“Ibu enggak salat?” tanyaku.
“Oh iya, Ibu lupa.”
“Ya sudah salat dulu!”
“Nanti saja sudah terlanjur juga, lihat! Sudah jam 5.” Begitulah Ibu setiap kali diminta ibadah alasannya banyak. Aku menatap lembut, tanpa bicara apa pun. Berharap dia mengerti dan mau menunaikan kewajibannya segera.
“Ibu juga belum mandi, kotor, bau masa salat enggak mandi.”
“Enggak mandi juga boleh, kalau waktunya sudah mepet Bu.”
“Enggak ah, mana bisa begitu, enggak sah salatnya.”
“Bu ….”
“Nanti Ibu salat magrib Lang, sudah ya, Ibu mau ke kamar dulu.”
“Mia, kamu salat sana!”
“Aku mau ke kamar dulu, Bang!”
“Mi kamu sudah gede loh, masa salat saja harus diingatkan terus.”
“Mia nanti salat di kamar saja.”
“Bener ya?” Mia mengangguk, lalu setengah berlari menuju kamarnya dan entah dia salat atau tidak karena kuperhatikan dia tak keluar kamar lagi. Hanya kamar Mia yang tak punya kamar mandi, jadi bisa kupastikan dia tak salat kali ini. Sedih jika memikirkan keluargaku, mereka jauh dari agama, ditambah lagi Dilra yang malah meminjam uang ke bank keliling susah sekali menasihati mereka. Aroma masakan tercium sampai ke ruang tamu, rupanya Dilra telah selesai masak, dia menyusun makanannya di meja. Azan magrib tinggal beberapa menit lagi, Ibu dan Mia baru keluar.
“Enggak mandi dulu, Mi?”
“Ah nanti saja Bang,” jawabnya dengan wajah malas.
“Tadi enggak salat?” tanyaku. Jujur saja aku sedikit kesal. Seumuran Mia seharusnya sudah mengerti tentang kewajibannya. Dia bukan lagi anak kecil yang harus selalu diingatkan.
“Hehehe.” Begitulah Mia, bukannya merasa bersalah, dia malah tertawa tanpa dosa. Kami semua berkumpul dalam satu meja, saat Azan berkumandang Dilra masih saja sibuk mengangkat gorengan yang masih tersisa di wajan.
“Sudah Dil buka dulu.” Dila hanya menengok, tapi kulihat dia meminum segelas air putih setelahnya.
“Sudah biar saja, nanti juga makan sendiri," sahut Ibu. Benar juga, tak lama Dilra duduk bergabung dengan kami. Dia dengan cepat mengambil nasi dan lauk pauknya baru saja akan menyuap ibu malah mengajaknya bicara.
“Ambil Dion dulu Dil, masa anakmu udah masuk magrib ditinggal sendirian.”
“Iya, Bu,” sahutnya. Dilra langsung pergi mengabaikan nasi dan lauk pauk yang hampir masuk ke mulutnya, tak lama dia datang dengan Dion. Ditariknya keranjang goyang bayi ke dekat meja makan. Ketika Dilra baru duduk Ibu malah meminta untuk mengangkat bayinya. Katanya bayi enggak boleh ditinggal pas magrib, harus digendong. Dilra menurut lagi dia menggendong Dion, kebetulan saat itu Dion juga menangis, jadi kali ini niat istriku makan urung lagi.
“Biar Mas saja.” Raut wajah Dilra yang merengut, seakan kembali bersinar tapi seketika langsung padam.
“Sudah kamu kan habis kerja, makan saja, biarkan sama Ibunya diberi ASI bentar juga diam.” Saat itu Dilra memilih pergi menjauh dari kami, dia berjalan ke arah belakang.
“Mau ke mana, sudah enggak usah di susul.”
“Mau salat Bu.” Sebenarnya aku berbohong, tak tega melihat Dilra yang pasti sama laparnya. Sedikit mengendap-endap aku mengikuti Dilra. Dia masuk ke area dapur kotor, menuangkan nasi dari penanak nasi otomatis, lalu sisa sayur di wajan. Aku bisa melihat kalau dia hanya makan dengan kuah, tak ada potongan sayuran sama sekali.
