Suara hujan yang juga mengguyur tubuh basahku menggema keras. "Apa udara di kota ini begitu panas, Runi?" Aku yang masih memegang engsel, mendorong pintu di belakangku agar tertutup. Hal yang sedikit kurutuki, karena suara hujan jadi teredam. Sementara langkah mas Rendra yang mendekat rasanya menggema keras. "Pakailah." Ucapnya menjulurkan handuk yang kutatapi beberapa saat sebelum tanganku naik, menerima handuk yang bukan handukku. Aroma pewangi bahkan menggelitik hidungku yang berterimakasih pada lelaki yang bersin. "Maaf, hidungku gatal." Ucap mas Rendra mengusap hidungnya yang mungkin berair. "Apa aku sudah mengatakan selamat datang padamu, Runi?" Dan kali ini aku menggeleng. Melingkarkan handuk pada tubuhku yang rambutnya meneteskan air kolam pun air hujan pada ubin. Sementara telingaku membaca nada suaranya yang nyatanya masih sama seperti sebelumnya. Mas Rendra mengangguk, "selamat datang, kuharap kamu akan betah tinggal di sini." Pun, saat senyum mas Rendra yang me
Aku yang tak punya kegiatan akhirnya membantu mbok Surti yang sedang membuat tempe goreng tepung dengan irisan daun bawang.Sesekali tersenyum pada obrolan mbok Surti dan mbak Imah, sepasang bibi dan keponakan yang bekerja di rumah sama. Membahas film seri india yang sedang tayang tiap hari pun di gandrungi mbok Darmi.Meski tak paham, aku cukup terhibur dengan ekspresi keduanya yang kadang terlihat sangat kesal pada beberapa pemain juga alur film yang berputar-putar.Tapi, dua orang di sampingku tampak menikmati film yang terdengar menyebalkan itu."Tempe goreng tepung paling enak dimakan sama cocol saos sambel." kata Mbak Imah membuat teh untuk kami setelah acara masak selesai."Paling enak yo pake cabe rawit, Im, muantep. Iyakan, Neng Runi?""Iya, Mbok." Aku yang memang lebih suka pedas mengangguk pada ucapan mbok Surti, "terimakasih, Mbak Imah." Lalu berterimakasih pada segelas teh hangat yang mbak Imah letakkan di hadapan."Sama-sama, Mbak Runi." Balas wanita yang usianya hanya
"Clara. Salam kenal, Dek Runi." Aku menjabat uluran tangan kekasih mas Rendra, wanita yang senyum ramahnya tertuju padaku. "Salam kenal juga, Mbak Clara." Rasanya aku tak perlu lagi menyebut namaku pada wanita cantik yang tangannya pun terasa lembut, karena Mas Rendra yang memperhatikan kami pasti sudah bercerita tentang diriku. Sejauh apa? Kurasa itu tidak penting, karena wanita yang akhirnya melepas jabatan tangannya kembali merangkul mas Rendra. Seolah menegaskan siapa diriku bagi mereka berdua. "Ayo, jangan buat Dek Runi lebih lama menunggu." Mas Rendra melirikku yang menunjukkan senyum lalu menyerahkan kunci mobilku. Bukan tidak menyadari, aku hanya tidak ingin berkomentar pada tatapan Clara yang rasanya menilai bagaimana aku dan mas Rendra berinteraksi. Dan aku yang sadar diri langsung membuka pintu, duduk di belakang. Menyingkirkan keripik singkong yang kubeli ke kursi paling belakang dan tersenyum pada wanita yang menoleh ke arahku begitu ia menyamankan diri duduk di s
Apa aku sedang menyiksa diri? Mungkin. Karena aku yang meletakkan sendok dan garpu ke atas piring sudah menghabiskan makan siangku. Pun, fillet goreng tepung yang hanya meninggalkan remahannya saja. Sementara sepasang kekasih yang juga melakukan hal sama, pun, selesai dengan makan siang mereka. "Apa kamu suka makan siangmu, Dek Runi?" Aku yang memegang gelas berisi teh tanpa gula melirik wanita yang kembali memperlihatkan keramahan. Meski sorot matanya berbeda. Pun, tidak bicara sebanyak sebelumnya. Mungkin karena kami sedang makan. "Ya, terimakasih sudah mengajak saya makan di sini, Mbak, Mas." "Syukurlah kalau kamu suka. Iya, kan Ren?" Mas Rendra yang tangannya digenggam Clara, mengangguk, "sudah semua?" "Ya." Jawab Clara pada tanya mas Rendra, sementara aku mengangguk. "Kalau begitu ayo." Aku yang masih memegang gelas, meneguk sisa teh lalu berdiri, kembali mengekori sepasang kekasih yang terus bergandengan tangan, menghampiri kasir yang lirikannya seolah bertanya, "siapa
