seminggu sekelas dan sebangku dengan Rion membuat Nana mengerti, kalau laki-laki yang berada di sampingnya adalah seorang jenius dalam seni, bahkan dalam hal memakai bedak pun, dia tak kalah.
"Yuk upacara." ajak Rion.
"Tapi nanti kutinggal ya, aku baris di kelas sepuluh b."
"Baris di kelas sepuluh a saja. kan lebih bagus, kau bisa liat dan sapa langsung dengan Sandy.""Gak papa, gak usah, aku di barisan biasa saja.Nana mengenakan topinya kemudian meninggalkan Rion yang masih sibuk membereskan mejanya yang sempat berhamburan karena memperlihatkan banyak hal pada Nana.
"Ada gambar baru?" Nana mencolek pinggang Rena lalu berdiri di belakangnya.
"Gak ada nih, orangnya juga belum muncul kok itu""Yuk, Na. Sini!" ucap Rion lalu menarik lengan Nana meninggalkan barisan kelas sepuluh b menuju sepuluh a"Ngapain kau disini? Dasar penumpang gelap.""Si mulut jahat ini mulai lagi," Rion merangkul bahu saudara kembarnya."Bro, aku bawa si manis ini, jaga sikap dong."
"Halo." Nina mengangkat topinya dan tersenyum pada Leon.
"Rion di.. dia...""Sudah kuduga, otaku macam kau akan suka, kutemukan dikelasku, menarik?" Leon berbisik pada Rion, membuat Rion memperbaiki letak kacamata yang tak bermasalah."Ngomong apa?" Nana masih mempertahankan senyumnya sembari memperhatikan anak kembar identik di hadapannya tersebut."Wah, kau ngapain nyasar disini Ardana?" Sandy muncul dari belakang si kembar tersebut, membuat Nana salah tingkah.
"Ardana?" Leon mengulang kalimat Sandy.
"Bro, aku lupa, nama lengkapnya Ardana, tapi kami sekelas memanggilnya Nana."
Leon hanya membulatkan mulutnya kemudian meneliti dari atas sampai bawah, rok abu-abu selutut, baju yang dimasukkan kedalam, memakai ikat pinggang yang kebanyakan dipakai laki-laki seusianya, rambut yang panjangnya berada satu jengkal dibawah bahu, serta atribut lengkap lainnya berupa topi, dasi, serta penjepit dasi yang hanya sebagian orang kenakan, penjepit tidak wajib, tapi dibolehkan untuk dipakai."Jackpot, kau bawa kerumah!" bisik Leon pada Rion.
"Secepatnya!"
"Kalian ini suka berbisik yah?" Nana semakin mempertanyakan kebiasaan anak kembar yang baru pertama kali dia lihat tersebut.
*
Tak ada pembahasan tentang saudara kembar Rion, karena mereka terus membicarakan tentang Sandy dan seni selama hampir sebulan setelahnya.
Nana tentu ingin bermain dan bercanda dengan Sandy seperti waktu SMP dulu, tapi Nana tak ada alasan. Bukan tidak ada, Nana hanya takut ditolak kembali."Na, mau kerumahku gak? kau suka main game playstation kan?"
"Suka sih, waktu dirumahku, kalau hari minggu, kami biasanya main game sampai capek, kadang berkelahi juga kalau saudaraku gak adil. Dulu sih, sekarang udah nggak main lagi." Nana tertawa, walau ada gurat sedih dalam rautnya.
"Cocok tuh, minggu depan, kakakku mau ngajakin Sandy ama Taufik buat main game, mau ik..."
"Mau banget!" Seru Nana memotong pertanyaan Rion.
*
"Permisi," Nana mengetuk pintu rumah berwarna hijau dengan halaman yang cukup lengang, ada mobil jip dan beberapa mobil lainnya terparkir di halaman tersebut.
"Iya dek?" Seorang perempuan dewasa dengan mata sipit dan rambut yang digerai menyapa Nana setelah membuka pintu.
"Rion ada kak?"
Perempuan tersebut menatap Nana dari atas sampai bawah, celana jins, baju kaos dengan luaran kemeja yang cukup kebesaran, dengan topi breton yang bertengger di kepalanya, dan rambut yang di kuncir dua dan rendah, perempuan tersebut menggeleng kepalanya beberapa kali setelah menepuk wajahnya pelan. "Oh ada, bentar ya, kakak panggil, kamu masuk aja, duduk disini."
"Rin, temenmu tuh." Teriak perempuan tersebut lalu meninggalkan Nana di ruang tamu tanpa menunggu jawaban dari Rion.
Dan menunggu adalah hal yang paling menyebalkan bagi Nana, entah alasan apa sebelumnya sehingga dia tak membawa ponselnya dan memilih untun pergi sendiri, padahal, selama ini ponsel itu terbukti membunuh suntuknya.
"Udah lama nunggu yah?" Rion muncul dengan baju kaos merah dan celana kain longgar selutut.
"Udah kering nungguin kau disini."
"Sorry, oh bentar, kuambil dulu minumannya."
Rion kembali meninggalkan Nana, yang membuat Nana merasa menyesal datang kali ini. Tak ada hiburan, tak ada teman yang diajak cerita, bahkan Sandy yang dijanjikan pun tak terlihat.
"Na, maaf nih lama nunggu," Rion meletakkan minuman dingin di meja tepat di depan Nana kemudian duduk disampingnya, "Habisin dulu, trus naik ke atas, yang lain udah pada datang duluan kok."
Nana langsung segera menghabiskan sirup jeruk tersebut dan seperti ponsel yang telah di isi penuh, Nana dengan penuh semangat langsung berdiri
"Tunggu apa lagi? Ayo naik!" Minuman yang ada di hadapannya sudah habis dalam sekali tegukan.Rion menepuk wajahnya lalu menunduk, tak habis fikir dengan tingkah teman sekelasnya satu itu, jika menyangkut tentang Sandy, dia akan melakukan apapun dengan semangat empat lima, padahal jika dengan yang lain, dia terlihat biasa saja."Na, ubah sifatmu yang seperti itu, tak baik. Jangan sampai ada yang berniat buruk padamu dengan memanfaatkan Sandy yang kamu bahkan tak tau apakah dia suka atau tidak." Ucap Rion sembari memegang bahu Nana yang telah duduk kembali disamping Rion.Tapi Nana sama sekali tak mendengarkan nasihat Rion."Yuk ah, ayo!" Kali ini Nana kembali menarik Rion menuju ke tempat dimana Sandy berada. Kapan lagi bisa bersama dengan Sandy tanpa perlu pusing memikirkan alasannya."Akhirnya sampai," Ucap Nana
Akhirnya Nana pulang tanpa ikut bermain game. Dia hanya memperhatikan Sandy bermain dengan serunya sembari sesekali mengajak Rion bercerita.Lelah memang, tapi jika mengingat setiap emosi yang diperlihatkan oleh Sandy, semuanya terbayar lunas, bahkan lebih. Teringat seperti momen waktu masih SMP yang selalu dia rindukan.Pagi menyapa Nana, setelah menyelesaikan tugas sekolahnya lebih cepat, dia langsung tertidur tanpa sempat menikmati siaran tv ataupun update grup kelasnya."Gimana tidurmu semalam? Pasti menyenangkan?" Tanya Rion ketika dia melihat Nana sudah duduk dengan rapi dalam kelasnya."Ya, langsung tertidur tanpa bermimpi saking capeknya." Nana menghembuskan nafas kasar."Gak ada mimpi pasal kejadian kemarin?""Kemarin kalian ngapain?" Rahma langsung masuk diantara cerita mereka tanpa permisi."Kemarin itu...""Jangan ngomong apa-apa, dia ember." Bisik Nana setelah menutup mulut Rion secepa
"Kerja? Apaan?" Nana ragu. Terlalu banyak cerita kejahatan yang dia baca yang menyangkut tentang penawaran kerja pada awalnya, namun merugikan di akhir."Model?""Model apa? Jangan yang aneh-aneh ya, aku gak suka yang aneh." Nana cukup menyukai Rion, tapi tawaran menjadi model cukup meragukan mengingat terlalu banyak hal buruk yang terjadi dalam dunia permodelan yang selama ini dia ketahui melalui publik."Gak kok. Model biasa aja, pose depen kamera, cekrek, udah, gitu doang."*Nana menyetujui tawaran Rion, dan disinilah dia sekarang, menunggu di ruang tamu setelah disapa oleh saudara perempuan si kembar.Dan Rion serta Leon muncul bersamaan. tanpa kacamata yang bertengger di wajahnya, membuat keduanya terlihat bak pinang di belah dua, tak ada beda sama sekali."Cara kerja dan honornya akan dijelasin ama kakak aku yah Na." Ucap Rion kemudian menyerahkan sebuah map berisi beberapa lembar kertas yang su
"Kalian ini, bisa gak sih dipisahin barang sebentar aja, lima menit gitu?" Seorang perempuan dengan rambut dikuncir dan membawa selembar kertas bertanya pada keduanya.Rion dan Nana saling berpandangan seakan sedang bertelepati, beberapa kali keduanya mengerutkan kening dan menggeleng, namun di menit berikutnya setelah gadis itu bosan menunggu jawaban, akhirnya keduanya kompak untuk mengatakan tidak lalu memberikannya tawa dan tos."Sudah kuduga. Tapi sayangnya kalian memang harus pisah, kelompok yang baru diberikan Bu Erna bilang gitu." Ucap perempuan itu lagi.Teman sekelasnya memberikan secarik kertas kemudian meninggalkan mereka berdua menuju papan tulis untuk mengumumkan kelompok tersebut."Pisah Rin." Wajah Nana terlihat sedih dan mengerucutkan bibirnya tanda tak terima."Iya nih, ya mau gimana lagi lah, guru yang nentuin." Rion hanya terlihat santai dan mengangkat bahunya, pasrah.
Hari yang ditunggu Nana akhirnya tiba, hari sabtu. Hari yang dijanjikan oleh Rion bahwa akan membuat Sandy terpesona dengannya."Karena hari ini spesial, kakakku Marina yang akan memoles wajahmu." Rion berkata dengan wajah bersinar."Gak akan menor kan?" Nana tak terlalu yakin dengan keputusannya kali ini, mengingat dandanan Marina selalu saja tampak mencolok di matanya."Meragukan kemampuanku ya Na?" Marina menjawab pertanyaan Nana dengan pertanyaan.Marina mengajak Nana mengikutinya, melangkah masuk ke dalam kamar kakak perempuan Rion. Gaya minimalis, dengan meja yang penuh dengan alat-alat make up serta cermin yang lumayan besar dan terpasang beberapa bohlam yang bersinar dengan terangnya."Duduk Nana."Nana mengikuti perintah Marina untuk duduk dan Marina pun mulai menjalankan sesuatu yang paling disukainya, memoles wajah perempuan menjadi cantik dan bers
"Sempurna seperti biasa kak," Ucap Rion dengan jempol dan rona yang masih bertahan di wajahnya, "Yuk, temui Leon." lanjut Rion lagi.Nana hanya mengangguk kemudian menyusul Rion di belakangnya, menuju lantai tiga. Kamar kakaknya berada di lantai dua, bersama dengan kamar kedua orang tua Rion."Bro, kita udah siap nih, yuk ke bawah!" Teriak Rion dari balik pintu, sengaja menggoda saudara kembarnya untuk bisa segera bertemu dengan Nana yang sudah di make over oleh kakak mereka."Iya, bentar. Masih siapin kamera dan perangkatnya nih. Kamu sini kek, bantuin bawa!" Perintah Leon yang tak membuka pintu, hanya menjawab tanpa melihat ke arah sumber suara, dan terus sibuk merapikan alat - alat yang berhamburan.Akhirnya Rion menyerah, dia membuka pintu untuk membantu saudara kembarnya merapikan alat yang semalam di cek kondisinya dan tak sempat di rapikan kembali."Na, kamu bi
Ketika Sedang berfoto setelah beberapa kali take, Sandy dan Taufik muncul. Leon tak menghiraukan mereka dan melanjutkan untuk memfoto keduanya.Sandy dan Taufik begitu memperhatikan Rion dan Nana yang terlihat seperti pasangan sejati, saling bergandengan tangan dan menatap, membuat keduanya memiliki chemistry yang begitu kuat. Beberapa kali mereka merubah gaya, namun tetap saja, seakan keduanya memang pasangan sejati yang diciptakan dari tulang rusuk yang sama."Break!"Teriakan Leon membuat Nana menghembuskan nafas lega, disambut tawa hangat dari Rion yang memperhatikannya."Kenapa, Na? Tumben banget bernafas berat, kayak lagi banyak beban aja." Celetuk Rion menggoda Nana yang tidak biasanya."Akhirnya, pose tadi berat banget, tau gak sih? Mana harus mandang Rion kayak lagi liatin orang yang paling disuka.""Kau gak suka padaku Na?" Rion
Taufik hampir setiap hari datang ke kelasnya setelah hari itu. Mengajaknya bercerita, dan bahkan terkadang membawa cemilan untuk dirinya dan untuk NanaDan itu sangat mengganggu bagi Rion, terutama Nana. Karena dia tak bisa leluasa bercerita atau bercengkrama bersama Nana seperti biasanya. Taufik selalu saja muncul seperti setan yang tak di harapkan, lalu mencampuri cerita apa saja yang sedang mereka ceritakan."Rin, lama-lama aku jadi benci banget sama kehadiran Taufik, tau gak sih? Udah kelewatan gangguinnya." Nana melipat tangannya di dada dan menekuk wajahnya.Rion tertawa cukup keras, walau harus dia akui kalau Taufik memang mengganggu belakangan ini."Itu bukti kalau kau emang mempesona hari itu, coba kalau make overmu dipakai ke sekolah?" Rion mencoba menyemangati Nana dengan melihat sisi positif dari tingkah Taufik.Tawaran Rion membuat fikiran Nana melanglang