tidak tuli, telingaku masih bisa mendengar dengan baik tanpa harus diteriaki."Bunda—," panggil Rizki padaku, sesaat setelah dia menyembulkan kepalanya di balik pintu kamarku. "Iya, Sayang," jawabku."Nenek teriak-teriak manggil Bunda," ucap bocah yang sebentar lagi akan masuk ke sekolah dasar itu."Iya, Nak. Bentar lagi bunda ke kamar nenek. Bunda nidurin Dede Nina dulu. Ini susunya tinggal sedikit lagi," jawabku padanya."Tapi nanti nenek marah-marah," ucapnya sendu. Dia pasti masih ingat dengan kemarahan neneknya dan takut dimarahi lagi."Ya, udah. Sini,
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh malam. Namun, belum ada tanda-tanda kepulangan Bang Doni. Sedangkan Rani, sudah pulang pukul tujuh malam tadi. Setelah makan malam dan memberi mamanya makan, gadis yang ramah dan mudah bergaul itu langsung masuk ke kamarnya.Sempat kutanya kenapa pulang lebih cepat karena biasanya dia pulang jam sembilan malam. Rani berkata, bahwa dia sengaja pulang cepat karena mengingat mamanya yang sedang sakit. Dia taktega padaku yang harus mengurus semuanya sendiri di rumah, ditambah dengan mengurus mamanya. Setelah itu, Rani masuk ke kamarnya. Mungkin dia sudah tidur sekarang. Rizki sudah tidur di kamarnya, begitu pun Nia, gadis kecil itu sudah terlelap di sampingku. Sedangkan Nina, saat ini sedang kuberi sufor dengan botol susu. Sampai sekarang ASIku takada peningkatan. Bukannya bertambah deras, malah semakin seret.Terdengar suara seseorang memberi salam dari depan rumah, tepat saat aku selesai memberi Nina susu dan meletakkan bayi mungi
Pagi ini aku bangun dengan semangat untuk menyambut kedatangan Kak Rafka. Segera setelah bangun dan membersihkan diri, aku bergegas ke dapur untuk memasak sarapan sekaligus memasak makanan kesukaan Kak Rafka, gulai kuning ikan nila.Kemarin, setelah ditelepon Kak Rafka, aku langsung menelepon Bang Doni. Aku meminta izin padanya agar membolehkan Kak Rafka menginap selama semalam di sini. Aku juga meminta tolong pada Bang Doni untuk berbelanja ke pasar sore, membeli bahan untuk membuat gulai kuning ikan nila.Bang Doni terdengar kebingungan di seberang sana mendengar celotehku, tetapi takaku hiraukan. Bagaimana tidak, kami yang sudah beberapa hari perang dingin, bahkan aku yang hampir takada berkomunikasi dengannya, tiba-tiba menelepon dan memintanya untuk berbelanja.Setelah beberapa bulan tinggal di rumah mertua, baru hari ini kurasakan kebahagiaan. Akhirnya, ada seseorang yang bisa menjadi pelindungku dan akan datang ke sini.Anak-anak hari ini lebih tenang, termasuk Nina, yang hanya
Pagi ini Kak Rafka akan pulang ke Pekanbaru. Ada perasaan sedih dalam hatiku untuk melepas kepergian saudaraku satu-satunya itu. Namun, takada yang bisa kulakukan karena kami telah memiliki hidup masing-masing. Kak Rafka takmungkin berlama-lama meninggalkan usaha toko rotinya. Begitu pun aku yang takmungkin meninggalkan keluargaku.Teringat perbincangan kami tadi malam. Takbisa kubayangkan reaksi Kak Rafka jika tahu apa yang kualami selama tinggal di sini. Untungnya, tadi malam aku selamat dari pertanyaan Kak Rafka karena kedatangan Bang Doni.Kemarin, begitu melihat kedatangan Bang Doni, aku dengan cepat mengalihkan perhatian Kak Rafka dengan memanggil nama Bang Doni dan segera ke dapur mengambil gelas untuk mereka berdua, tempat teh telur yang dibeli Bang Doni. Setelahnya, aku langsung pamit ke kamar.Seperti biasa, rutinitas pagiku diawali dengan membuat sarapan dan minuman untuk Bang Doni dan Mama Laely, kali ini ditambah dengan minuman untuk Kak Rafka.Saat ke dapur, aku mendenga
Kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, saat Kak Rafka bergumam dan terlihat kebingungan. Sesaat kemudian, kulihat lelaki berkulit kuning langsat dengan rambut ikal pendek itu tersenyum dan mengambil handphone-nya yang diletakkannya di atas dashboard mobil. Kulihat Kak Rafka sedang melakukan panggilan suara kepada seseorang."Assalamualaikum, Put," ucap Kak Rafka."Alhamdulillah, aku sehat. Kamu gimana?" tanya Kak Rafka pada seseorang di seberang sana."Hhmmm, gini, Putri. Kamu 'kan, bidan, nih. Aku butuh bantuanmu. Jadi, ini si Risa, kamu masih ingat Risa—adikku, kan?” tanya Kak Rafka lagi. Aku takbisa mendengar suara lawan bicara kakakku itu karena dia tidak mengaktifkan load speaker handphone-nya.“Risa baru melahirkan anak ketiga di rumah mertuanya. Tadi dia cerita padaku tentang perlakuan mertuanya yang buruk, dia yang takbisa mengASIhi anaknya, sering nangis tiba-tiba. Aku merasa ada yang salah dengan Risa. Tadinya, aku ingin membawanya ke rumah sakit, tapi aku bingung akan
"Kalian memang manusia biadab! Aku akan menyelamatkan adik dan keponakanku. Aku akan membawa Risa dan anak-anaknya pergi dari sini!" seru Kak Rafka lagi, lalu berlalu masuk ke kamarku dan menggendong Nia yang tertidur, serta menggandeng tangan Rizki hendak keluar dari rumah.***"Tunggu!" kata Bang Doni menghentikan langkah Kak Rafka. Bang Doni melangkah mendekati Kak Rafka. Aku ikut mendekat ke arah mereka, khawatir jika mereka melakukan kekerasan lagi seperti tadi."Apa maksudmu mengatakan kami manusia biadab? Kami memperlakukan Risa dengan baik di sini! Apa dasarnya kamu berkata begitu?" tanya Bang Doni pada Kak Rafka. Tangannya menunjuk ke arahku."Baik kamu bilang? Dengan menjadikannya seperti babu saat dia hamil? Bahkan menyuruhnya melakukan semua pekerjaan rumah saat kondisinya belum stabil setelah operasi? Itu yang kamu sebut baik?" geram Kak Rafka pada Bang Doni."Apa maksud–," Belum selesai pertanyaan Bang Doni, Mama Laely langsung memotong. Aku yakin Mama Laely takut perbu
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, sudah seminggu aku di sini. Mencoba menata hati, menyembuhkan luka, dan memulai kembali kebahagiaan bersama anak-anak, meski terasa kurang karena takada Bang Doni bersama kami.Suamiku itu, entah bagaimana kabarnya. Sejak kejadian di rumah Mama Laely, sampai sekarang belum ada kabar darinya. Bahkan sekadar menelepon pun tidak.Teringat saat-saat kebersamaan kami sebelum tinggal di rumah Mama Laely. Bang Doni begitu perhatian. Meski tinggal di rumah kontrakan sederhana, tetapi kami bahagia. Takada tekanan, takada hasutan, apalagi saling diam. Namun, sejak tinggal di rumah mertuaku, perlahan semua itu mulai sirna. Aku pun tak tahu entah sejak kapan, hingga Bang Doni mulai menjadi suami yang cuek dan bahkan taklagi peduli padaku."Dek," sapa Kak Rafka membuyarkan lamunanku."Iy—iya, Kak," jawabku."Kamu kenapa? Kok termenung? Apa kamu gak betah di sini?" tanya kakakku itu."Gak, Kak. Mana mungkin Risa gak betah di sini. Rumah ini adalah rumah ter