Langit-langit coklat menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mataku. Aroma tanah basah dan juga tumbuhan hijau memenuhi indra penciumanku. Membuatku langsung mengingat dimana tempatku berada. Perlahan aku bangun dan menatap selimut merah yang membukus tubuhku. Dibalik selimut itu pakaianku sudah berganti, bukan lagi pakaian yang kukenakan kemarin. Dan aku juga menemukan lengan kananku yang sudah dibungkus dengan perban. Kurasa Alena yang melakukannya. Kutatap sekelilingku, mencari keberadaan gadis itu. Namun aku tak menemukannya di ruangan ini.
“Kak Lena.” Langkahku terhenti saat melihat gadis itu sedang berdiri di depan lemari kayu yang ada di dapur. Pakaian yang dia kenakan sudah berganti lebih baik dari kain lusuh yang sebelumnya. Mendengar panggilanku Alena berbalik, menatapku dengan senyuman khas miliknya. Membuatku tertegun saat melihat senyum di wajah gadis itu.
“Kau sudah bangun? Lebih baik kita sarapan sekarang. Ada beberapa buah yang bisa kita makan. M
Kulitku seperti mati rasa, tak lagi bisa merasakan dingin saat tubuhku berkali-kali menembus kabut dan juga melawan dinginnya angin malam. Aku hanya memejamkan mata sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tubuh serigala milik Alena. Seperti apa yang dikatakan Forel, maid yang datang ke pondok kami tadi pagi, kami memutuskan untuk segera meninggalkan tempat persembunyian kami dan segera mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup. Tubuhku terasa sangat lelah. Tapi aku tahu Alena jauh lebih lelah dibandingkan dengan diriku. Entah sudah berapa lama dan sejauh apa Alena berlari membawaku. Tapi sejauh ini, belum sekalipun Alena mengeluh ataupun beristirahat sejenak sejak kami meninggalkan pondok itu. Suara Forel masih menggema dalam pikiranku. Jawaban wanita itu terus menghantui kepalaku. Hatiku terasa kosong, dan perasaanku yang sudah hancur kini sudah tidak berbentuk. Hari ini aku sudah kehilangan segalanya. Packku, keluargaku, Putera angkatku, dan juga ... Mateku ...
Langit tampak cerah dan matahari bersinar terik. Titik-titik peluh mulai menetes dari keningku. Menyirami tanaman bukanlah pekerjaan yang berat, tapi karena usia kandunganku yang sudah tua membuatku cepat kelelahan. Kuhela napas lelahku setelah berhasil duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras depan rumah. Akhirnya setelah sekian lama terlunta-lunta di antara hutan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainya, akhirnya kami memutuskan untuk menetap dan berbaur dengan manusia. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah hari-hari buruk itu kami akhirnya menemukan tempat yang cukup aman sehingga kami bisa tinggal sedikit lebih lama di sana. Kami menemukan sebuah perkampungan kecil, dimana adat istiadat dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi. Tempat yang dihuni oleh ras manusia dan jauh dari ras werewolf, tentu ini adalah tempat yang paling aman untuk tinggal. Penduduk kampung di sini juga sangat baik dan ramah, mungkin karena itulah aku dan Alena cukup m
“Mama, aku ingin bermain keluar! Aku akan pulang sebelum petang!” Teriak seorang bocah laki-laki yang berusia lima tahun yang tampak mengganti kaosnya dengan tergesa.“David, Mama melarangmu pergi! Sudah berkali-kali kuperingtkan jangan bermain ke dalam hutan itu lagi!” teriak seorang wanita dari arah dapur, namun sama sekali tidak di gubris oleh David, nama bocah laki-laki itu.“Aku akan baik-baik saja! Aku sayang Mama dan tante Alena!” teriak David yang sudah berlari keluar dari rumah sederhana miliknya, mengabaikan suara teriakan Ibunya yang terus memanggil namanya.“Dasar, anak itu sama sekali tak mendengarkanku!” Keluh Levia kesal melihat putera semata wayangnya yang tak pernah menurut padanya. Sedang Alena, satu-satunya orang yang sedang bersamanya hanya terkekeh melihat kekesalan adik iparnya.“Sudah biarkan saja. Dia masih pada masa kejayaannya. Jangan terlalu overprotektif padan
