"Aku nyerah, Pak Mas Alarich yang terhormat. Sudah dua kali bekalku dibegal di perusahaan ini. Aku pengen nuntut ke pengadilan, tapi pelakunya orang paling mampu di negara ini. Hakim mana percaya!" ucap Aeera lemah, menatap sayup bercampur dongkol ke arah Big bosnya. Alarich mendongak, menaikkan sebelah alis sembari menyunggingkan senyuman tipis. "Tidak masalah," jawabnya santai. Aeera mengerutkan kening, menatap heran pada Alarich. Kenapa Alarich tidak masalah jika dia berhenti bekerja?'Ah, iya. Aku kan sudah menjadi istrinya. Jika aku berhenti bekerja, otomatis aku hanya diam di rumah– seharian terkurung bagai di penjara. Ih, pantas saja Pak Alarich tak masalah.' batin Aeera, mempertimbangkan perkataannya tadi–dalam hati."Aku nggak jadi resign, Pak. Kata-kataku tadi kutarik. Selamat sarapan," ucap Aeera, terkesan ketus. Dia mendengkus kesal kemudian buru-buru keluar dari ruangan bernuansa monokrom tersebut. Alarich memperhatikan Aeera yang tengah berjalan keluar dari ruangannya
"Terimakasih, Kak," ucap Aeera lembut, setelah itu beranjak dari sana dengan langkah lemas. Dia baru saja melakukan pembayaran untuk semua pesanan di restoran ini. Aeera benar-benar lemas, gaji satu bulannya habis untuk membayar tagihan semua orang yang makan siang di sini. Sialnya, kebetulan ramai. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Ayu secara prihatin. Melihat wajah kusut sekaligus lemas milik Aeera, dia yakin jika temannya ini sedang tidak baik-baik saja. "Baik tapi nggak baik-baik amat," jawab Aeera lemas, menatap kosong ke arah depan–berjalan lesu menuju kubikel. "Ini." Ayu memberikan uang pada Aeera. "Itu bayaran untuk makan siangku dan Dewi. Aku nggak tahu pasti kondisimu seperti apa. Yang jelas dari raut mukamu, kamu sedang tidak baik-baik saja, Aeera.""Nggak usah, Yu." Aeera menolak uang pemberian Ayu tersebut. 'Kamu bayar juga udah nggak ada gunanya, Yu. Uang ini tak akan bisa menutupi kekurangan uang bayaran hutang yang telah kukumpul.' batin Aeera. Gara-gara insiden tadi, A
"Jadi aku tak diceraikan?" gumam Aeera tanpa sadar. Dia keceplosan! Alarich seketika itu juga melayangkan tatapan tajam pada Aeera. Raut muka senang di wajahnya langsung lenyap, berganti dengan guratan marah yang cukup menyeramkan. "Jadi kau sengaja menggunakan uang pemberianku supaya memancingku untuk menceraikanmu?" Aeera tidak menjawab, hanya melototkan mata dengan gugup–menatap takut sekaligus panik pada Alarich. Jantungnya berdebar kencang, terasa akan pecah dalam sana. Sial, kenapa dia harus keceplosan disaat seperti ini? "Jawab!" geram Alarich, mengatupkan rahang secara erat. Sorot matanya menggelap, penuh amarah yang meluap-luap. Dia paling membenci kata perceraian. Di antara dia dan Aeera, tak ada kata pisah ataupun cerai. Selamanya! Mereka akan menjadi pasangan suami istri selama-lamanya. Aeera menganggukkan kepala secara kaku. "Kau--" geram Alarich kembali, kali ini nadanya lebih rendah tetapi semakin menyeramkan. Sorotnya yang gelap lebih pekat–menandakan kemarahan ya
Brak'Secara tergesa-gesa, Alarich membuka pintu menuju balkon kamar. Mimik mukanya terlihat panik, dia sangat mencemaskan keadaan istrinya. "Ara," panggilnya, menoleh ke arah sofa tetapi tak menemukan istrinya di sana. Raut panik dan khawatir semakin kentara jelas. Hell! Di mana istrinya? Aeera tak ada di balkon. ***Aeera menyerup teh hangat buatan sahabatnya. Hujan turun lebat ke permukaan bumi, membuat suhu terasa dingin. Aeera pecinta musim hujan, tetapi tidak dengan suhu dingin yang ditimbulkan. Tubuhnya kurang suka pada suhu dingin. "Trus kalau kamu kabur dari rumah Tuan Alarich tanpa membawa apa-apa, kamu ke sini pakai apa?" Shila memicingkan mata, menatap penuh tanda tanya pada Aeera. "Naik taksi," jawab Aeera, meraih remot TV lalu menyalakan televisi sesuka hati. Dia sekarang berada di apartemen Shila. Sebelum hujan turun, Aeera sudah sampai di sini. Aeera memilih kabur–turun dari balkon dengan cara yang cukup amazing. Kebetulan Aeera bisa memanjat. Meskipun saat turun