“Mau makan saja ribet!” gerutunya pelan. Aku menyunggingkan bibir karenanya. Di depan Ibu dia tak banyak protes tapi di belakang malah menggerutu. Sekarang dengan Dion dalam gendongannya. Dia tampak melafalkan doa buka puasa, lalu sejenak menatap wajah Dion, tampak senyum melengkung di bibirnya. Setelahnya Dilra langsung makan dengan lahap. Meski dengan hanya kuah sayur sisa, dengan posisi duduk di lantai dapur tanpa alas sembari menggendong Dion. Sesekali Dion menangis, tapi dia cepat menenangkannya dengan Asi. Setelah itu Dilra kembali makan, tapi entah kenapa dia tiba-tiba mengunyah dengan sedikit pelan. Tidak lagi buru-buru seperti awalnya. Bisa kulihat dari sini air matanya tiba-tiba saja keluar. Pandangan Dilra masih lurus ke depan. Semakin lama dia melambatkan kunyahannya dan akhirnya berhenti, dia tak lagi mengunyah juga tak menyuapkan nasi lagi.Piring itu malah digeletakkan ke lantai dengan kasar, setelahnya malah didorong ke depan juga, hingga setelahnya isi dalam nasi itu jadi berantakan, lantas menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kali ini, runtuh sudah pertahanannya, dia menangis tergugu, meski tanpa suara.
“Mending takut istri dari pada bini gue seteres!"
Seketika kalimat yang diucapkan Ardi tadi siang tiba-tiba saja terlintas. Kali ini aku baru paham. Sakit sekali membayangkan kalau itu jadi nyata. Melihatmu terpuruk saja sudah seperih ini. Aku benar-benar gagal menjadi ayah dan suami untuk kalian. Kuhapus air mataku, lalu segera melangkah mendekati istriku.
“Dil.” Kuusap pelan rambut Dilra. Bisa kurasakan dia menghentikan isaknya, tapi tetap tertunduk tak mau menoleh, bayi Dion sudah tertidur lagi.
“Biar Mas yang gendong Dion.”
“PERGI!” aku terperanjat, hampir saja melompat. Begitupun Dion yang menangis menjerit. Dia juga sama terkejutnya denganku. Apa Dilra tak sadar. Dia berteriak tiba-tiba dengan sangat kencang. Sayang kamu baik-baik saja ‘kan? yang diucapkan Ardi, semua tidak benar, Enggak akan terjadi ‘kan?
"Mau apa?” ketusnya.
“Mas cuma mau ambil Dion.”
“Enggak usah!”
“Dek sayang, Mas gendong Dion biar kamu bisa makan ya?” Dia tak menjawab tak juga berinisiatif memindahkan bayinya padaku, hanya menatap lekat tanpa satu patah kata pun terucap. Sejenak kami terdiam, sorot matanya pilu seperti ada kecewa yang teramat sangat di sana.
“Loh kalian sedang apa di sini? Kok ini piringnya berantakan.” Suara Ibu tiba-tiba terdengar, merusak suasana saja. Dilra tampak menghembuskan nafasnya pelan, terlihat sekali dia berupaya menetralkan semua sakit yang mendera. Ekspresinya berubah dalam sekejap, tak ada lagi raut sendu, berganti senyum palsu yang kini menghiasi wajahnya.
“Oh ini tadi tumpah, nanti biar Dilra beresin,” katanya tenang.
“Ini biar Dilra saja yang cuci, sekalian sama yang berantakan,” tambahnya lagi. Aku masih diam memperhatikan perubahan sikap Dilra yang drastis.
“Kamu kenapa sih Lang, kok bengong kayak orang bingung?” Sejenak kucuri pandang dengan Dilra, rupanya dia juga tengah menatapku.
“Enggak apa-apa, Ibu salat saja sana, katanya mau magrib.”
“Eh Ibu ... ya sudah Ibu salat magrib dulu.” Ibu terlihat tak nyaman, aku tahu dia pasti tak akan salat lagi, tapi kali ini urusanku dengan Dilra perlu diselesaikan dengan segera. Dilra masih menyusui Dion sambil menimangnya. Sedang aku memutuskan mencari sapu, membersihkan bekas nasi Dilra yang berantakan. Melihatku menyapu lantai, perempuan itu hanya menatap datar, tanpa ekspresi seperti biasanya, sempat melirikku sekilas tapi setelahnya malah acuh. Jangankan ucapkan terima kasih sih, sekedar peduli pun dia tidak mau. Apakah sudah sekeras itu hatimu Dil.