"Ahirnya mbak turun, aku udah laper dari tadi." "Lo kan emmang selalu lapper, Resse." kata Riris yang masih merangkul lenganku. "Kan, kamu bisa makan dulu, gak harus nunggu Mbak, Res." Ares menggeleng dengan wajah dramatis, "hari ini gak bisa, Mbak. Soalnya kita mau makan diluar, ya kan Mas-qu." Mas Rendra hanya menoleh sementara Riris yang matanya mengikuti apa yang kami bicarakan mengangguk. "Tau gak, Mbak Runni. Masa pullang-pullang Mas Rendra langsung bilang mbok Surti gak usah masak." Aduan Riris rasanya membuat dahiku sedikit berkerut. "Mas pikir yang makan kita doang kali, Ris." Timpal Ares membuatku menatap pria yang duduk di samping neneknya, dan hanya tersenyum tak membalas. "Udah semua, kan? ayo." ajak Mas Rendra bangun dan mengulurkan tangan pada Eyang. Mungkin tak lagi ingin digoda, entahlah. "Mas gue yang nyetir, ya?" "Ya." "Jangan ngebut." Peringat Eyang menggandeng lengan cucu tertuanya, sementara Riris terus memeluk tanganku sambil bercerita apa yang dilakuk
"Eyang pulang dulu. Kalian bersenang-senanglah," ucap eyang melirik Ares, "dan jangan kelewatan." "Aku cuma mau nonton, Eyang." Jawab Ares yang merasa tersindir. "Titip bocah-bocah nakal ini, ya, Ndok." Aku mengangguk untuk ucapan eyang yang memeluk mas Rendra sebelum masuk ke dalam taxy yang pintunya mas Rendra tutup. "Jangan malam-malam pulangnya." Ucap eyang yang menurunkan kaca, memperlihatkan supir taksi yang menyapa dengan anggukan. "Siap, Eyang!" Semangat Ares menjawab. Sementara Riris yang merangkul lenganku, melambai sampai taxy yang eyang duduki melaju jauh. Meninggalkan kami yang akan nonton di gedung lain. Dimana? Entahlah. Aku yang ingin tahu maksud ucapan mas Rendra untuk jawab yang ia berikan pada Ares, bahkan tak menemukan waktu untuk bertanya. "Ayo," sampai tangan Ares yang terjulur disambut Riris yang melepas rangkulannya pada lenganku. Dua anak yang perutnya sudah kenyang dan tampak tak sabar untuk menonton itu, masuk ke dalam mobil. Meninggalkan diriku dan
Aku tidak tahu apa jawabanku cukup memuaskan mas Rendra yang terus menatap. Sampai aku berharap agar mataku yang berkedip tak menunjukkan kejujuran apapun. "Kalau Mas sendiri, adakah dongeng yang mas sukai dengan sangat?" "Dengan sangat?" Aku mengangguk, menunjuk buku dengan cerita bergambar yang sudah mas Rendra letakkan. "Anak Menjangan ini, misalnya?" Ucapanku membuat mas Rendra tertawa, geli. Sampai ia mengambil cergam yang gambar sampulnya ia pandangi. "Dengan sangat? kurasa tidak ada, Runi," pandangannya berlatih padaku sesaat. "Tapi, kisah kancil yang mengerjai pak tani begitu mengingatkanku pada Ares." Rasanya, aku bisa membayangkan bagaiman Ares kecil di mata mas Rendra yang sorot matanya pun tampak tersenyum. Seolah mengingat masa lalu yang membuatnya menarik nafas dalam sebelum meletakkan buku yang ia pegang kembali pada rak. "Jika bukan dongeng anak-anak yang kamu baca, apa yang jadi bacaanmu dulu, Runi?" Bayangan buku-buku tebal dalam ruang kerja bapak terbayang
Bapak dan ibu yang membawaku dan Santo pulang, memperlakukan kami layaknya anak sendiri. Ucapan pengurus panti benar adanya. Karena tanpa meminta, segala kebutuhan kami sudah terpenuhi. Sandang, pangan, papan. Bahkan lebih dari itu. Tapi, sambutan hangat dan penerimaan tidak berlaku untuk saudara-saudara bapak. Mereka tidak pernah menerima kami. Aku dan adikku adalah orang asing yang kehadirannya tidak diharapkan oleh mereka. Sementara bapak dan ibu yang memang tidak memiliki anak, benar-benar mencurahkan waktu dan kasihnya pada kami berdua. Hal yang membuat saudara-saudara bapak memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan kami. Dan pada akhirnya, adikku yang namanya tidak pernah lagi di sebut benar-benar pergi. Meninggalkanku yang tidak bisa pergi karena ibu- "Jadi, masuk golongan yang mana keluarga Lo?" Ucapan Sarah yang sorot matanya menantang, membuatku kembali dari apa yang melintas dalam pikiran. Mataku hanya berkedip untuk tatapan menusuk remaja putri yang rasanya tida
