“Hei cantik sini,” panggil ibu-ibu penjual dengan ramah saat melihat Hanaya menunjuk ke lapak jualannya.Hakya dan Kanaya hanya bisa terdiam melihat tempat yang ditujukan oleh Hanaya. Ternyata dia menuju ke penjual roti basah. Mungkin bau roti basah itu memancing Hanaya untuk berjalan menuju ke arah sana.“Hanaya mau roti?” tanya Kanaya lembut.“Iya,” jawab Hanaya sambil menganggukkan kepalanya.Hakya juga ikutan mendekat, dan pandangannya bertemu dengan penjual roti basah itu.“Wah, ini Hakya?” tanya penjual itu kepada Hakya dengan sangat antusias.Hakya menganggukkan kepalanya, dia tidak menyangka kalau ternyata bau roti basah buatan ibu itu yang membuat Hanaya berjalan memasuki pasar itu. “Wah si cantik ini pasti anaknya yang menyukai roti basah?” tanya ibu itu lagi.“Iya bu, kemarin dia senang banget saat makan roti basah yang masih hangat, bahkan ini dia berjalan dengan sendirinya,” jawab Kanaya sambil tersenyum dan memesan beberapa roti itu untuk Hanaya.“Ini kalian mau kemana?
Hakya dan Kanaya tampak menunduk dan berusaha meraih tangan Farah, dan tidak ada penolakan dari Farah.“Maafkan kami, ibu,” ujar Hakya kemudian diikuti juga oleh Kanaya yang meminta maaf.Sementara itu Hanaya yang berada di dalam gendongan Kanaya hanya terdiam, dia bingung melihat kedua orang tuanya yang tampak sedang serius meminta maaf. “Hanaya, ini nenek. Kamu salim tangannya,” ujar Hakya kepada Hanaya dan meminta Kanaya menurunkan Hanaya dari gendongannya.Farah menatap wajah Hanaya dengan pancaran mata harus, namun dia masih belum menjawab apapun.“Ne-nek,” ujar Hanaya dengan suara yang terbata-bata mengeja dengan benar. Sepertinya dia masih sangat penasaran dengan Farah sehingga dia menarik-narik tangan Farah membuat neneknya itu tersadar.“Cucu nenek…,” ujar Farah kemudian yang langsung memeluk Hanaya dengan erat dan airmata jatuh saat menciumi wajah lembut Hanaya.Hanaya hanya mengangguk dan berusaha melepaskan pelukan Farah, karena memang dia belum mengenal siapa Farah yang
“Ini sangat sakit,” lanjut Hakya.Kafka tampak mengangguk, dan Hakya meminta izin kepada Farah. Karena dia takut kalau nanti akan disangka membunuh Kafka. Karena rasa sakit yang ditimbulkan itu adalah sangat luar biasa seperti nyawa akan terlepas dari tubuh saking sakitnya.“Lakukan, Hakya,” jawab Farah kemudian sambil mengangguk.“Tapi, ini sangat sakit bu. Kalau ibu tidak sanggup melihat ayah kesakitan, ibu bisa tunggu di luar saja,” ujar Hakya kemudian.“Tapi, kamu yakin ini bisa lepas?” tanya Farah penasaran.“Iya. Semua yang dipasang oleh Ratu Ilmu Hitam itu harus perlahan-lahan di lepaskan, dan itu membutuhkan waktu yang lama tergantung cara mengikatnya. Selama proses itu ayah akan merasa sangat kesakitan, bahkan bisa jadi muntah ataupun membuang kotoran tanpa di sengaja saking sakitnya,” jelas Hakya.“Ibu akan disini saja,” jawab Farah.Hakya hanya mengangguk.“Bisa dipastikan Zanaya tidak masuk kesini ya bu, nanti dia salah sangka dan membuat semuanya tidak berhasil,” ujar Hak
"Hakya, apa yang terjadi dengannya?" tanya Farah khawatir saat melihat Kafka terkulai lemah tidak berdaya.Hakya yang masih tampak terengah-engah memeriksa semua nadi Kafka. Dia tidak bisa membayangkan kalau Kafka akan meninggal saat semua ikatannya terlepas."Ayah, hanya pingsan. Mungkin karena terlalu lama menahan sakit. Terus saja kompres kepala ayah," ujar Hakya kemudian setelah memastikan nadi Kafka masih berdenyut normal."Apa kamu yakin?" tanya Farah yanh seolah tidak percaya, karena dia melihat Kafka tidak menunjukkan pergerakan sama sekali."Iya bu, ayah terlalu lelah menahan sakitnya. Karena seperti yang Hakya katakan ini, ini terasa sangat sakit dan rasa nyawa sudah di ujung kepala. Tapi, sebentar lagi ayah akan sadar," jawab Hakya yang tampak menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.Farah hanya mengangguk, dia memberikan kepercayaan kepada Hakya. Dan berharap kalau Kafka akan segera sadar."Tapi, apakah semua berhasil kamu lepaskan, Hakya?" tanya Farah lagi."Iya bu. Sem
