Share

3. Permintaan

Sejak kejadian kemarin, aku lebih banyak diam. Kemarin, setelah mendengar perkataan Mama Laely, aku langsung masuk ke kamar, tanpa menjawab sepatah kata pun. Sempat terdengar olehku suara perdebatan antara Mama Laely dan Bang Doni, tetapi takada keinginan untuk bertanya apa pun padanya.

Seperti biasa, keseharianku tidak jauh-jauh dari dapur, sumur, dan kasur. Mama Laely beberapa kali tertangkap sedang memperhatikan aktifitasku. Namun, aku bersikap seolah tidak melihat kehadirannya.

Sejujurnya, aku menyayangi Mama Laely. Bagaimana pun, dia adalah ibu dari suamiku. Namun, sejak awal hubungan kami memang tidak baik. Mama Laely pernah bercerita bahwa dulu Bang Doni sempat dijodohkan dengan salah seorang anak sahabatnya. Anak seorang juragan sawit di Kota Pekanbaru. Apalah aku yang hanya seorang anak yang terlahir dari penjual roti dan kue. Meski sekarang, di tangan kak Rafka, usaha itu telah sukses.

Mama Laely juga pernah berkata padaku, bahwa selamanya anak laki-laki itu adalah milik ibunya. Wajib baginya untuk berbakti dan mengutamakan kebutuhan ibunya. Saat itu, aku tidak begitu paham apa maksud perkataan Mama Laely, tetapi seiring berjalannya waktu aku mulai mengerti semuanya.

Memang, bang Doni juga pernah bercerita padaku tentang kesulitan yang dulu mereka alami. Terlebih setelah papanya meninggal. Setelah Bang Doni bekerja, barulah ekonomi mereka mulai membaik. Bang Doni juga membiayai sekolah adiknya hingga selesai kuliah dan sekarang bekerja di sebuah bank swasta. Sedangkan rumah yang Mama Laely tempati, itu adalah warisan dari orang tuanya. Sayangnya, saat wabah penyakit melanda negeri ini tiga tahun lalu, Bang Doni terkena dampak pemecatan, dan baru diterima bekerja lagi di tempat yang baru sebagai karyawan biasa.

Aku setuju untuk berbakti karena sebagai anak kita memang harus berbakti pada kedua orang tua, tetapi tidak pada kalimat anak laki-laki milik ibunya.

Sayup-sayup terdengar suara percakapan antara Mama Laely dengan seseorang. Didorong rasa penasaran, aku pun mengintip dari jendela ruang tengah kami.

"Iya, lho, Jeng. Masa Risa itu hamil lagi, padahal anaknya si Nia baru dua setengah tahun. Pasti nanti saya yang bakal repot mengurus mereka. Terus gara-gara hamil lagi, Risa gak jualan lagi. Jadinya, kan, gak bisa bantu suami cari uang. Makanya, rencananya mereka mau saya suruh pindah ke rumah saya. Biar lebih mudah untuk saya mengawasi Risa dan anak-anaknya itu," ucap Mama Laely panjang kepada Bu Siska--tetanggaku yang terkenal rempong dan ratu gosip.

"Apa? Mama Laely mau menyuruh kami pindah? Gak, aku gak mau. Apa Mama udah ngomong sama bang Doni, ya?" tanyaku pada diri sendiri.

Takmau mendengar percakapan mereka lebih lama lagi, aku pun beranjak dari jendela dan menuju ke kamar. Aku akan bersikap seolah tidak tahu tentang hal ini, jika Mama Laely dan Bang Doni tidak berbicara langsung padaku.

***

Takterasa sudah seminggu mertuaku menginap di rumah kami. Jujur saja aku bingung, taktahu apa yang membuatnya betah di sini? Karena selama di sini, Mama Laely lebih banyak menghabiskan waktu bersama para tetangga, dibandingkan dengan cucu-cucunya.

Saat ini kami sedang bersantai di ruang tengah setelah makan malam. Aku dan Bang Doni menemani anak-anak bermain. Sedangkan Mama Laely sibuk sendiri dengan handphone-nya.

Saat sedang asik bersama anak-anak, tiba-tiba Mama Laely berdehem. Sepertinya ingin berbicara serius dengan kami. Aku memerintahkan Rizki untuk mengajak Nia ke kamarnya.

"Doni, Risa, mama mau bicara," ucapnya.

"Ya, Ma. Ada apa?" tanya Bang Doni.

"Mama ingin kalian pindah ke rumah mama," pinta Mama Laely.

