Mengapa Ibu dan Mas Ronald marah. Mereka bahkan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku buat. Aku hanya ingin mengembalikan perbuatan keji mereka, dan kini dimata mereka aku bagai iblis yang tidak berperasaan."Sabar Bu ..." Bik Irah menepuk lembut bahuku.Tubuhku menggigil, mataku terpejam dengan nafas tersenggal-senggal."Bibik juga tidak menyangka, Pak Ronald tega seperti itu," lirih Bik Irah."Ibu terlalu baik, Ibu sangat sabar menghadapi permintaan dari keluarga Pak Ronald. Tapi seperti ini balasan mereka, jujur saja hati Bibik ikut menjerit menerimanya," ucap Bik Irah dengan suara parau.Bik Irah sudah lama bekerja dirumahku, saat Papah membeli rumah ini untukku. Mamah sudah menyiapkan Bik Irah untuk membantu mengurus semua kebutuhanku. Bik Irah pastinya mengerti, bahwa rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja."Jadi perempuan memang serba salah Bu. Apa lagi kalau sudah menjadi istri. Semua kesalahan dilim
Perasaanku langsung tak nyaman, saudara macam apa yang datang langsung berduaan didalam kamar. Bersama Mas Ronald, suamiku?Jangan-jangan.Segera aku melangkahkan kaki menuju kamar tamu, tempat Mas Ronald tidur belakangan ini. Langkah terhenti tepat didepan pintu, jantungku berdegup kencang saat mendengar suara manja tawa seorang perempuan didalamnya.Brak!!Dengan kencang aku langsung menendang pintu, sepasang sejoli itu nampak terkejut melihat kehadiranku."As ..." ucap Mas Ronald dengan raut salah tingkah, dia langsung bangkit dari duduknya diatas ranjang."Tak tahu diri ... sudah hidup menumpang, malah membawa masuk gundikmu kedalam rumah ini. Hebat sekali!" desisku dengan mimik menakutkan."Kamu jangan salah paham," Mas Ronald jalan mendekatiku."Salah paham?" geramku.Kulihat perempuan siluman itu tersenyum miring dan duduk dengan tenang diatas ranjang.Dasar sundal!
"Siang Bu, ada tamu yang mencari?" ucap Rahayu saat masuk kedalam ruanganku."Siapa?" tanyaku tanpa menoleh kearah suara."Dia bilang suami Ibu," jawab Rahayu."Oh ya?" aku mengangkat wajah."Iya Bu ... Pak Ronald," sahut Rahayu."Sekarang dia ada dimana?" tanyaku."Dipintu masuk, loby utama," sahutnya."Saya akan menelpon petugas keamanan agar dia tidak diizinkan masuk," ucapku."Dan tolong, kamu bilang sama dia. Saya sudah tidak punya suami. Jangan sampai dia masuk kedalam ruangan saya," tegasku lalu kembali menekuri layar.Rahayu terlihat kebingungan, namun dia tetap keluar memenuhi perintahku."Siang, Pak." ucapku saat sambungan telah terhubung."Siang, dengan Ibu siapa?" tanya suara berat diujung telepon."Saya, Ibu Astrid," jawabku."Siap Ibu. Ada yang bisa saya bantu?" tegasnya."Tolong tahan orang yang mengaku sebagai suami
"Cerai itu, Mamah Astrid mau ganti Ayah. Ayah Ronald kan pengangguran, tidak tahu diri pula," jelas Mamah dengan senyum manis penuh arti.Ya Tuhan ... ada-ada saja, jawaban Mamah.Aku hanya tersenyum tipis, saat Naura menatapku meminta penjelasan."Naura main sama Tante Vian saja yuk ..." ajak Vivian.Naura menganggukkan kepala, menurut saat Vivian menuntunnya memasuki kamar.Huufftt."Aku harus bilang apa sama, Naura Mah?" Tanyaku sambil menyenderkan tubuh."Diberi pengertian saja, As ... seiring berjalannya waktu Naura pasti akan mengerti," sahut Mamah."Naura sangat dekat dengan Mas Ronald," balasku."Yah ... mulai detik ini, luangkan waktu untuk a
