Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih tertaut dengan seraut wajah dalam bingkai foto itu. Nama dan wajahnya sama. Apakah berarti itu adalah orang yang sama? “Hay, Lisa … kenalin, aku Miss Jingga. Sudah siap belajarnya?” tanyaku seraya tersenyum dan menatap wajah gadis kecil yang baru saja keluar dari dalam. “Hay, Miss! My Name Is Lisa.” “WoW! Lisa sudah pintar bahasa Inggrisnya? Kereeen!” Aku bertepuk tangan dan memujinya. Begitulah sifatnya anak-anak, jika dipuji pasti senang. Kuharap dia akan senang dan belajarnya nanti akan menyenangkan. “Iya, Miss. Diajarin Papa.” Senyum pada bibirnya merekah. “Wah hebat Papanya Lisa. What is your father’s name?” Aku mencoba mengetes bahasa inggrisnya. “My father’s name is Putra.” *** Tin! Tin! Tin! Suara klakson kencang terdengar bersama dengan satu mobil yang melaju agak kencang, aku tak terlalu memperhatikan mobil jenis apa yang hampir menyenggolku barusan. Hanya saja sekilas kulihat, mobilnya berwarna merah. Bunyi klakson yang
POV BaraKuinjak gas dengan kecepatan tinggi. Tekanan dari Mama atas pengaduan Rani---istriku, membuatku sakit kepala. Perempuan pilihan Mama tersebut benar-benar cemburuan dan dominan. Bayangan kejadian demi kejadian yang akhir-akhir ini mendominasi hidupku terbayang silih bergantian, bersatu menjadi satu kata, mumet. “Bara! Apa benar kamu masih sering pergi ke rumah perempuan itu diam-diam? Apa kamu mau sakit jantung Mama ini kambuh?" tegas kalimat yang Mama keluarkan. Aku yang baru saja pulang kerja, mendongak menatap Mama. Dari mana dia tahu? Rasanya aku hanya mampir sebentar saja setiap pulang kerja. Itu pun hanya beberapa kali dalam sepekan.Lagian di sana pun, aku hanya duduk diam menunggu. Jujur, gak ngapa-ngapain, cuma buat lihat sekilas wajahnya dari kejauhan. Apa begitupun gak boleh?“Aku baru pulang kerja, Ma.” Berusaha abaikan atas pertanyaannya dan mengalihkan jawaban. “Itu bukan jawaban dari pertanyaan Mama, Bara. Apa kamu masih sering pergi menemuinya?! Apa kamu ing
Pov RaniAku dan Mama sudah tiba di tempat kumpul-kumpul alias rumah orang tuanya Mbak Misye---kakak sepupuku. Sudah banyak yang hadir, hanya sebagian besar didominasi oleh perempuan. Ada sih beberapa orang lelaki, tapi jumlahnya gak signifikan. Hingga Bara pun akhirnya tak mau ikut dan mau pulang dulu saja. Aku tak bisa melarang, meski hati keberatan. Ya, mau gimana lagi? Mamanya pun mengijinkan. Aku menarik napas panjang ketika Bara sudah tak terlihat bersama mobilnya. Beruntung Jingga sudah pindah. Jika belum, aku akan tahu akan ke mana tujuan Bara. Pasti ke rumah Jingga. Ck, menyebalkan. Padahal dari segi penampilan dan body, jauh ke mana-mana menang akulah. Kadang heran sama pemikiran Bara. Kok bisa-bisanya jatuh cinta pada perempuan seperti JIngga. Namun, gak apa. Setidaknya aku sudah memilikinya, Jingga tetap kalah.Mbak Misye menyambutku ramah. Kami cipika cipiki seperti biasa. Terus diajak kenalan dengan beberapa koleganya. Bahkan ternyata dalam acara ini ada istri dari ora
“Selamat sore! Benar dengan Bu Jingga Nirmala?” tanyanya, merdu dan lembut. “Benar, saya sendiri. Maaf … ini dengan siapa, ya?” tanyaku pada pemilik suara di seberang sana. “Perkenalkan, saya Nirina dari daeler sepeda motor. Pada saat ini, Mbak Jingga terpilih random sebagai salah satu pemenang dari undian berhadiah yang kami selenggarakan!” "Undian? Berhadiah?” Aku semakin gagal paham. Aku tak pernah mengikuti kuis-kuis seperti itu. Jadi, wajar aku heran. “Betul, Mbak. Jadi Mbak Jingga berhak atas satu unit sepeda motor snoopy prestige white secara cuma-cuma. Boleh minta alamat lengkapnya?” Aku menggaruk kepala. Sepertinya sore-sore dikerjain orang iseng. Aku saja tak pernah ikut-ikutan undian dan semacamnya, eh tiba-tiba menang. “Mbak gak usah bercanda! Saya gak pernah ikutan undian-undian kayak gitu! Mbak salah orang mungkin!” elakku. “Ahm, maaf, Mbak Jingga. Kami tidak sedang bercanda. Apakah alamatnya masih sama seperti yang tertera di data kami?” Dia pun menyebutkan alama
“Maaf, Mas. Saya beneran gak paham. Saya gak pernah ikut undian!” Aku menatap lelaki itu. Bukan tak senang, tapi siapa juga yang tak takut. Tiba-tiba orang ngirim sepeda motor ke rumah. Kemarin iseng saja padahal kuberi alamat biar panggilan cepat selesai. Itu pun kukasih alamatnya tidak lengkap. Harusnya berhenti di perempatan saja. “Waduh, Mbak! Kalau itu, coba telepon saja ke kantor. Saya tugasnya cuma nganter.” Petugas dealer itu tampak kebingungan. “Lagian, Mas. Saya kan ngasih alamatnya gak lengkap. Kok bisa ketemu, sih?” telisikku heran. “Tadi kami pun nyasar. Telepon ke nomor Mbaknya gak diangkat. Tapi tadi nanya orang yang punya rumahnya deket perempatan, jadi ngasih tahu ke rumah ini.” Dia menjelaskan. Aku bergeming. Bingung. Kugaruk kepala yang terbungkus kerudung segi empat ini. Tiba-tiba kurasa seseorang berdiri di sampingku. “Butuh tanda tangan di mana, Mas?” Suara Pak Banyu terdengar. “Di sini, Pak!” tukasnya sopan.Tanpa babibu, Pak Banyu maen tanda tangan saja.