“Tapi Ma--"

Belum selesai ucapan Bang Doni, Mama langsung memotong. "Bukan hanya untuk menemani Mama, tapi juga agar ada yang menjaga Risa dan anak-anaknya. Mertuamu, kan, sudah tidak ada. Jadi, enggak ada alasan lagi kalian untuk menolak!" Mama Laely sepertinya tahu bahwa kami akan menolak permintaanya.

"Ya, sebenarnya kalau aku gak masalah. Malah aku senang karena ada yang menjaga Risa nanti saat aku kerja. Hanya saja, aku tetap harus membicarakan ini dulu sama Risa, ya, Ma," ucap Bang Doni bijak untuk menenangkan mamanya.

Aku sedari tadi hanya menunduk dan diam saja. Ternyata mertuaku itu serius dengan ucapannya. Aku akan menolak permintaan Mama Laely saat berbicara dengan Bang Doni di kamar nanti.

"Baiklah, mama tunggu jawaban kalian secepatnya. Besok mama akan pulang. Kamu sudah gajian, kan, Don? Mama minta uang belanja yang separoh lagi, karena kamu baru memberi setengah dari biasanya pada mama bulan ini. Ingat, ya, Don, surgamu itu ada di bawah telapak kaki mama, bukan di bawah telapak kaki istrimu!" seru Mama Laely dengan ketus, sembari melirik sinis padaku, mengakhiri percakapan kami dan beranjak ke kamar anak-anak untuk beristirahat. Selama di sini Mama Laely memang tidur sekamar dengan anak-anak di kamar Rizki, begitu pun dengan Nia yang ingin tidur bersama neneknya.

Aku dan Bang Doni hanya bisa mendesah mendengar perkataan Mama Laely barusan. Dari dulu, dia memang tidak mau tahu dengan keadaan ekonomi kami. Yang dia tahu uang belanjanya takboleh berkurang, bahkan kalau bisa lebih.

"Ayo, Bun, kita ke kamar juga. Kita bicara di kamar saja," ajak Bang Doni padaku.

"Iya, Bang," jawabku.

Sesampainya di kamar, aku langsung mengunci pintu dan duduk di pinggir dipan. Begitu pun dengan Bang Doni.

"Bang, Risa gak mau tinggal di rumah mama. Abang tahu, kan, gimana perlakuan mama ke Risa setiap kali kita ke sana. Datang sesekali aja Risa dijadiin babu, gimana kalau sampai tinggal? Risa gak mau, Bang," rengekku pada Bang Doni, membuka percakapan kami tentang permintaan mama.

Bang Doni memegang dagunya, tampak sedang berpikir, lalu berkata, "Kalau menurut abang, lebih baik kita pindah, Ris. Abang yakin, mama gak akan memperlakukan kamu seperti itu lagi. 'Kan, mama tahu kamu sedang hamil dan nanti melahirkan. Gak mungkin mama setega itu." Bang Doni lalu melanjutkan, "Nanti Abang bicara sama mama, deh. Agar mama gak menyuruhmu kerja yang berat-berat."

"Aduh, Bang, sedangkan di sini aja, mama tuh gak pernah lho bantu aku, kecuali masak gulai yang hari pertama di sini. Padahal mama tahu gimana sibuknya aku di rumah dengan dua anakmu yang super aktif itu di tengah kehamilan ini. Yang ada, mama cuma ngomel, bilang aku gak becus, lelet, ngomelin aku kalau kebablasan tidur saat nidurin Nia di siang hari. Aku gak yakin mama bakal baik sama aku di sana, Bang. Abang gak tahu aja gimana jahatnya mulut mama ke aku kalau Abang gak ada!" cecarku kesal.

"Kamu tuh apa-apaan sih, mau dibantu mertua malah jelek-jelekin mertua kayak gitu? Ingat, ya, biar bagaimana pun, mama itu mamaku!" seru Bang Doni mulai tersulut emosi.

"Iya, aku tahu. Aku juga gak ada maksud ngejelekin mama, tapi faktanya, mama memang begitu. Sikapnya beda padaku saat di depan dan di belakang Abang."

"Ah, udahlah! Pokoknya kita pindah ke rumah mama, titik!" serunya lagi. "Aku mau tidur, jangan ngomong lagi, aku ngantuk."

Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar keputusan Bang Doni. Meski susah, aku berusaha untuk ikut memejamkan mata. Berharap besok keputusan Bang Doni bisa berubah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status