Wajah Rendi memucat ketika memasuki ruangan tersebut. Tampak Wira duduk pada kursi goyang di ujung meja bundar yang tersedia. Wajahnya tampak dingin dengan rahang tegas dan tatapan bak mata elang.
Di sebelah kanan Wira, duduk Satrio yang merupakan tangan kanannya. Sementara itu, di sebelah kirinya tampak Bu Ernia---Kepala HRD&GA Dhrama Grup yang sudah siap dengan setumpukkan berkas. Di samping Bu Ernia, duduk dengan wajah dingin dan mencekam Pak Handika---seorang lawyer yang selama ini membantu Dharma Grup dalam setiap pengambilan keputusan hukum.
“Selamat pagi!” Rendi menyapa semuanya. Dadanya berdentum hebat. Keringat dingin terasa membasahi telapak tangannya.
“Selamat pagi, Pak Rendi! Silakan duduk!” titah Bu Ernia mempersilakan Rendi yang kini bahk
Rinai berganti pakaian di ruang ganti. Dress maroon kali ini pilihannya. Dia mencoba mengepas pakaian itu dan benar-benar memang cocok di badannya. Rinai memutar-mutar tubuhnya di depan cermin besar yang ada di sana. Lalu merapikan rambutnya. Rinai bersiap keluar dari kamar ganti dan memberikan kejutan untuk Wira.Tirai tempatnya berganti pakaian dibukanya. Wira yang tengah menunduk memainkan gawai menoleh ke arahnya. Kedua netranya tak berkedip menatap seorang bidadari yang tengah berdiri dengan wajah bingung. Akan tetapi Wira segera menguasai dirinya. Dia mengalihkan pandangan pada setumpuk pakaian lainnya. Dengan gaun yang tampak cantik itu, wajah Rinai tampak semakin berseri meskipun tanpa make up.“Bang, bagus gak?” tanyanya polos.“Hmmm.” Hanya sebuah anggukan beserta deheman terlontar. Namu
Mami menatap foto yang tengah ramai di sosial media. Postingan netizen tentang putra semata wayangnya yang tengah menggandeng seorang gadis dengan pakaian lusuh. Posisi di mana saat Rinai hendak mengganti pakaian di sebuah toko di mall ternama itu menyebar cepat. Wajah Wira terlihat jelas, sedangkan Rinai hanya tampak samping itu pun wajahnya tertutup oleh beberapa helai rambut.Gawai mahal milik Mami ramai dibanjiri chat oleh para jejaring sosialitanya. Wanita dengan model pakaian yang anggun itu memijit pelipisnya. Hatinya sesak melihat beberapa komentar miring teman-teman sosialita. Bahkan ada yang langsung menawarkan putri mereka agar dipertemukan dengan Wira.Mami sengaja menunggu Wira yang memang belum pulang. Dirinya cukup kesal pada putra kesayangannya itu. Wira menolak dijodohkan dengan Angel yang sudah jelas bibit, bebet dan bobotnya. Angel juga cantic, seksi dan b
Wira merebahkan tubuhnya pada kasur berukuran king size di kamar luas miliknya. Setiap ucapan Mami membuatnya sakit kepala. Wanita itu begitu keras menentang gadis yang dia pilih, bahkan menolak bertemu meskipun Mami sama sekali belum mengenalnya. Sosok yang tampak dari postingan netizen di mana penampilan Rinai sangat kampungan, membuat Mami berprasangka jika gadis itu hanya akan memanfaatkan Wira karena tahu dia orang kaya.Wira pun teringat bagaimana Rinai merasa rendah diri ketika sudah mengetahui status dia yang sesungguhnya. Pada satu sisi Wira bangga, karena itu menunjukkan jika Rinai tidak silau harta. Namun di sisi lain dia khawatir, Rinai tidak akan mampu menaklukan Mami. Terlebih Mami pastinya akan membandingkan dengan Angel yang serba modis dan modern.Rinai dan Angel dua hal yang tidak bisa dibandingkan. Keduanya punya keunikan tersendiri. Angel bukan ti
“Hmmm, kamu tunggu saja. Saya seleksi sebentar. Soalnya sore ini mau ada acara makan malam spesial, jadi gak bisa lama-lama!” ucapnya. Mami teringat dengan janji pada Wira untuk bertemu dengan sosok calon perempuan yang akan dikenalkan padanya.“Baik, Mami!”Bu Hesti mengangguk. Mami menatap Rinai, Wati dan Cicih. Ditiliknya sosok itu bergantian lalu Mami mengajak mereka ke sebuah ruangan. Mami mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan untuk mengetahui kehidupan dari mereka bertiga. Selain itu juga Mami mengajukan pertanyaan tentang rencana masa depan.“Kalau aku, Nya! Aku pengen dadi wong sugih! Kaya raya, suami tampan dan masuk surga!” ucap Wati spontan.“Caranya?” Mami menatap Wati. Gadis yang suka berkelakar itu men