Bug'Alarich mendorong Aeera ke atas ranjang, berhasil membuat Aeera terjerambab dan berakhir berbaring tak mengenakkan di atas ranjang. Karena merasa tak enak dengan posisi tersebut, Aeera segera bangun–berniat berdiri tetapi tertahan karena Alarich menekan pundaknya. Pada akhirnya Aeera berakhir duduk di pinggir ranjang. "Mau kabur kemana lagi, Humm?" Suara berat Alarich mengalun dengan rendah, terkesan seksi; erotis secara bersamaan. Sebenarnya Alarich marah karena istrinya ini kabur. Namun di sisi lain, dia merasa lega karena Aeera baik-baik saja. Dia lega setelah menemukan serta membawa pulang Aeera dari rumah sahabatnya istrinya tersebut. "Kabur?" Aeera mengerjab beberapa kali, mendongak untuk menatap pada suaminya, "siapa yang kabur, Pak? A--aku hanya berencana menghilang tanpa izin doang. Letak kaburnya di mana?" cerewet Aeera, menampilkan raut muka dongkol dengan pipi menggembung. Pria ini hanya tahu marah, tak peduli jika dia yang salah atau Aeera. Jelas Alarich yang me
"Cik, aku ingin sarapan, Pak!" keluh Aeera ketika Alarich membawanya keruangan pria ini. Aeera dengan kesal melepas cekalan tangan Alarich kemudian menatap berang pada pria itu. "Panggil aku 'mas!" peringat Alarich, menarik kembali pergelangan tangan istrinya–membawa paksa perempuan itu menuju ke arah sofa. "Aku nggak mau, Pak. Ini kantor dan statusku di sini adalah stafmu," jawab Aeera, terduduk kasar karena dipaksa oleh Alarich. Semakin ke sini, Aeera merasa jika Alarich semakin menyebalkan. Pria ini sudah sekali memaksakan kehendak pada Aeera, sangat otoriter dan tak terbantahkan. Hak yang paling Aeera benci adalah Alarich suka memberikan hukuman. "Membantah, Humm?" Alarich mencondongkan tubuh me arah Aeera, tangannya berada di sisi kepala Aeera–menopang pada sandaran sofa. Tatapan Alarich sayup, dalam dan sangat berat. Namun secara bersamaan itu terasa mengintimidasi, menundukkan Aeera yang sudah pucat pias dan gugup. Satu lagi yang dia tak suka dari pria ini, Alarich sangat
"Kembalikan bekalku!" geram Aeera, berlari masuk dalam lift lalu berniat merampas bekal tersebut. Tanpa Aeera sadari, Bian buru-buru keluar ketika dia masuk–sehingga sekarang hanya dia dan Alarich yang berada dalam lift tersebut. Ketika Aeera berupaya merampas kotak bekal tersebut, Alarich langsung mengangkat tangan dengan tinggi-tinggi. "Cik." Aeera berdecak sangat kesal, menatap Alarich sekilas–melayangkan tatapan marah, galak tetapi malah sangat menggemaskan di mata Alarich. "Paaak!" pekik Aeera, setengah menggeram pelan–gemas sekaligus gregetan sebab Alarich meninggikan tangannya di setiap kali Aeera berupaya mengambilnya. Alarich hanya berdecis geli, terus menjahili istrinya dengan mengangkat bekal tersebut ketika Aeera berniat meraihnya. Aeera berjinjit, berusaha lebih tinggi agar bisa meraih bekal. Kepala Aeera mendongak sepenuhnya, suaminya sudah sangat tinggi–dia hanya sepundak pria ini, lalu ditambahAlarich mengangkat tinggi bekal tersebut, Aeera semakin merasa pendek
"Pantas saja yah," ucap keduanya, membuat Shila mengerutkan kening. "Pantas apa?" tanya Shila keheranan. "Pantas Aeera nggak peka-peka sama Big Boss. Jujur saja yah, semua penghuni gedung ini udah tahu sejak lama kalau Big Boss suka ke Aeera. Bahkan kami semua pendukung AlAe." "Hah? Loh! Heh … kok … aaaa … ceritain ceritain! Aku penasaran banget!!" pekik Shila, memegang kepala–heboh sendiri. "Yah, kita udah tahu kalau Pak Alarich itu sudah sejak lama suka pada Aeera. Emang dasarnya Aeera yang … errrr-- menggemaskan! Sampe rasanya ingin kucekik dia." Dewa berkata dengan penuh kegregetan pada akhir kalimat. "Sudah sering Pak Alarich mengirim sinyal suka, kentara banget loh, Beib. Bahkan kami saja sadar loh, tapi si Aeera malah enggak.""Hu'um. Pak Alarich itu sering memperhatikan Aeera, baik saat tak sengaja berpapasan ataupun saat lagi rapat. Pernah-- kami semua ditraktir makan siang dan diberi minuman yang lagi tren hanya karena Pak Alarich ingin memberikan makan siang itu pada Ae