Sejak kejadian kemarin, aku lebih banyak diam. Kemarin, setelah mendengar perkataan Mama Laely, aku langsung masuk ke kamar, tanpa menjawab sepatah kata pun. Sempat terdengar olehku suara perdebatan antara Mama Laely dan Bang Doni, tetapi takada keinginan untuk bertanya apa pun padanya.
Seperti biasa, keseharianku tidak jauh-jauh dari dapur, sumur, dan kasur. Mama Laely beberapa kali tertangkap sedang memperhatikan aktifitasku. Namun, aku bersikap seolah tidak melihat kehadirannya.Sejujurnya, aku menyayangi Mama Laely. Bagaimana pun, dia adalah ibu dari suamiku. Namun, sejak awal hubungan kami memang tidak baik. Mama Laely pernah bercerita bahwa dulu Bang Doni sempat dijodohkan dengan salah seorang anak sahabatnya. Anak seorang juragan sawit di Kota Pekanbaru. Apalah aku yang hanya seorang anak yang terlahir dari penjual roti dan kue. Meski sekarang, di tangan kak Rafka, usaha itu telah sukses.Mama Laely juga pernah berkata padaku, bahwa selamanya anak laki-laki itu adalah milik ibunya. Wajib baginya untuk berbakti dan mengutamakan kebutuhan ibunya. Saat itu, aku tidak begitu paham apa maksud perkataan Mama Laely, tetapi seiring berjalannya waktu aku mulai mengerti semuanya.Memang, bang Doni juga pernah bercerita padaku tentang kesulitan yang dulu mereka alami. Terlebih setelah papanya meninggal. Setelah Bang Doni bekerja, barulah ekonomi mereka mulai membaik. Bang Doni juga membiayai sekolah adiknya hingga selesai kuliah dan sekarang bekerja di sebuah bank swasta. Sedangkan rumah yang Mama Laely tempati, itu adalah warisan dari orang tuanya. Sayangnya, saat wabah penyakit melanda negeri ini tiga tahun lalu, Bang Doni terkena dampak pemecatan, dan baru diterima bekerja lagi di tempat yang baru sebagai karyawan biasa.Aku setuju untuk berbakti karena sebagai anak kita memang harus berbakti pada kedua orang tua, tetapi tidak pada kalimat anak laki-laki milik ibunya.Sayup-sayup terdengar suara percakapan antara Mama Laely dengan seseorang. Didorong rasa penasaran, aku pun mengintip dari jendela ruang tengah kami."Iya, lho, Jeng. Masa Risa itu hamil lagi, padahal anaknya si Nia baru dua setengah tahun. Pasti nanti saya yang bakal repot mengurus mereka. Terus gara-gara hamil lagi, Risa gak jualan lagi. Jadinya, kan, gak bisa bantu suami cari uang. Makanya, rencananya mereka mau saya suruh pindah ke rumah saya. Biar lebih mudah untuk saya mengawasi Risa dan anak-anaknya itu," ucap Mama Laely panjang kepada Bu Siska--tetanggaku yang terkenal rempong dan ratu gosip."Apa? Mama Laely mau menyuruh kami pindah? Gak, aku gak mau. Apa Mama udah ngomong sama bang Doni, ya?" tanyaku pada diri sendiri.Takmau mendengar percakapan mereka lebih lama lagi, aku pun beranjak dari jendela dan menuju ke kamar. Aku akan bersikap seolah tidak tahu tentang hal ini, jika Mama Laely dan Bang Doni tidak berbicara langsung padaku.***Takterasa sudah seminggu mertuaku menginap di rumah kami. Jujur saja aku bingung, taktahu apa yang membuatnya betah di sini? Karena selama di sini, Mama Laely lebih banyak menghabiskan waktu bersama para tetangga, dibandingkan dengan cucu-cucunya.Saat ini kami sedang bersantai di ruang tengah setelah makan malam. Aku dan Bang Doni menemani anak-anak bermain. Sedangkan Mama Laely sibuk sendiri dengan handphone-nya.Saat sedang asik bersama anak-anak, tiba-tiba Mama Laely berdehem. Sepertinya ingin berbicara serius dengan kami. Aku memerintahkan Rizki untuk mengajak Nia ke kamarnya."Doni, Risa, mama mau bicara," ucapnya."Ya, Ma. Ada apa?" tanya Bang Doni."Mama ingin kalian pindah ke rumah mama," pinta Mama Laely.