“Ini mimpi buruk .... Sangat buruk. Tidak, ini kutukan ... kutukan.” Kata-kata rancu tumpah dari bibirku yang kering. Dadaku terasa sesak, tubuhku terasa begitu lelah. Aku ingin menyerah, tapi aku tak bisa menghentikan kakiku untuk berhenti melangkah. Aku terus berlari tanpa tau arah. Hatiku terasa seperti diremas, dikoyak, dipukul dengan godam. Amat menyakitkan. Air mataku terus mengalir deras bagai aliran sungai yang tak bermuara. Sedikitpun tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa hari-hari damaiku akan berakhir dalam waktu singkat. Beberapa jam yang lalu kehidupanku masih baik-baik saja. Ayahku yang merupakan seorang Alpha, pemimpin dari ras serigala dalam pack masih duduk dengan gagah di atas singgasananya. Lalu ibuku yang merupakan Luna, pasangan Alpha masih melakukan kegiatan rutin bersamaku, membagikan beberapa daging berkualitas pada semua anggota pack. Kakakku yang suka berbuat jahil padaku selalu berakhir dengan jeweran di telinga oleh ibuku. Kupikir t
Suara cambukan yang keras diikuti rasa perih dan panas menyebar ke seluruh punggungku. Kugigit bibir bawahku, menahan rasa sakit yang menusuk hingga tulang belakangku. Air mata sudah tumpah di wajahku. Rasanya sangat menyakitkan, tapi aku tak bisa lakukan apa-apa selain menahan rasa sakitnya. Ingin aku melawan, tapi aku sadar bahwa aku lebih lemah dari mereka. Cambukan itu terdengar lagi, dan punggungku kembali didera rasa sakit. Entah sudah berapa cambukan yang aku terima hari ini. Mereka seakan tak pernah lelah untuk menyiksaku.Jambakan kuat di rambut panjangku membuatku meringis kesakitan. Mereka kembali menyeretku ke gudang, atau lebih tepatnya tempatku menutup mata setiap malam. Tubuhku dihempaskan keras ke lantai, sedetik kemudian suara pintu dibanting keras dan derap langkah mereka yang semakin menghilang terdengar. Aku meringkuk di lantai, menenggelamkan wajahku diantara lutut. Tubuhku bergetar, sedetik kemudian air mataku tumpah. Seluruh tubuhku te
Kenangan masa laluku tiba-tiba memenuhi pikiranku. Seperti sebuah kaset yang diputar ulang. Aku melihat kembali saat malam terakhir dimana aku melihat ibuku. Dia menyuruhku berlari dengan cepat dan tanpa berpikir apapun aku berlari sekuat tenaga. Aku segera menoleh kearahnya saat kudengar suara teriakan ibuku yang menjerit kesakitan. Dan saat itu juga kulihat jantung ibuku di tangan Rogue itu. Mereka menariknya keluar dengan paksa dan menghancurkannya. Malam itu malam yang paling mengerikan dalam hidupku. Kenapa ingatan ini kembali berputar di otakku?Aku menangis dan berteriak memanggil Ibuku. Semuanya terlihat gelap, satu cahaya membuatku mendongak. Namun tiba-tiba wajah Kelly dan puterinya muncul di hadapanku. Mereka menyeringai jahat sambil membawa cambuk yang biasa mereka gunakan untuk menyiksaku. Rasa sakit langsung menyebar ke seluruh tubuhku. Aku bisa dengar suara cambukan itu dengan keras dan lagi-lagi punggungku di dera kesakitan. Aku duduk dengan pas
Aku kembali terbangun mendengar suara seorang gadis yang sedang bersanandung pelan. Aku berusaha bangkit dari tidurku dan kudengar langkah kaki gadis itu mendekat ke arahku.“Adik ipar sudah bangun?” tanyanya seraya membantuku untuk duduk. Aku sedikit tertegun mendengar dia baru saja memanggilku adik ipar? Tunggu, apa maksudnya?!“Ah ya, namaku Alena Steward. Aku kakaknya Dave,” ucapnya memperkenalkan diri sekaligus menjawab pertanyaan yang bermunculan di otakku. Dia kakak prempuan Dave? Tunggu, tapi siapa itu Dave?!“Dia matemu, bodoh,” seru Lucy bersungut-sungut di dalam kepalaku. Menyadarkanku satu hal penting yang terlewatkan olehku.“Mate? jadi Dave ya namanya?” tanyaku sekali lagi seperti orang bodoh. Lucy tak menanggapinya. Ah, aku lupa jika Lucy benci mengulang kata-katanya. Ok, itu tak jadi masalah. Yang jelas sekarang aku sudah tau n
Kubuka mataku saat kurasakan paparan sinar matahari yang hangat menyentuh wajahku. Aku langsung bangkit begitu menyadari jika ini kamar ini begitu asing bagiku. Dan aku baru sadar setelah mencium aroma yang sangat familiar ini. Ini adalah kamar Dave. Suara langkah kaki yang mendekat membuat jantungku ikut berdetak cepat. Aku langsung menarik selimutku dan meremasnya kuat-kuat saat melihat seseorang yang membuka pintu kamar. Genggaman tanganku mulai mengendur setelah melihat siapa yang datang. Dia adalah Dave. Kulihat dia berjalan kearahku sambil membawa nampan yang berisi makanan.“Selamat pagi,” sapanya sambil menurunkan nampan yang dibawanya di meja. Dia tersenyum dan menatapku hangat.“Pa ... pagi,” jawabku lirih berusaha mengalihkan pandanganku ke arah lain. Bahkan sampai sekarang aku masih belum berani menatapnya lama.“Apa kau masih merasa takut padaku?” tanyanya tiba-tiba membatku langsung