Share

Luka dalam Pernikahan
Luka dalam Pernikahan
Penulis: Laviona

Ocha Keguguran

“Aduuuh… perutku…. sakiit…” keluh Ocha lirih. Spontan ia mencengkram bagian depan kemejanya karena perutnya mendadak nyeri.

Ini bukan sakit perut biasa. Perutnya seperti kejang hebat dan diremat-remat. Rasanya seratus kali lebih sakit daripada nyeri bulanan yang sering Ocha rasakan.

Aku nggak boleh sakit sekarang. Aku nggak boleh sakit sekarang, kata Ocha berulang-ulang dalam hati, seperti mengucapkan mantra sakti supaya rasa sakitnya langsung hilang.

Ocha tidak ingin pekerjaannya berantakan. Dia sedang berada di ballroom hotel bintang lima. Restoran miiknya mendapat kesempatan emas, melayani catering di acara pertemuan Prakasa Group. Jaringan bisnis milik pengusaha muda dan sukses bernama Indra Prakasa.

“Are you ok, Cha?” tanya Indra yang berdiri di samping Ocha.

Ocha dan Indra sedang membicarakan rencana acara group Perkasa selanjutnya. Sudah setahun ini perusahaan Indra selalu menggunakan layanan catering dari restoran Ocha.

“Nggak pa-pa, Pak Indra. Saya baik-baik saja. Cuma sedikit sakit perut. Sebentar juga hilang,” jawab Ocha sambil meringis menahan sakit. Jelas Indra tidak peecaya.

“Kita ngobrol sambil duduk saja ya. Biar lebih santai.” Tangan Indra terulur siap memberi bantuan. Ia membimbing Ocha menuju beberapa kursi yang terletak sekitar dua meter di belakang mereka.

Indra mengerti, wanita sering bersikap keras kepala dan berusaha terlihat kuat, bahkan dalam kondisi kurang sehat, seperti Ocha saat ini.

Merasa tidak mampu lagi menahan rasa nyerinya, Ocha menerima tawaran Indra untuk duduk. Siapa tahu dengan begitu sakit perutnya bisa sedikit berkurang.

“Hati-hati, Cha…. Jalan pelan-pelan saja. Biar aku bantu.” Lengan kukuh Indra merengkuh pundak dan pinggang Ocha.

Saat membantu Ocha melangkah ke kursi, aroma lembut parfum Ocha membelai hidung Indra. Mengingatkannya pada wewangian yang sering dipakai almarhumah istrinya.

Rasa nyeri telah menghapus perasaan canggung Ocha. Ia membiarkan Indra menuntunnya. Ocha bahkan berpegangan erat pada lengan Indra.

Masa bodoh orang berprasangka buruk, melihat Ocha, yang sudah bersuami, membiarkan dirinya dipeluk pria lain. Apa boleh buat. Daripada Ocha jatuh tergeletak di lantai. Jauh lebih memalukan.

“P-pak I-indra… Ini… saya kenapa?” terbata Ocha bicara. Dia ketakutan setengah mati saat menengok ke bawah. Di sana di sela kakinya mengalir cairan merah. Sampai roknya yang berwarna coklat susu ternoda merah. Cairan itu terus mengucur sampai sepatu Ocha juga basah.

“Astaga, Ocha! Kamu perdarahan?!” Indra berusaha meredakan gelombang panik yang menyerbu kepalanya. Sebagai seorang duda dengan dua orang anak, Indra bisa menduga apa yang terjadi. Ocha keguguran.

“S-saya nggak tahu, Pak. Kok bisa?” Ocha bingung. Memandang cairan merah itu membuat otaknya macet. Menolak untuk berpikir. Ocha harus berusaha keras memaksa benaknya bekerja.

“Kita ke rumah sakit aja sekarang.” Cepat Indra mengambil keputusan. Ia khawatir melihat kondisi Ocha. Wajah dan bibirnya sudah seputih kertas.

“N-nggak bisa, Pak. Saya h-harus mengawasi karyawan saya.. A-acara makan belum mulai. Jangan sampai berantakan. Saya nggak mau mengecewakan Bapak.” Bahkan saat bicara, beberapa kali Ocha mengernyit, berusaha menutupi rasa sakitnya.

“Ocha, sempat-sempatnya kamu mikirin kerjaan dalam kondisi begini. Kesehatan kamu itu lebih penting. Lihat kamu sudah pendarahan kayak gitu. Saya nggak mau kamu kenapa-kenapa di acara ini.”

“Tapi, Pak. Aduuuh….” Percuma Ocha berusaha membantah. Ia sudah tidak bisa lagi menahan sakit. Ia nyaris ambruk ke lantai, kalau saja Indra tidak menahannya.

