“Mas ambilkan makan, ya?”
“Aku belum masak.”
“Ya sudah kita makan di luar.” Dia menggeleng.
“Kenapa? Enggak baik menunda buat buka puasa.”
“Mas saja yang makan di luar aku buka di rumah.”
“Katanya enggak masak, mau makan apa?”
“Mie instan banyak di dapur, aku bisa makan itu.”
“Sayang, dengar, mie instan enggak baik buat kesehatan apalagi buat Ibu menyusui, butuh banyak nutrisi.” Dilra menggeleng lagi.
“Kenapa? Biar aku di rumah saja.”
“Ya sudah kita order go food saja bagaimana?”
“Buat Mas saja, aku enggak usah.”
“Mana bisa begitu sayang, sudah kalau enggak mau biar Mas pesankan sekarang. Kita batalkan dulu puasanya, Mas ambilkan minum sebentar ya.”
“Terima kasih, Mas.” Kuusap rambutnya pelan, lalu pergi ke bawah mengambil air. Aku berpikir dia akan menunggu di ranjang sampai aku datang lagi dengan air, nyatanya Dilra malah memunguti barang-barang yang bercecer
“Dil, jangan pergi, jangan pergi Mas mohon.” “Mau apa lagi aku di sini Mas, sudah cukup kalau enggak ada kepercayaan di antara kita untuk apa hidup bersama. Kamu hanya percaya Ibumu, aku ini istri, Mas pikir aku suka diperlakukan begini, enggak!” “Lalu kenapa kamu diam saja selama ini?” “Demi anak, aku ingin anak dari kamu. Setelah ini aku tak peduli lagi, hidup saja bersama Ibumu, aku muak!” Koper itu sengaja dia banting ke bawah, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras, kemudian dengan cepat membawa Dion dalam gendongannya. “Dil Mas mohon jangan pergi, oke kamu butuh uang ini semuanya pegang semuanya Dil, mulai sekarang biar semuanya kamu yang atur.” Kuserahkan dompet pada Dilra. Sudahlah aku tak peduli lagi dengan uang. Untuk apa aku punya banyak uang kalau harus kehilangan istri. Rasanya aku tak akan sanggup. Apalagi Dion, bayi yang sudah kunantikan sejak lama, bagaimana bisa dia bawa pergi. “Lepas!” Dilra menepis. Ibu keluar dari ka
"Di depan Mas ke sana saja.” Kutinggalkan mobil di jalanan,mengabaikan bunyi klakson yang terus saja bersahutan.“Dilra!”Ya Tuhan, Dil. Perempuan itu melompat saat jarakku dengannya hanya tinggal beberapa meter lagi. Allahu akbar, bayinya pun ikut terjun bersamanya. Lututku mendadak lemas, lalu luruh ke aspal begitu saja. Orang-orang berkerumun, sedang di bawah … aku tak sanggup menyaksikannya.“Bang bangun dulu, Bang.” Seseorang menepuk pundakku ada yang mencoba menguatkan. Sebagian lagi malah berbisik dengan nada cemooh. Di dunia ini memang selalu punya dua sisi. Aku tak bisa seperti ini. Aku berniat turun ke bawah, meski melewati rerumputan dan tebing terjal. Bagaimana bisa kubiarkan jasad Dilra dan Dion tergeletak di bawah jalan tol. Orang-orang itu sudah melarangku, katanya bahaya. Andai saja kalian di posisik. Apa kalian akan berpikir dua kali untuk tidak turun. Seseorang telah menutup jenazah Dilra dengan daun. Banyak
“Kalian semua jahat sama aku, kalian pembunuh. Kembalikan dua anakku, kembalikan hiks hiks hiks,” teriak Dilra lagi. Kali ini dia malah menangis, setelah tadi suaranya naik beberapa oktaf.“Kalian pembunuh!” Dilra menangis sembari memukul pundakku, dengan keras. Aku memeluknya erat tapi Dilra malah meronta, minta dilepaskan, terus saja berteriak. Aku menutup mulutnya dengan telapak tangan, agar dia berhenti melakukan itu.“Dia membunuh anakku Mas. Anakku mati. Dinda dan Aira, maafkan Bunda Sayang. Seharusnya kalian ada di sini, di sisi Bunda.” Dilra menenggelamkan kepalanya di dadaku. Bagaimana bisa dia menyalahkan Ibu atas kematian anakku. Apa benar ini semua salah Ibu. Aku terus memeluk mengusap punggung yang masih berguncang karena isaknya. Sesekali mengecup keningnya demi bisa melepas sesak, yang kian merasuk ke dalam dada. Pintu rumah kami diketuk dari luar, teriakan Dilra pasti mengundang penasaran orang rumah. Gegas kubuka pin