Wira Menggeleng tak percaya, rupanya sahabat karib dan sekaligus tangan kanannya itu tengah jatuh cinta. Dia mengambil sendok yang lainnya dan melanjutkan menghabiskan spageti yang sudah dimasak oleh Satrio.“Kira-kira gue bisa ketemu dia lagi kapan ya, Tan? Jangankan tempat tinggalnya, namanya saja Cuma denger samar doang ….” Satrio menatap kosong pada spageti miliknya. Selera makannya mendadak berkurang ketika dirinya teringat sosok Ririn. Perempuan unik yang membuatnya susah melupakan pesonanya.“Ck! Usaha, dong! Kalau lu emang jatuh cinta, carilah dia! Kayak gue sekarang, gue usaha cari calon istri gue!” Wira melengos meninggalkan Satrio yang wajahnya tampak galau. Dia menyimpan piring ke dapur dan membiarkannya di wastafel. Lalu dia melewati Satrio begitu saja dan menuju kamar milik sahabatnya. Wira merebahkan tubuhnya, telentang di atas k
Wira terbangun dengan enggan. Ketiadaan kabar dari orang-orang yang dimintanya mencari Rinai membuat moodnya berantakan. Namun minggu pagi seperti itu biasanya dia akan berolah raga di luar. Biasanya dia lari ke luar komplek perumahannya atau sekadar mengikuti lintasan yang dibuatnya mengelilingi kediamannya yang luas.Wira mengenakan kaos oblong yang membuat badannya yang atletis terlihat sempurna dan celana selutut membuatnya tampak begitu santai. Handuk kecil tersampir di bahunya. Baru saja kakinya hendak menuruni anak tangga, langkahnya terhenti, kedua netranya menyipit memperhatikan seorang gadis yang tengah mematung menatap foto keluarga ketika dirinya wisuda dulu. Hatinya berdebar anatara senang dan heran.“Rinai?” gumam Wira dalam dada. Dia bisa mengenali gadis dengan rambut kuncir ekor kuda itu. Wira menautkan kedua alisnya da
Rinai yang terburu-buru berangkat bersama Pak Mahmud---sopir Mami dan Papi sudah tiba di supermarket. Bi Siti hanya mengantarnya sampai teras dan memberinya catatan belanja yang tertinggal, awalnya masih mau mengantar akan tetapi dia mendapatkan telepon dari Wira untuk mengerjakan tugas lain. Karenanya, mulai hari itu, Rinai sudah dilepas sendirian. Toh, masih ditemani oleh Pak Mahmud juga jadi tak mungkin hilang. Di rumah Wira memang ada dua sopir pribadi. Pak Imam---khusus untuk mengemudikan mobil Wira. Sementara itu, Pak Mahmud adalah sopir kepercayaan Mami dan Papi sejak lama. Dia yang biasa mengantar para ART belanja.Rinai sudah tiba di supermarket dan langsung mencari barang-barang yang dimaksud. Dia dibekali sebuah kartu debit oleh Bi Siti dan sudah diberi nomor pin. Kartu debit itu memang khusus digunakan untuk belanja bulanan. Mami mengisinya secara berkala dari rekening miliknya.
“Ingat! Jangan coba lagi melarikan diri dariku! Aku ini dekat, bukan jauh seperti apa yang ada dalam pikiranmu,” ucap Wira sambil tersenyum. Rinai hanya mengangguk. Sekilas sudut matanya menatap Wira, lalu menoleh dan berjalan tergesa. Pikirannya kalut karena kartu debit yang diberikan Bi Siti kini terblokir akibat ulahnya.Rinai berjalan tergesa menuju ke luar supermarket. Dia masih tak habis pikir dengan perjalanan nasib yang begitu cepat membawa Wira kembali padanya.Pikiran yang sedang kosong membuatnya tidak fokus, hingga sebuah tubrukkan kembali terjadi. Seorang lelaki berjalan tergesa masuk ke supermarket itu juga. Salah satu plastik belanjaan Rinai terlepas, isinya berhamburan. Beberapa menggelinding ke arah lintasan mobil dan terinjak mobil yang sedang melaju.“Upsss … Maaf!”