Senja telah menggulung teriknya siang dengan selimut kapas awan kelabu. Menjelang menutupnya mata siang hari, hujan pun turun. Suasana di sekitar rumah kecil Salamah perlahan menjadi gelap dan dingin.Rumah semi permanen itu memiliki hawa yang begitu dingin, apalagi bercak hijau di langit-langit rumah begitu menyiratkan kelembapan bangunan berisi tiga kamar itu. Jejak air hujan karena genteng yang bocor, kini menyisakan sekelumit lumut tipis di plafon berwarna putih. Terlihat sangat kontras.Tubuh mungil Anjani menggigil, terbungkus selimut tebal beraroma minyak angin milik neneknya. Matanya yang kala itu sudah minus dua-perkara yang tak lazim untuk anak balita pada umumnya- Anjani menatap ke langit-langit. Pikirannya kosong.Salamah duduk di tepi ranjang di samping kiri Anjani. Hasan berada di seberangnya, mengelus-elus tempurung kepala Anjani dengan mulut terkunci. Di ujung kasur, Salamah memijat-mijat kaki Anjani yang tersembunyi di balik tebalnya selimut. Anjani mencoba mengingat-
Anjani bergerak cepat. Ia sahut kacamata tebal.Ia raih gagang pintu kamar.Anjani berlari sekuat tenaga seakan ada yang hendak memangsanya di sepanjang lorong gelap itu.Begitu sampai di muka kamar mandi, Anjani melompat. Ia sambar sakelar lampu yang tingginya jauh melebihi kepala itu dan berpijak pada permukaan keset. Sedetik kemudian, dalam satu gerakan gesit, tubuh Anjani lenyapke bilik kecil itu. Pintu di belakangnya ia banting hingga menutup.Jantung Anjani berpacu, napasnya memburu.Selamat...Tak ada yang mengejar.Kencingnya terpancur ke dalam lubang kloset bersama kelegaan yang menjalar. Di tengah prosesi itu, Anjani berpesta. Ada secuil perayaan karena Anjani telah berani melewati rintangan kegelapan. Anjani, gadis kecil yang tengah terserang demam tinggi ini mampu ke kamar mandi di tengah malam tanpa membangunkan siapa pun.Di penghabisan pancuran air kencing itu, Anjani terdiam. Kesunyian datang merajai semesta.Gawat.Anjani tersadar ada utang yang harus ia tebus. S
Di balik sebuah petaka, ada luka yang tersembunyi dalam duka. Hidup yang semakin tidak di suka. Membuat orang lain jadi celaka. Ketidaknyamanan itu menjadi prasangka, menebak pelaku kejahatan dengan berbagai logika.*"Jika aku mati nanti, apa kamu masih akan setia sama aku, mas?" tanya Jelita saat dia terbaring sakit di kamarnya.Adam yang saat itu menemani di samping ranjang sang istri, menepis pikiran buruk Jelita dengan cepat. "Kamu tidak boleh bicara seperti itu sayang, kamu tidak akan pergi secepat itu. Jika pun ajal datang, kita akan mati bersama-sama. Percayalah hanya maut yang memisahkan kita."Jelita mengalihkan pandangannya yang sayu ke arah jendela lebar yang tirainya hampir tertutup rapat, sebab petang akan segera datang. Wajah lelah wanita itu menampakan senyum tipis, seolah sedang menertawakan takdir. Ucapan Adam sama sekali tak membuat dirinya merasa lebih baik. Adam juga tau jika ucapannya terlampau mengada-ada. Akan tetapi jika ditanya soal kesetiaan, Adam tidak mai
Indahnya langit biru, tak seindah hidup yang penuh haru. Tak banyak cerita seru dari kehidupan orang yang diburu, karena masa lalu yang keliru, tidak akan bisa membuat lembaran yang baru. Selamanya melekat dan tidak pantas untuk di tiru.* Tiga hari berlalu sejak Adam mengalami hal aneh ketika perjalanan pulang dari rumah seorang imam hambali. Lelaki itu tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, ia beranggapan jika semua yang dialaminya hanya mimpi. Siapa sangka jika sejak kabut datang malam itu. Adam terseret pada mimpi buruk. Begitu pun dengan mimpinya tentang Jelita istrinya yang lenyap di telaga. Fakta bahwa ia dibangunkan oleh orang-orang yang hendak pergi ke surau, membuat Adam sadar bahwa kondisi badan dan psikisnya yang lelah akan membawanya pada hal-hal menyeramkan, sekalipun itu hanya mimpi. Namun, Adam tak menyangka saja jika dirinya malah tertidur di jalan dekat perkampungan hingga shubuh menjelang. Harapan Adam untuk pulang sebelum tengah malam jadi gagal.Setelah sadar s