“Aku mau tidurkan Dion, biar aku yang cuci piring! Kamu jangan cari perkara pakai cuci segala, aku sudah capek Mas, jangan bikin aku jadi bahan gosip orang sekampung! Terima kasih sudah membantu tapi lain kali enggak usah,” katanya seraya berjalan meninggalkanku sendiri di dapur. Sungguh bagaimana bisa dia bicara seperti itu padaku, kenapa menghadapi wanita serumit ini, aku hanya berniat membantunya dan dia malah takut jadi bahan gosip sekampung, apa maksudnya. Sudahlah toh tidak tiap hari. Aku putuskan untuk mengerjakan semuanya, mencuci piring bukan perkerjaan yang sulit juga.“Kamu kenapa cuci piring sih, Lang? Istrimu itu ke mana, apa saja yang dia lakukan dari tadi, sampai piring bekas makannya dicucikan kamu?”“Ya sudah sih Bu, enggak tiap hari ini. Dion juga tadi rewel, kasihan Dilra belum makan juga dari tadi.”“Itu nasi di piring bekas siapa?”“Tadinya mau di makan tapi malah tumpah soalnya Di
“Mau kutemani?” tanyanya.“Enggak usah, kalau kamu enggak ikhlas.”“Ikhlas itu soal hati, tahu apa Mas soal itu, ayo pergi minta maaf.”“Kamu bilang, Ibu menghinamu lalu sekarang mau minta maaf, apa namanya kalau bukan munafik Dil?” Dilra malah tertawa, dia terus tertawa sampai aku yang melihatnya merasa ketakutan sendiri. Dan kau tahu apa yang selanjutnya terjadi, dia terus tertawa hingga tanpa sadar air mata telah mengalir membasahi pipinya.“Dil, kamu baik-baik saja kan?”“Ya,” tawanya langsung berhenti, begitu saja, sontak membuat jantungku seperti berhenti berdetak.“Ayo minta maaf,” ajaknya lagi, kali ini Dilra mengusap pelan jejak basah bekas linangan air matanya, tangannya langsung melingkar di lenganku, menariku keluar kamar, hingga mendekat ke arah tangga, kami berhenti, itu pun karena aku menahannya.“Dil gak usah, cukup! Biar Mas aja yang minta maaf.” Perlahan Dilra melepas lingkaran tangannya.Matanya kembali berembun, kau tahu apa yang pal
Hari berlalu, aku pergi ke kantor seperti biasanya, sayangnya kelakuan Ardi hari ini sungguh membuatku jengkel. Dia berisik sekali terus menelepon karyawan yang berjaga di depan sampai mendekati jam pulang. Dia masih saja menelepon, tampak gelisah sekali.“Apa sih, Di. Berisik tahu, anak orang lu suruh bulak-balik naik turun dari pagi sampai sore, nunggu apa?”“Bini gue ulang tahun, Ini masalahnya udah pesan kue, sampai sekarang belum sampai juga, padahal sudah sore, kan panik gue.”“Lagian kenapa pesan di situ, toko roti juga banyak. Itu depan sana enggak lihat?” Aku menunjuk pada bangunan toko roti yang berada tak jauh dari kami. Ruangan ini berada di lantai tiga jadi cukup berdiri saja, semua bangunan di sekitar sudah pasti terlihat.“Ini kuenya beda, pas di belah keluar duitnya."“Lagian lu kenapa pesan kue macam itu?”“Yang penting bini gue seneng. Pasti nanti dia enggak nyangka dalemnya
“Mas ambilkan makan, ya?” “Aku belum masak.” “Ya sudah kita makan di luar.” Dia menggeleng. “Kenapa? Enggak baik menunda buat buka puasa.” “Mas saja yang makan di luar aku buka di rumah.” “Katanya enggak masak, mau makan apa?” “Mie instan banyak di dapur, aku bisa makan itu.” “Sayang, dengar, mie instan enggak baik buat kesehatan apalagi buat Ibu menyusui, butuh banyak nutrisi.” Dilra menggeleng lagi. “Kenapa? Biar aku di rumah saja.” “Ya sudah kita order go food saja bagaimana?” “Buat Mas saja, aku enggak usah.” “Mana bisa begitu sayang, sudah kalau enggak mau biar Mas pesankan sekarang. Kita batalkan dulu puasanya, Mas ambilkan minum sebentar ya.” “Terima kasih, Mas.” Kuusap rambutnya pelan, lalu pergi ke bawah mengambil air. Aku berpikir dia akan menunggu di ranjang sampai aku datang lagi dengan air, nyatanya Dilra malah memunguti barang-barang yang bercecer