Aku terduduk sambil menatap dua buah sepeda motor yang kini memenuhi ruang tengahku. Satu sepeda motorku, satu lagi yang baru. Pak Banyu tak menjelaskan apapun. Tadi sehabis membeli jam tangan langsung membeli satu set perhiasan dan juga cincin. Bukan buat aku. Untung tadi tak sok-sokan menolak. Satu set perhiasan itu dibawanya pulang, katanya pesanan Bu Fera. “Bu, tadi Pak Banyu bilangnya apa?” Aku menoleh pada Ibu yang baru saja keluar dari kamar. Ruang tengah ini masih menyisakkan tempat duduk, hanya makin sempit saja. “Gak bilang apa-apa. Cuma bilang ini motor kamu.” Aku menghela napas kasar. Dia tak juga mau menceritakan. Hanya sedikit candaan tentang mahar yang membuatku menerka, jika sepeda motor itu darinya. Sepulangnya dari test drive tadi. Aku ke dalam untuk membuatkannya minum. Sudah perjalanan jauh, takutnya haus. Namun, pas keluar, dia sudah pulang. “Orang aneh.”Aku menggeleng kepala. Entah, apa yang ada dalam benaknya Pak Banyu. Suka-suka datang, suka-suka pergi. Ng
“Kalau begitu … silakan Bu Vamela pulang saja. Bukan saya ngusir, ya, maaf-maaf. Hanya saja … rasanya Bu Vamela yang luar biasa ini, tak pantas berada di pernikahan yang serba biasa.” Ibu terdengar tegas.“Maaf, Bu Nilam. Saya masih harus di sini sampai akad selesai. Setidaknya saya yakin, kalau Bu Nilam tak mengada-ada.” “Baiklah, silakan saja … tapi maaf jika jamuan kami tak memuaskan.” Ibu terdengar tenang dan tak terlihat terintimidasi. Aku memutar tubuh sebelum Ibu melihatku. Sengaja tak mau menunjukkan wajahku di depan Tante Vamela. Kasihan, takut dia tertular oleh kehidupanku yang serba biasa.Imelda masih di tempatnya ketika aku kembali. Aku duduk pada kursi yang tersedia, tak mungkin duduk lesehan karena kebaya yang aku kenakan. “Selfie dulu, yuk, Bestieku!” Imelda bangun. Tanpa babibu, dia langsung mendekat dan mengarahkan kamera ke arah kami.“Jangan posting dulu di SW, ya! Dari sekolah gak ada yang diundang soalnya. Gak enak.” Aku bicara padanya. “Aish, iya, lupa. Yahhh
Keramaian yang terjadi hanyalah sampai sore. Usai Pak Panghulu pergi dan tim MUA selesai mencobot semua riasanku. Para tetangga yang tak banyak itu pun berangsur pulang. Setelah itu, aku sibuk membantu Ibu membereskan sisa semua kekacauan hari ini. Piring, gelas dan semua panci kotor yang berserakan sibuk kami bereskan. Imelda, sudah sejak sore pulang. Mana mau dia membantu urusan seperti ini. Tangannya terlalu berharga untuk berkenalan dengan sabun pencuci piring.Bu Fera pun sudah pulang bersama Aluna dan rombongan. Meski tadi ada sedikit drama, Aluna mau di sini bareng Papanya. Namun Bu Fera membisiki entah apa, hingga Aluna bersemangat pulang. Kini hanya tertinggal satu lelaki asing di sini yang semenjak akad nikah tadi, lebih banyak diam. Mungkinkah dia menyesal? Entahlah … aku tak bisa menebak isi hatinya.“Jingga, sudah … ini biar Ibu saja. Kamu temani suami kamu.” Ibu bicara sambil menata piring-piring yang sudah bersih pada rak piring. Hanya untuk ditiriskan seaat pastinya.