“Sudah, Biar anak buah saya membantu mengawasi catering kamu. Tinggalkan saja acara ini. Kita ke rumah sakit sekarang. Sopir saya sudah menunggu di lobby.” Indra langsung memutuskan, mengabaikan keberatan Ocha.

Ada sesuatu dalam nada suara Indra yang tidak bisa dibantah. Ocha menelan saliva. Terpaksa ia mengangguk.

“Aduuuh sakiiit….” Satu keluhan lagi terlepas dari bibir Ocha. Ia membungkuk sambil menekan perutnya. Dan cairan merah itu makin deras mengalir.

Saat Indra menuntun Ocha ke lobby, kaki Ocha sudah selemas agar-agar. Indra sampai harus memapahnya masuk ke mobil.

“Ngebut, Pri. Ke rumah sakit.” Perintah Indra pada sopirnya.

“Pak, Indra… Saya mau telepon dulu ya, Pak…” Masih sambil meringis menahan sakit, Ocha meminta izin. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran mobil lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.

“Yas, kamu… bisa ke Hotel tempat acara Prakasa Group sekarang?” Ocha menghubungi Yasmin, sahabat sekalgus rekan kerjanya dalam mengelola restoran.

Tadinya Ocha dan Yasmin berencana bagi-bagi tugas. Ocha mengawasi catering di luar, sementara Yasmin mengatur operasional di restoran.

“Bisa. Memangnya kamu kenapa, Cha?” Yasmin di seberang sambungan telepon langsung bisa menduga ada yang tidak beres. Suara Ocha yang biasanya cerah ceria kini terdengar merintih.

“Aku sakit perut, Yas. Kamu bisa gantiin aku standby di ballroom hotel ‘kan?” Cuma itu yang Ocha katakan, agar Yasmin tidak cemas.

Ocha lega karena Yasmin langsung menyanggupi menggantikannya. Tinggal satu orang lagi yang harus diteleponnya.

Jari Ocha bergerak pelan di atas layar ponselnya. Pandangannya mulai kabur. Ia menekan nomor Arka, suaminya. Tapi usahanya gagal. Hingga dering terakhir ponselnya, Arka tidak juga menjawab telepon Ocha.

“Aduh lagi ngapain sih dia?! Sampai nggak bisa angkat telepon. Nggak tahu ya kondisi istrinya sedang emergency kayak gini?!”

“Siapa yang nggak bisa dihubungi? Suami kamu?”

Ocha kaget mendengar pertanyaan Indra.. “Oh maaf, Pak. Aduh… omelan saya terdengar ya? Perasaan saya ngomel dalam hati.” Ocha jadi takut jangan-jangan dia sedang halusinasi. Maksud hati bicara dalam batin, malah terdengar oleh sang bos. Ocha menggeleng malu, di tengah deraan rasa sakit dan pusing.

“Mungkin suami kamu sedang sibuk. Kamu tulis aja pesan di wa, minta dia telepon begitu membaca lihat pesan kamu.” Indra memberi usulan, supaya Ocha tetap tenang.

Ocha menuruti pesan Indra. Jemarinya sudah gemetar saat menekan tombol-tombol huruf di layar ponselnya. Pandangannya semakin kabur. Kepalanya berdenyut kencang.

“Cha… Cha…” Indra menepuk-nepuk pipi Ocha. Makin panik karena Ocha kehilangan kesadaran.

***

Dua orang perawat dan seorang dokter sudah menunggu kedatangan kendaraan Indra di depan pintu ruang Instalasi Gawat Darurat.

Sigap mereka memindahkan Ocha, yang masih tidak sadar, dari dalam mobil ke atas tempat tidur beroda.

“Rosa ini teman saya. Rawat dan obati dia sebaik-baiknya.” Tegas pesan Indra. pada para tenaga kesehatan yang menerima Ocha.

“Baik, Pak!” Kompak, dokter dan perawat itu menjawab. lalu mereke bergegas mendorong brankar ke dalam ruang IGD.

Indra membawa Ocha ke rumah sakit miliknya agar mendapat perawatan terbaik. Dia tidak mau kejadian ini merusak nama baik perusahaannya.

Bayangkan saja betapa buruknya nama Group Perkasa, bila muncul berita di berbagai media online dan offline dengan judul: Seorang Wanita Keguguran di Pesta Gathering Group Perkasa.

Bisa saja Indra langsung pergi setelah mengantar Ocha ke rumah sakit. Toh bisa dibilang kewajibannya untuk menolong sudah selesai. Tapi ada sesuatu di sudut hati Indra yang memyuruhnya untuk menunggu, paling tidak sampai keluarga Ocha datang.

Hampir satu jam Indra mondar-mandir di depan pintu ruangan tempat Ocha sedang dirawat. Seperti dejavu, Indra teringat kembali pada saat-saat ia kehilangan istrinya tercinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status