Bara yang sengaja disulut akhirnya padam, perlahan meninggalkan tubuh kami yang nafasnya mulai teratur meski panas masih merajai.Bermanik-manik keringat berganti dengan senyum juga pelukan hangat diikuti kecupan ringan yang meninggalkan gelitik hangat."Kamu baik-baik saja?" ucap pria yang mendekapku sambil merapikan anak rambutku yang menempel di dahi.Aku hanya mengangguk lalu menempelkan pelipis pada dada bidang mas Rendra yang degubnya masih menyisakan debar keras.Tapi, tatapan Mas Rendra begitu lembut saat mata kami bertemu.Selembut usapan tangannya saat menyentuh bekas luka diantara dadaku lalu turun pada perut.Aku bisa melihat tak hanya bibir mas Rendra saja yang tersenyum tapi juga matanya."Anak-anak ayah, kalian baik-baik saja kan?"Terkadang, wajah cinta begitu sederhana, bukan?Aku hanya cukup membuka mata dan memperhatikan.Mencintai seseorang ... bagai mana rasanya?Aku pernah mempertanyakan kalimat itu pada diri.Dan kurasa, kini aku tahu jawaban dari tanya itu.Mun
Mas Rendra yang meminta izin memejamkan matanya untuk sentuhan tanganku.Lelaki gagah yang tidak pernah memaksakan kehendaknya sendiri ini, seolah ingin mengingat bagaimana jemariku terasa di pipinya.Di dalam kamar yang baru kami tiduri lagi, dinding bisu yang katanya memiliki mata seolah bisa melihat bagaimana mas Rendra membiarkan jemariku meraba.Dan udara terasa berubah saat mas Rendra membuka matanya, meraih tanganku yang lalu ia kecupi tanpa kata.Seolah ia ingin berkenalan dengan tiap inci tubuhku yang memalingkan wajah saat Mas Rendra melepas kancing piyamanya satu-persatu, menunjukkan tubuh bagian atasnya setelah ia menjatuhkan atasan piyamanya sembarangan."Kenapa?" tanya pria yang suaranya terdengar makin berat dengan tatapan yang membuatku menelan ludahku sendiri."Runi." panggil lelaki gagah yang sentuhan jemarinya membuat pipiku terasa panas. Menjalar ke seluruh tubuh bahkan ujung jempolku yang tak lagi beralas."Entahlah...," jawabku yang benar-benar merasa tidak bias
"Saya sungguh berharap, mereka akan menjadi lebih baik setelah keluar dari rumah nyaman yang memberikan kehidupan baru pada mereka, Nona Runi. Tapi, siapa yang bisa menebak manusia bukan?"Meski aku tahu ada sarkasme dalam kalimatnya, aku tidak membalas. Kecuali, "Mama Key, terimakasih banyak."Tidak ada balas yang kudengar.Setidaknya untuk beberapa detik. Karena setelah sunyi, tawa lepas jadi satu-satunya balasan mama Key yang mungkin tidak menyangka aku akan berterimakasih padanya.Rasanya, aku bahkan bisa melihat penggemar kopi itu menghapus air yang tercipta diantara mata pandanya."Senang berbisnis dengan anda, Nona Runi." Ucap mama Key setelah tawanya berhenti juga tarikan nafas beberapa kali."Secara personal saya sungguh menyukai anda. Bukan karena anda selalu membayar lebih. Tapi entahlah... saya sungguh menyukai anda, Nona Runi... uhuk!"Seolah baru sadar dengan kalimat yang ia ucapkan lalu merasa malu sendiri, mama Key terdehem dan kembali berucap, "saya akan memberi anda
Aku tahu pun paham, jika pilihanku yang lengannya sedang mas Rendra usap berpengaruh pada banyak orang, terutama bocah besar yang pipinya sekarang begitu tirus.Bak kulit pembungkus tulang seperti yang bapak katakan.Melihatnya seperti itu setiap hari, tidak mungkin tidak berpengaruh pada jiwa orang tua kami, sepasang pasutri yang mencintai kami seperti anak-anaknya sendiri.Bapak dan ibu, manusia yang membuat adikku tumbuh tanpa merasa berbeda tidak kekurangan apapun, bahkan mendapat cinta tanpa syarat dari keduanya ... 'aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka merasa setiap melihat Santo.'Tapi, tidak bisa.Aku tidak mampu menuruti pinta mereka.Egoiskah diriku? Tentu saja. Hanya pembohong yang akan mengatakan tidak.Jadi, Nang, izinkan mbak egois ya.Mas Rendra menoleh padaku yang mendekat makin rapat. "Semua akan baik-baik saja, Runi."Tanpa menoleh aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang kembali mengusap lenganku. Menarikku dalam pelukan yang tidak meninggalkan
Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y
Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja