Share

Bab 3. Lancang

Part 3

Rindu yang sangat menyakitkan adalah merindukan orang yang sudah tiada. Karena kita tak bisa bertemu dengannya lagi, hanya bisa mengingatnya dalam secuil kenangan.

***

"Mbak, sebaiknya jangan terlalu percaya dengan keluarga suamimu," lirih sebuah suara yang seketika membuatku terhenyak.

Aku menoleh ke sumber suara, melihat seorang wanita muda tersenyum ke arahku. Aku bahkan tak mengenali dia siapa. Lupa, lebih tepatnya. Lima tahun berlalu, banyak sekali yang berubah.

Tapi, wanita muda itu berbaur akrab dengan mertua juga adik ipar. Lalu pulang bersama mereka mendahuluiku.

Ya, aku memang masih ingin di sini. Di makam putriku tercinta. Mencurahkan rasa rindu yang masih tertahan dalam dada. Aku terduduk memandangi pusara Adinda, penuh penyesalan.

"Mut, sudah yuk, mari kita pulang. Makam sudah sepi. Tinggal kita berdua saja," ujar Mas Herdy seraya menundaku berdiri.

"Kita lanjut doakan Adinda dari rumah," lanjutnya lagi.

Aku menoleh ke kanan dan kiri, memang tak ada orang lain lagi. Hanya tersisa suara gemerisik dedaunan. Cuaca cukup mendung sore ini.

"Ayo, Mut! Yang sudah pergi tak mungkin kembali. Kita doakan saja yang terbaik untuk Adinda."

"Aku tidak tahu kenapa Adinda bisa meninggal, Mas. Aku berhak tahu, apa sebabnya?"

"Adinda sakit, Mut. Nanti akan kuceritakan kalau hatimu sudah mulai tenang. Aku yakin kamu masih butuh waktu untuk menerima semua ini."

Mas Herdy menarik tanganku menjauh dari makam Adinda. Keluar dari area makam tetap menggandeng tanganku.

Aku menoleh bersamaan dengan dia menoleh ke arahku hingga tatapan kami bersirobok beberapa saat. Dia tersenyum sejenak.

"Lama gak ketemu, kamu jadi makin cantik saja, Mut," ujar Mas Herdy. Entah mengapa aku merasa dia sedang menggodaku.

Aku hanya diam tak menanggapi apapun darinya. Berjalan lebih cepat agar segera sampai di rumah.

Ibu mertua dan saudara-saudara yang lain masih berkumpul di ruang tengah. Termasuk wanita muda yang tadi di makam, ia tampak lengket dengan Fahira, adik iparku.

Saat ini sepertinya, mereka hendak mempersiapkan doa dan tahlil putriku ba'da isya nanti.

"Mut, kamu pulang kenapa gak ngabarin kami? Kalau ngabari kan salah satu bisa dijemput," ujar ibu mertuaku membuka percakapan.

"Sebenarnya aku ingin membuat kejutan pada kalian tapi justru aku yang dikejutkan oleh kematian Adinda."

"Ya sudah, kamu mandi dulu, Mut. Biar segar badanmu, habis itu kita makan sama-sama pasti kamu lapar kan?"

Aku mengangguk pelan menanggapi pertanyaan ibu mertua. Aku baru sadar kalau aku belum menyalami mereka semua karena keburu pingsan.

Sudah lama tak bertemu ibu mertua, sepertinya beliau berubah jadi baik. Tak seperti dulu saat kami masih menumpang di rumahnya. Aku selalu disindir dan dijelek-jelekkan juga sama ipar-ipar yang lain gegara ekonomi kami yang begitu sulit.

"Makanya jadi istri itu kerja, jangan bisanya cuma okang-okang kaki saja. Minta duit sama suami, udah gitu boros gak bisa atur keuangan. Gimana mau punya rumah sendiri!" sindir ibu mertua begitu pedas bak sambalado level 15.

"Numpang terus apa gak malu? Udah 4 tahun nikah loh, gitu-gitu aja. Harusnya bisa nabung dikit-dikit, jangan malah dibanyakin hutang!" timpal Mbak Tantri, kakak ipar pertama.

"Iya loh, kami ikut malu kalau ibu warung suka bilang ke kita kalau kamu itu ngutang buat pampersnya Adinda, ngutang lagi buat beli susu sachet sama jajannya Dinda. Apa gak malu, Mut? Kami yang malu, Mut, kalau kamu jadi bahan ghibahan para warga saat di warung," sammbung Mbak Fitri.

"Kamu kan masih sangat muda, Mut. Kamu bisa kerja di luar. Adinda biar diasuh sama kami gantian," lanjutnya lagi.

Saat itu aku hanya terdiam, dari anak-anak ibu mertua, memang kamilah yang paling miskin. Ya, meski tinggal satu rumah, tapi aku tak boleh masak bersama di dapur mertua, jadi terpaksa memasak di sisi yang lain, membuat pawon juga mencari kayu bakar di sekitar pekarangan.

Anak-anak ibu mertua semuanya ada empat. Tiga orang perempuan dan satu laki-laki. Ya, Mas Herdy adalah satu-satunya anak lelaki ibu. Makanya ibu mertua yang janda terkadang menggantungkan hidupnya pada Mas Herdy.

Padahal dua kakak perempuannya bisa dibilang ekonominya lebih baik, Mbak Tantri dan Mbak Fitri sudah berkeluarga. Suami Mbak Tantri adalah seorang pemborong proyek, pulang dua sampai tiga bulan sekali. Sementara suami Mbak Fitri, katanya pekerja kantoran. Mereka LDR, suaminya pulang sebulan sekali.

Namun kedua kakak perempuan Mas Herdy memang sudah memiliki rumah sendiri, masih satu desa meskipun beda RT juga RW.

Ibu mertua yang melarang Mas Herdy untuk merantau ke kota. Wanita paruh baya itu pernah bilang kalau kerja apa saja asalkan di desa sendiri. Anak laki-laki masih bertanggung jawab pada ibunya. Begitupun adik perempuannya yang bernama Devina, dia begitu manja pada Mas Herdy. Ya memang, sejak kematian bapak mertua, Mas Herdy lah yang menggantikan sosok itu dalam keluarga.

Rasanya sudah sangat terpojok. Miskin, dihina, hutang di warung yang makin menumpuk, dan kebutuhan Adinda yang jauh dari kata layak membuatku akhirnta menerima ajakan menjadi TKW. Aku yang mengalah harus bekerja keluar negeri. Dengan janji manis mereka bilang akan menjaga Adinda dengan baik.

"Bu, Mbak, biar Mutiara istirahat dulu, kok malah diajak ngobrol," ujar Mas Herdy seketika menghilangkan lamunan masa laluku.

Mereka hanya tertawa kecil lalu kembali menyuruhku mandi. Aku mengangguk, berjalan ke kamar seraya memperhatikan kondisi rumah. Atap masih belum di plafon, masih terlihat genteng dari bawah. Juga bagian dapur yang tidak menggunakan keramik melainkan lantai dari semen.

Aku mengambil baju ganti serta handuk dan berlalu segera ke kamar mandi. Kamar mandi hanya ada satu di rumah ini. Otomatis akan dipakai secara bergantian.

Kuhirup udara sembari menikmati segarnya air yang mengguyur tubuh yang begitu penat dan lelah ini. Aroma fruity dari sabun dan shampo yang kupakai setidaknya menambah kesegaran. Cukup lama aku di kamar mandi, bebersih diri sekaligus sejenak menenangkan hati.

Adinda, bila memang ini sudah takdirmu, Bunda ikhlas. Tapi bunda tidak ikhlas kalau memang ada yang bersikap buruk padamu. Jujur saja, aku kepikiran ucapan tetangga tadi yang bilang kalau Adinda tak terurus sejak aku bergi. Apakah itu benar? Bagaimana caranya aku mencari tahu?

Aku keluar dari kamar mandi. Terkejut saat melihat mereka tengah membongkar isi koperku di ruang televisi. Mereka saling tertawa seraya mencoba baju-baju yang kubawa.

"Yang ini bagus gak, Mbak?"

"Iya, bagus, sangat cocok buat kamu, Dev!"

"Nah ini buat Mbak, pantes 'kan?"

"Iya, pantes."

"Ini kayaknya baju buat Adinda deh, biar buat si Putri aja, mereka kan seumuran."

"Waw. Tas ini bagus banget, tasnya biaf buat aku, buat pergi ke arisan bulan depan!" tukas Mbak Fitri seraya mengambil tas pemberian majikanku.

Aku berjalan menghampiri mereka.

"Ehem! Kalian kenapa lancang sekali membuka koperku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status