"Astaga Zanaya! Kamu bisa duduk diam, gak?!" bentak Kanaya kepada Zanaya yang mencecar Kafka dengan pertanyaan, padahal Kafka baru saja sadar."Kenapa? Kamu gak khawatir sama ayah? Kamu mau ayah mati di tangan suami kamu ini?" tanya Zanaya lagi."Za-Naya…," panggil Kafka lemah.Mendengar suara Kafka membuat Farah dan Zanaya hanya terdiam menutup mulutnya. Mereka tidak percaya kalau Kafka bisa berbicara.Selama ini Kafka jangankan memanggil nama anak dan istrinya, mengeluarkan suara sedikit saja tidak bisa."Iya ayah, ayah bisa bicara lagi?" tanya Zanaya kemudian.Kafka mengangguk dan menatap ke arah Kanaya dan Hakya secara beegantian."Terima kasih, Hakya," ujar Kafka dengan suara yang pelan. Karena tubuhnya masih sangat lemah."Iya ayah, ayah jangan banyak gerak dulu," jawab Hakya."Sayang, kamu sudah siap kan sup hangat yang tadi aku minta buatkan? Kalau sudah tolong suapin ayah makan dengan nasi yang lembut ya," ujar Hakya kepada Kanaya.Kanaya menganggukkan kepalanya dan segera men
“Dasar sampah tidak berguna! Bantulah istrimu itu!”Teriakan dari nyonya Farah mengagetkan Hakya yang saat itu sedang duduk termenung. “Apa yang harus saya lakukan, Ibu?” tanya Hakya takut-takut.Plak! Plak!Dua tamparan mendarat di wajah Hakya. Saking kesalnya nyonya Farah kepada Hakya yang sudah dua tahun menjadi menantunya itu namun tetap tidak bisa melakukan apapun.“Angkat semua barang-barang dari gudang itu, lihatlah banyak sekali pelanggan!” teriak nyonya Farah kembali.Memang keluarga Kafka Handria, mertuanya Hakya, memiliki usaha toko kelontong yang begitu besar. Masih pagi seperti ini saja para pelanggan sudah begitu banyak. Kanaya, istrinya Hakya bertugas sebagai kasir di toko tersebut.Pagi ini, suasana toko begitu ramai. Bahkan semua karyawan tampak kewalahan dengan datangnya pengunjung yang membludak, hal itulah yang membuat nyonya Farah marah kepada Hakya.“Tolong, ambilkan 5 karung beras!” teriak Kanaya dibalik meja kasir yang membuat nyonya Farah mendorong Hakya denga
"Baiklah, Ibu," jawab Hakya dengan santai sambil bangun dari pembaringannya.Dari bibir Hakya tersungging senyum yang benar-benar manis, dia tidak bisa melukiskan kebahagiaannya dengan kata-kata ketika dia menyadari kekuatannya saat ini telah kembali.Dia bahagia telah kembali menjadi seperti Hakya yang dulu."Dasar orang gila! Habis pingsan dia malah ketawa-tawa sendiri. Atau jangan-jangan dia beneran sudah menjadi gila?" tanya Nyonya Farah pada dirinya sendiri dengan kebingungan melihat perubahan yang ada pada Hakya.Hakya berjalan dengan santai menuju toko, seperti biasa tugas Hakya adalah menutup toko dan kemudian membersihkannya, karena mertuanya pasti akan marah kalau setelah beroperasi hari itu toko tidak langsung dibersihkan. Entahlah Apakah itu hanyalah alasan dari Nyonya Farah untuk menyiksa Hakya ataukah memang itu kebiasaan mereka."Kamu sudah siuman?" tanya Kanaya saat melihat Hakya yang tiba di toko dan mulai membersihkan semua bagian toko."Iya, baru saja," jawab Hakya
"Kenapa tidak besok saja, Ibu?""Jangan membantah! Kalau saya maunya sekarang, ya sekarang! Bukan besok!" jawab Nyonya Farah kesal kepada Hakya.Karena tidak ingin membantah ibu mertuanya dengan penolakan yang diberikan olehnya, akhirnya Hakya maju menuju ke halaman depan. Hakya memilih sudut yang paling gelap, kemudian dia duduk bersila dengan kedua tangannya diletakkan di depan dada."Hyiiiaat!"Dengan sekali tarikan nafas, Hakya mengeluarkan jurus tenaga anginnya dan kemudian seluruh halaman depan itu bersih dari semua sampah, sampah-sampah itu terkumpul di tempat sampah dan terpisah sesuai dengan jenisnya."Ini kecil sekali, Ibu. Tapi, aku ingin melihat wajah istriku lebih lama kalau aku duduk di depannya. Tapi, apa boleh buat kalau memang semua pekerjaan ini harus diselesaikan sekarang," ujar Hakya sambil menepukkan kedua tangannya.Hakya seolah-olah sedang membersihkan tubuhnya dari debu-debu yang menempel karena dia membersihkan halaman tersebut. Dia tersenyum senang dan kemudi