Saat Adam mengulurkan tangannya pada pundaknya, Adam terperanjat. Ia bisa menyentuhnya. Anggapan anak ini adalah hantu segera Adam tepiskan jauh-jauh. Kini Adam turut serta berjongkok, mengusahakan agar tingginya setentang dengannya. Adam bertanya santun."Nak, kenapa kamu di sini? Kamu dari kamar mana?"Ia tak menjawab. Alih-alih bersuara, ia menunjuk ke dalam mulutnya, seolah ada sesuatu yang menganggu tenggorokannya sehingga ia terbatuk-batuk. Adam picingkan matanya semampunya, memperhatikan isi mulut anak itu, tapi rasanya begitu sulit karena pancaran cahaya yang amat terbatas.Tiba-tiba, anak itu terbatuk hebat. Sempat ada hentakan rasa kaget yang nyaris mendorong tubuh Adam. Ia terlihat memasukkan tangannya sendiri ke dalam mulut. Tatkala ditarik, keluarlah seutas perban dari dalamnya.Nalarnya terguncang.Tanpa berpikir yang aneh-aneh, Adam justru terpicu untuk membantu mengeluarkan untaian perban itu. Kain basah berserat itu di tariknya perlahan dengan sangat hati-hati. Adam
Saat hidup yang nyaman mendapat ancaman. Dunia tak lagi teras aman, jika ada yang kian mengerikan harus ada keberanian. Pilihannya melawan dan bertahan atau pasrah dalam kematian*Teriakan Adam kian menggema, meraung, berkawin dengingan kardiogram, disertai isakan tangisnya sendiri. Rongga mulut Adam menjadi asin kala cucuran air matanya tak sengaja tertelan. Sementara itu, tubuh Adam terus terseret keluar, menyaksikan tubuh rapuh Jelita istrinya menghilang tertutup barisan perawat berseragam putih.Begitu Adam terlempar di koridor rumah sakit, pintu kamar Jelita tertutup rapat."Jelita, kenapa kamu tinggalin mas sendirian. Mas ngga bisa terima ini semua, kita sudah sejauh ini dan kamu malah meninggalkan aku sendiriannnn!!Suara Adam menggema di sepanjang koridor, memancing perhatian orang-orang di sana. Pasien, dokter, perawat, sampai para penjenguk memandangi Adam yang menangis tersedu.Dadanya kini terasa sesak. Napas Adam terlunta-lunta, terseok usai hujan tangis itu menggaung p
Segala masalah mencoba di tuntaskan sampai ke akar. Terduga yang bersalah berusaha di kejar, tapi entah mengapa rasanya konflik seperti berputar-putar.Ada dalang yang sulit di bongkar, sehingga konflik pun sulit di cecar. Siapa yang seharusnya perlu di hajar. ?*Perempuan itu refleks menutup mulut begitu bau kamboja menyengat hidung. Kegelapan memudar saat perempuan itu sudah berada di depan jembatan. Empat buah obor menyala di tiap sisi jembatan.Perempuan itu mengambil napas panjang, kemudian meneruskan perjalanan. Cahaya bulan kini terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Suara burung dan serangga tak terdengar lagi.Suasananya teramat hening. Perempuan itu bahkan bisa mendengar suara embusan napas sendiri. Kunang-kunang menyambut Perempuan itu saat dirinya sampai di sebuah gapura yang berdiri kokoh namun terlihat sangat usang, tertutupi oleh tumbuhan rambat yang memberi kesan betapa tak terurusnya tempat ini. bertuliskan desa Puncak Kharja.Lolongan anjing tiba-tiba terdengar entah
Pola asuh membentuk pribadi seorang anak ketika tumbuh, didikan yang angkuh malah menciptakan pembunuh.Apa yang dibutuh harusnya di dapat dengan sungguh-sungguh. Tak peduli meski pun ricuh dan gemuruh.Ada masa kelam yang harus di telusuri lebih dalam, semakin paham makin jauh tenggelam. membentuk kebencian dan dendam yang seiring berjalannya waktu semakin tajam.*Di saat waktu kosong perempuan itu malah mendengar suara lain. Samar dan lemah."Ibuuu ...."Perempuan itu terkejut dan langsung membuka mata, lalu melihat-lihat keadaan sekitar yang masih menggelap. "Apa barusan aku tertidur dan bermimpi?" gumamnya bingung."Ibuu, Ibuu...."Sekali lagi perempuan itu dikagetkan oleh suara yang muncul dari hutan. Kali ini terdengar memelas dan manja. Ia sampai dibuatnya, membuat air kolam menyapu tepian hingga tumpah cukup banyak akibat gerak tubuhnya yang spontan.Ada yang membuat perempuan paruh baya itu penasaran, panggilan itu terasa familier di telinganya. Dengan saksama, ia memperhati