“Tapi Ma--"Belum selesai ucapan Bang Doni, Mama langsung memotong. "Bukan hanya untuk menemani Mama, tapi juga agar ada yang menjaga Risa dan anak-anaknya. Mertuamu, kan, sudah tidak ada. Jadi, enggak ada alasan lagi kalian untuk menolak!" Mama Laely sepertinya tahu bahwa kami akan menolak permintaanya."Ya, sebenarnya kalau aku gak masalah. Malah aku senang karena ada yang menjaga Risa nanti saat aku kerja. Hanya saja, aku tetap harus membicarakan ini dulu sama Risa, ya, Ma," ucap Bang Doni bijak untuk menenangkan mamanya.Aku sedari tadi hanya menunduk dan diam saja. Ternyata mertuaku itu serius dengan ucapannya. Aku akan menolak permintaan Mama Laely saat berbicara dengan Bang Doni di kamar nanti."Baiklah, mama tunggu jawaban kalian secepatnya. Besok mama akan pulang. Kamu sudah gajian, kan, Don? Mama minta uang belanja yang separoh lagi, karena kamu baru memberi setengah dari biasanya pada mama bulan ini. Ingat, ya, Don, surgamu itu ada di bawah telapak kaki mama, bukan di bawah telapak kaki istrimu!" seru Mama Laely dengan ketus, sembari melirik sinis padaku, mengakhiri percakapan kami dan beranjak ke kamar anak-anak untuk beristirahat. Selama di sini Mama Laely memang tidur sekamar dengan anak-anak di kamar Rizki, begitu pun dengan Nia yang ingin tidur bersama neneknya.Aku dan Bang Doni hanya bisa mendesah mendengar perkataan Mama Laely barusan. Dari dulu, dia memang tidak mau tahu dengan keadaan ekonomi kami. Yang dia tahu uang belanjanya takboleh berkurang, bahkan kalau bisa lebih."Ayo, Bun, kita ke kamar juga. Kita bicara di kamar saja," ajak Bang Doni padaku."Iya, Bang," jawabku.Sesampainya di kamar, aku langsung mengunci pintu dan duduk di pinggir dipan. Begitu pun dengan Bang Doni."Bang, Risa gak mau tinggal di rumah mama. Abang tahu, kan, gimana perlakuan mama ke Risa setiap kali kita ke sana. Datang sesekali aja Risa dijadiin babu, gimana kalau sampai tinggal? Risa gak mau, Bang," rengekku pada Bang Doni, membuka percakapan kami tentang permintaan mama.Bang Doni memegang dagunya, tampak sedang berpikir, lalu berkata, "Kalau menurut abang, lebih baik kita pindah, Ris. Abang yakin, mama gak akan memperlakukan kamu seperti itu lagi. 'Kan, mama tahu kamu sedang hamil dan nanti melahirkan. Gak mungkin mama setega itu." Bang Doni lalu melanjutkan, "Nanti Abang bicara sama mama, deh. Agar mama gak menyuruhmu kerja yang berat-berat.""Aduh, Bang, sedangkan di sini aja, mama tuh gak pernah lho bantu aku, kecuali masak gulai yang hari pertama di sini. Padahal mama tahu gimana sibuknya aku di rumah dengan dua anakmu yang super aktif itu di tengah kehamilan ini. Yang ada, mama cuma ngomel, bilang aku gak becus, lelet, ngomelin aku kalau kebablasan tidur saat nidurin Nia di siang hari. Aku gak yakin mama bakal baik sama aku di sana, Bang. Abang gak tahu aja gimana jahatnya mulut mama ke aku kalau Abang gak ada!" cecarku kesal."Kamu tuh apa-apaan sih, mau dibantu mertua malah jelek-jelekin mertua kayak gitu? Ingat, ya, biar bagaimana pun, mama itu mamaku!" seru Bang Doni mulai tersulut emosi."Iya, aku tahu. Aku juga gak ada maksud ngejelekin mama, tapi faktanya, mama memang begitu. Sikapnya beda padaku saat di depan dan di belakang Abang.""Ah, udahlah! Pokoknya kita pindah ke rumah mama, titik!" serunya lagi. "Aku mau tidur, jangan ngomong lagi, aku ngantuk."Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar keputusan Bang Doni. Meski susah, aku berusaha untuk ikut memejamkan mata. Berharap besok keputusan Bang Doni bisa berubah.Hari ini Mama Laely akan pulang ke rumahnya. Hari ini juga Bang Doni akan memberitahukan ke Mama Laely keputusannya. Sampai saat ini, aku masih berharap Bang Doni akan menolak keinginan Mama Laely untuk kepindahan kami ke sana.Saat ini kami sedang berkumpul di ruang tengah untuk sarapan. Tadi aku sudah membuat mie lidi goreng dengan toping kerupuk merah untuk sarapan kami. Taklupa kusuguhkan juga secangkir teh melati kesukaan Mama Laely dan kopi hitam untuk Bang Doni. Hidangan untuk sarapan pun telah tersaji di hadapan kami.Rencananya setelah sarapan, Bang Doni akan mengantar Mama Laely ke loket agen travel, sekalian berangkat kerja. Sedangkan Rizki, aku yang akan mengantarnya ke sekolah taman kanak-kanak, dengan berjalan kaki karena jaraknya takjauh dari rumah kami.Setelah membaca doa sebelum makan, kami pun menikmati makanan yang tersaji. Takada yang bersuara saat makan karena aku dan Bang Doni memang sepakat dan mengajarkan anak-anak kami untuk tidak bersuara saat makan."Ma," p
Hari-hari yang kulewati di rumah mertua sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Rasanya apa pun yang kulakukan takada yang benar di mata Mama Laely.Setiap hari, saat jam menunjukkan pukul empat pagi, jika aku tidak segera keluar kamar, Mama Laely akan membuat kegaduhan di depan kamarku. Entah sengaja menghentak-hentakkan kakinya yang memakai sandal ke lantai, kadang membangunkan Rizki yang tidur di sebelah kamar kami dengan berteriak, bahkan takjarang terdengar suara wajan dan sutil besi yang sengaja diadu.Sedangkan aku, di kehamilan yang semakin membesar, pergerakanku semakin terbatas. Aku juga semakin cepat merasakan kelelahan. Namun, Mama Laely takmau tahu akan kondisiku. Jika aku melawan atau menjawab perkataannya, maka mertuaku itu akan mengadu yang tidak-tidak pada Bang Doni."Rizki! Nia! Cepat bereskan semua mainan kalian ini! Nenek nggak suka rumah nenek jadi berantakan seperti ini karena kalian, paham!" Terdengar suara bentakan Mama Laely pada anak-anakku di
Pagi ini Rani menghampiriku saat aku sedang memasukkan pakaian ke dalam pengering mesin cuci. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus sebahu itu tampak telah rapi dan cantik mengenakan kemeja putih dengan blazer berwarna hitam dan rok berwarna senada sebatas lutut. Wajahnya dipoles dengan make up tipis dan lipstik berwarna nude, menambah anggun penampilannya."Kak Risa, lagi nyuci, ya?" tanyanya berbasa-basi."Iya, Ran. Tumben datangin kakak pagi gini. Bukannya kamu udah mau berangkat kerja?" tanyaku balik padanya."Iya, Kak. Rani cuma mau bilang, kamar Rani gak usah Kakak bersihin, biar Rani yang bersihin sendiri. Baju kotor Rani juga, biar Rani aja yang nyuci sendiri. Kakak, kan, lagi hamil, pasti capek ngerjain semuanya sendiri. Maaf, ya, kalau mama menyuruh Kakak mengerjakan semuanya sendiri," ucapnya."Tapi kalau nanti mama nanya, gimana?" "Bilang aja kamar Rani terkunci, jadi Kakak gak bisa masuk. Pakaianku juga kusimpan di kamar aja, biar mama gak bisa nyuruh Kakak m
Hari ini badanku terasa taknyaman. Tadi malam Nia sakit, badannya panas, tidurnya mengingau, dan dia sama sekali takingin kulepas hingga aku takbisa tidur meski sebentar saja. Untungnya, setelah kuberi obat penurun panas, suhu tubuhnya berangsur normal kembali.Seperti biasa, karena tadi aku terlambat bangun dan keluar dari kamar, mertuaku memberi pekerjaan rumah yang banyak sekali, disertai omelan yang panjang.Bukan hanya membersihkan seisi rumah, Mama Laely juga menyuruhku mengganti semua gorden di rumah ini, dan mencucinya juga. Alasannya karena sejak kami tinggal di sini, kurang lebih sudah sekitar lima bulan, aku belum pernah mencuci gorden di rumah ini sekali pun.Sebenarnya takjadi masalah untukku mencucinya, hanya saja di kehamilan yang sudah memasuki bulan ke sembilan ini, menyulitkanku untuk melakukan itu.Beruntung berat tubuhku tidak terlalu berisi, bahkan bisa dibilang kurus untuk ukuran ibu hamil, sehingga aku masih bisa memanjat kursi untuk membongkar dan memasangnya.