“Sabar Dil, Mas tahu ini berat. Kamu harus kuat ya.”“Bayiku enggak ada Mas, sudah enggak ada,” katanya sambil terus terisak. Dilra semakin terpuruk. Hampir seminggu aku tak berangkat ke kantor karena harus menemani Dilra. Kondisinya benar-benar lemah waktu itu. Dia sering tidak sadarkan diri saat mengingat bayinya, masalahnya Dilra juga menolak diurus oleh Ibuku. Bahkan berada dalam satu ruangan dalam waktu yang cukup lama, kesehatan Dilra bisa langsung menurun.“Dek kan Mas harus kerja, Adek sama Ibu ya. Mas sudah bilang biar jaga kamu.”“Aku enggak mau merepotkan orang lain. Aku mau pulang saja. Kalau mau kerja silakan, tapi antar aku pulang dulu, Ibu itu suka menjelekkan aku ke tetangga sini,” katanya sambil sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Sejak kehilangan anaknya kurasa Dilra jadi sering waspada berlebihan.“Ya sudah, nanti Mas bilang lagi sama Ibu biar enggak menjelekkan kamu
“Enggak usah repot-repot Bu Rima, bagaimana sekarang, repot kan di tinggal anakku?” sindir Bapak. Ibu langsung menunduk, sedangkan Bapak malah menyunggingkan bibir atasnya. Selang beberapa detik beruntung ibu mertuaku menyenggol lengan suaminya, lantas Bapak langsung tersenyum, seolah penuh kepuasan.“Bercanda, Bu Rima.”“Oh iya,” jawab Ibu diiringi senyum paksanya. Suasana mendadak canggung, penuh dengan kepura-puraan. Bukan aku tak mau membela Ibu, entah sampai hari ini saja aku masih enggan mengajaknya bicara, aku takut kelepasan, hingga nanti kehilangan rasa hormat padanya.“Permisi ya, Bu Rima,” kata Bapak lagi dengan seringai di bibirnya. Mereka bersalaman, tapi jelas sekali di dalam hati mereka ada emosi yang menggebu.“Dil, ayo pulang, untuk apa di sini,” kata Bapak, yang sudah jalan lebih dulu. Laki-laki paruh baya itu menggenggam istrinya dengan penuh cinta, bisa kulihat sesekali gengga
“Enggak bisa Dil, aku mencintai kamu. Mana bisa begitu.”“Maka berjuanglah di pengadilan nanti.”“Jelas aku akan kalah. Aku yang begitu bodohnya mengabaikan hakmu bertahun-tahun bagaimana bisa aku akan mencegah perpisahan ini tanpa keikhlasan darimu.”“Ini ambil semuanya, aku enggak butuh ini Dil. Baru 3 hari enggak melihat kamu di rumah, hidupku kacau Dil, lalu bagaimana ke depannya harus hidup tanpa kamu,” ucapku seraya menyerahkan dompet ke tangannya.“Mas, hidup itu pilihan. Kamu memilih untuk hidup bersama Ibumu bukan, maka jalani saja pilihanmu. Mari berjalan masing-masing Mas, ini aku kembalikan dompetmu, permisi.”“Dil, tunggu.” Kuraih lengannya, lalu merengkuhnya, semakin erat. Dia tak menolak juga tak membalas pelukanku, dia hanya diam tak bergerak, bagai sebatang kayu.“Kamu masih mencintai Mas kan, kenapa malah memilih berpisah.”“Cin
“Astaghfirrullah.” Tanpa sadar aku malah mundur ke belakang, punggung jadi bersentuh langsung pada ujung meja kerjaku.“Loh Mas, Mas Enggak apa-apa?” tanya Farah.“Enggak apa-apa, saya baik-baik saja, Di kayaknya gue enggak bisa lanjut kerja lagi, gue ijin pulang dulu ya, sorry banget.”“Santai saja, gue tahu banget posisi lo,” kata Ardi.“Thanks ya.”~Sepanjang perjalanan macet di mana-mana, katanya di Masjid Raya dekat kota kami ada tausiah dari Ustad Kondang yang terkenal. Banyak jamaah yang datang memadati halaman masjid, kendaraan yang keluar masuk di sekitar Masjid membuat jalanan jadi padat merayap.“Ustaz, saya ingin menceritakan keluh kesah. Saya sudah menikah punya anak umur 5 bulan sehabis nikah saya tinggal dengan mertua. Saya tidak betah tinggal di tempat mertua, setelah melahirkan saya meminta pada suami untuk men
“Biarkan saja Bu,” kata Bapak.Aku masih terhenyak dengan emosi Bapak, yang tak biasa ini, tak bisa kubayangkan Ibu harus mendekam di penjara. “Kenapa kamu enggak terima Lang? anak saya dulu periang, sejak nikah sama kamu jadi begini, orang tua mana yang mau terima?”“Apa enggak bisa di bicarakan secara kekeluargaan Pak.”“Kamu takut? Ingat ya Galang, saya menitipkan Dilra ke kamu, untuk dibahagiakan, bukan dibuat menderita, lihat keadaannya sekarang, kalau tahu kelakuan kamu dan keluargamu begini, cih sudah kutolak kamu dari dulu.”“Sebaiknya kamu pergi saja ya Lang, kami butuh ketenangan di sini, kalau bisa enggak usahlah kembali lagi ke sini,” kata Ibu mertua.Belum juga mampu menenangkan Bapak, sekarang Ibu malah menyuruh pergi.“Saya akan bicarakan ini dengan Ibu saya, tapi kalau boleh apa enggak sebaiknya dibicarakan secara baik-baik dulu Pak.”“Bawa Ibumu ke sini, setelah 5 baru diputuskan mau di bawa ke ranah hukum atau enggak.”“Baik Pak, besok saya bawa Ibu ke sini, kalau gi