"Ayo ... sini maju, jangan beraninya ngomong doang," tantang Mamah dengan wajah sangat menyebalkan."Cih ... Nenek tua!" sentak Sekar dengan wajah memerah.Tak tahu malu, pemarah sekali gundik Mas Ronald. Tak habis pikir aku."Berhenti Sekar!" tangan kekar suamiku menarik perempuan liar itu, sekali hentak tubuh Sekar langsung terbawa oleh Mas Ronald."Apaan sih Mas!" sentak Sekar tak terima."Jangan buat keributan, kamu mau masuk penjara. Heh!" bentak Mas Ronald. "Jangan kepancing emosi," sambungnya."Ck!!" Sekar berdecak kesal, lalu melipat tangan dibawah dada."Tidak berani?" tanya Mamah dengan senyum menyerigai. "Padahal aku ingin menghantam rahangnya lagi," lanjut Mamah sambil mengepalkan tangan."Sudah ya Ibu-Ibu. Harap tenang, kalau masih mau ribut nanti saya bawa masuk kedalam sel. Biar duel sekalian," seloroh petugas bertubuh tambun bernama Daus."Begini nih ... kalau masalah p
Pov Ronald.Mengurut kening yang terasa berdenyut, kepala merunduk dengan fikiran berkelana. Suara Ibu tak kunjung henti, membuat isi kepalaku seakan terbakar ditempatnya."Amit-amit berurusan lagi sama keluarga sombong itu. Sok kaya, gayanya seperti dia orang paling kaya di Bumi ini." cecar Ibu masih tidak mau berhenti."Awas kamu balik lagi sama dia!" Ibu menunjuk telunjuknya diwajahku.Setelah membubuhkan tanda tangan kami segera pulang kerumah, selama perjalanan Ibu kembali mengeluarkan segala kekesalannya terhadap Astrid beserta Mamahnya. Benar-benar bikin pusing kepala!"Nald ... besok urus perceraian kalian. Jangan sampai perempuan songong itu, yang menggugatmu terlebih dahulu!" Ibu yang berada dijok belakang menepuk pundakku.Aku hanya diam tak bereaksi apapun."Dengar tidak?""Bu ... sudahlah, sebenarnya Ronald tak ingin bercerai dengan Astrid. Biar bagaimana pun, Astrid yang selalu seti
Aku menautkan alis, mana ada pengacara yang mau dibayar murah. Tapi jika tidak bertindak, enak di Astrid. Biar bagaimana pun, aku sudah lama menikahinya, sudah seharusnya rumah itu dibagi dua. Jika memang dia menginginkan perpisahan. Mobil beserta aset yang lain harus aku tuntut juga, setidaknya jika harus bercerai dengannya aku tidak akan kebingungan mencari uang."Ingat. Jangan terlalu mengalah dengan Astrid, kamu berhak atas semua aset yang dia punya." Tuding Ibu sambil menujuk tepat diwajahku."Tidak perlu takut bercerai dengan Astrid, dia fikir hidup kita akan berantakan tanpa uang anaknya? Cih.. sombong sekali perempuan itu. Jika tak ingat ada dikantor Polisi, sudah habis Ibu bejek-bejek," ucap Ibu dengan geram, sambil meremas-remas kedua tangannya.Aku hanya diam, bicarapun percuma. Aku rasa akan menambah kekesalan Ibu."Ibu
Kulihat nafas Sekar memburu saat melihat kedatanganku, dan melempar tatapan dengan tajam kearahku."Penipu!!" Sembur Sekar, sambil melangkah lebar kearahku."Ada apa ini?" Tanya Ibu. "Siapa yang penipu?" Ibu dan aku saling berpandangan."Mas Ronald. Dia sudah menipu Sekar Bu, dia membuat Sekar sangat malu," teriaknya sambil menudingkan jari telunjuk diwajahku. Wajah itu memerah, antara kesal dan malu bercampur diwajahnya."Ada apa?" Tanyaku. Bukan menjawab Sekar malah mendengkus sinis."Kenapa kamu bicara sekasar itu pada Ronald. Dia menipu apa?" Sengit Ibu, tak terima anaknya diteriaki.Nafas Sekar tersenggal, tatapan benci dilayangkan kearahku. Ada apa dengannya?"Dimana sopan santunmu! Sama suami kok seperti itu. Kamu fi