Aku bercengkrama bersama Papa dan Mama di sebuah taman. Taman ini, seperti taman di dekat rumah kami, tempat aku bermain semasa kecil. Namun, taman ini terlihat lebih indah. Bahkan, lebih tepatnya sangat indah. Bunga-bunga bermekaran penuh warna, mengeluarkan aroma harum mewangi. Di atasnya, kupu-kupu hilir-mudik mengepakkan sayapnya yang berwarna-warni, lalu singgah dan menghisap nektar bunga. Aneka mainan anak-anak berjejer rapi di salah satu sudut taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, juga perosotan. Orang tuaku tampak sangat bahagia berada di sini, wajah mereka terlihat cerah berseri. Saat ini kami duduk di salah satu bangku taman yang berjejer rapi di sepanjang sudut taman. Taman ini juga terlihat sangat bersih, takada sampah bekas bungkus makanan ataupun daun yang berserakan. “Risa, hiduplah bahagia dengan keluargamu, ya,” kata Mama.“Kamu pasti bisa karena kamu kuat!” ucap Papa.“Ingatlah, kami selalu ada untukmu!” sambung Mama lagi.Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara aneh. H
Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. "Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku."Hhmmm," katanya.Aku m
Tujuh hari sudah usia Nina. Namun, belum ada peningkatan pada ASIku. Sejak mendengar fitnah yang dilontarkan oleh Mama Laely, aku merasa takada gunanya bertahan di sini. Namun, meminta Bang Doni untuk pindah pun, rasanya akan sia-sia. Bang Doni pasti takmau pindah dari rumah ibunya.Harusnya hari ini jadwalku kontrol jahitan bekas operasi ke dokter, tetapi Bang Doni sibuk. Sejak dua hari yang lalu dia lembur dan pulang jam sembilan malam. Sejujurnya, aku butuh kehadiran Bang Doni, tetapi kami juga membutuhkan biaya yang besar, terlebih setelah operasi dan untuk membeli susu formula untuk Nina. Sehingga aku takbisa melarang Bang Doni untuk lembur.***Siang ini mataku terasa sangat berat. Saat menidurkan Nia dan Nina di kamar, tanpa sadar aku ikut tertidur."Ya, ampun, Risa! Kalau anak tidur itu, kamu jangan ikut tidur! Apa kamu gak lihat pekerjaan rumah masih banyak? Piring dan pakaian belum dicuci! Kamu ini gimana, sih? Jadi ibu, kok, gak becus!" hardik Mama Laely setelah dia membuka
"Risa!"Bang Doni masuk ke kamar kami tepat saat aku meletakkan bantal di atas wajah Nina. Dia dengan cepat menyingkirkan bantal tersebut dan menggendong Nina. Botol susu yang dibawanya dilemparkan begitu saja ke bagian tempat tidur yang kosong.Aku kembali duduk di pojok kamar, menekuk lutut, memeluk tubuhku sendiri, juga menundukkan kepalaku sampai masuk ke dalam pelukan tanganku dan memejamkan kedua mataku, ketika kulihat kilat kemarahan di wajah suamiku.Pikiranku kosong, tiba-tiba aku merindukan Papa dan Mama. Aku rindu pelukan hangat mereka, juga canda tawa keduanya. Di sini, aku takpernah mendapatkan itu. "Risa!" panggil Bang Doni, yang telah berdiri di depanku. Kubuka mata, lalu kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Takada Nina di kamar kami, hanya ada Nia yang tertidur dengan pulas. Mungkin Nina sudah dibawa Bang Doni menjauh dariku ke ruangan lain."Kamu itu kenapa, sih? Tadi ribut sama mama. Sekarang malah berbuat yang tidak-tidak ke Nina. Kamu tahu tidak, kalau apa yan