“Dil, jangan pergi, jangan pergi Mas mohon.” “Mau apa lagi aku di sini Mas, sudah cukup kalau enggak ada kepercayaan di antara kita untuk apa hidup bersama. Kamu hanya percaya Ibumu, aku ini istri, Mas pikir aku suka diperlakukan begini, enggak!” “Lalu kenapa kamu diam saja selama ini?” “Demi anak, aku ingin anak dari kamu. Setelah ini aku tak peduli lagi, hidup saja bersama Ibumu, aku muak!” Koper itu sengaja dia banting ke bawah, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras, kemudian dengan cepat membawa Dion dalam gendongannya. “Dil Mas mohon jangan pergi, oke kamu butuh uang ini semuanya pegang semuanya Dil, mulai sekarang biar semuanya kamu yang atur.” Kuserahkan dompet pada Dilra. Sudahlah aku tak peduli lagi dengan uang. Untuk apa aku punya banyak uang kalau harus kehilangan istri. Rasanya aku tak akan sanggup. Apalagi Dion, bayi yang sudah kunantikan sejak lama, bagaimana bisa dia bawa pergi. “Lepas!” Dilra menepis. Ibu keluar dari ka
"Di depan Mas ke sana saja.” Kutinggalkan mobil di jalanan,mengabaikan bunyi klakson yang terus saja bersahutan.“Dilra!”Ya Tuhan, Dil. Perempuan itu melompat saat jarakku dengannya hanya tinggal beberapa meter lagi. Allahu akbar, bayinya pun ikut terjun bersamanya. Lututku mendadak lemas, lalu luruh ke aspal begitu saja. Orang-orang berkerumun, sedang di bawah … aku tak sanggup menyaksikannya.“Bang bangun dulu, Bang.” Seseorang menepuk pundakku ada yang mencoba menguatkan. Sebagian lagi malah berbisik dengan nada cemooh. Di dunia ini memang selalu punya dua sisi. Aku tak bisa seperti ini. Aku berniat turun ke bawah, meski melewati rerumputan dan tebing terjal. Bagaimana bisa kubiarkan jasad Dilra dan Dion tergeletak di bawah jalan tol. Orang-orang itu sudah melarangku, katanya bahaya. Andai saja kalian di posisik. Apa kalian akan berpikir dua kali untuk tidak turun. Seseorang telah menutup jenazah Dilra dengan daun. Banyak
“Kalian semua jahat sama aku, kalian pembunuh. Kembalikan dua anakku, kembalikan hiks hiks hiks,” teriak Dilra lagi. Kali ini dia malah menangis, setelah tadi suaranya naik beberapa oktaf.“Kalian pembunuh!” Dilra menangis sembari memukul pundakku, dengan keras. Aku memeluknya erat tapi Dilra malah meronta, minta dilepaskan, terus saja berteriak. Aku menutup mulutnya dengan telapak tangan, agar dia berhenti melakukan itu.“Dia membunuh anakku Mas. Anakku mati. Dinda dan Aira, maafkan Bunda Sayang. Seharusnya kalian ada di sini, di sisi Bunda.” Dilra menenggelamkan kepalanya di dadaku. Bagaimana bisa dia menyalahkan Ibu atas kematian anakku. Apa benar ini semua salah Ibu. Aku terus memeluk mengusap punggung yang masih berguncang karena isaknya. Sesekali mengecup keningnya demi bisa melepas sesak, yang kian merasuk ke dalam dada. Pintu rumah kami diketuk dari luar, teriakan Dilra pasti mengundang penasaran orang rumah. Gegas kubuka pin
“Sabar Dil, Mas tahu ini berat. Kamu harus kuat ya.”“Bayiku enggak ada Mas, sudah enggak ada,” katanya sambil terus terisak. Dilra semakin terpuruk. Hampir seminggu aku tak berangkat ke kantor karena harus menemani Dilra. Kondisinya benar-benar lemah waktu itu. Dia sering tidak sadarkan diri saat mengingat bayinya, masalahnya Dilra juga menolak diurus oleh Ibuku. Bahkan berada dalam satu ruangan dalam waktu yang cukup lama, kesehatan Dilra bisa langsung menurun.“Dek kan Mas harus kerja, Adek sama Ibu ya. Mas sudah bilang biar jaga kamu.”“Aku enggak mau merepotkan orang lain. Aku mau pulang saja. Kalau mau kerja silakan, tapi antar aku pulang dulu, Ibu itu suka menjelekkan aku ke tetangga sini,” katanya sambil sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Sejak kehilangan anaknya kurasa Dilra jadi sering waspada berlebihan.“Ya sudah, nanti Mas bilang lagi sama Ibu biar enggak menjelekkan kamu