Share

3. Tidur

Usai memeriksa beberapa laporan, selang belasan menit kemudian, Erickson kini berpindah ke meja kerjanya, ada banyak laporan menumpuk yang belum sempat disentuhnya akibat meeting bersama Rino dan Vio kemarin. Diraihnya kopi buatan Arthur yang baru ditaruh. Asap mengepul setelah ia tiupkan sedikit udara dan kemudian menyeruput kopi hitam pekat itu sembari matanya tak lepas dari layar komputer di depannya.

"Katakan pada Alice untuk masuk dan bawa proposalnya jika sudah selesai."

Alice merupakan salah satu pekerjanya yang cukup kompeten meski kepribadiannya terkadang membuat Erickson mengernyitkan dahi. Mungkin sifatnya pemalu karena Alice tak pernah mau menatap matanya, atau bisa jadi takut padanya.

Diliriknya luar ruangan dimana bisa ia lihat dengan cukup jelas Alice yang tengah membalik lembar-lembar kertas yang ada di mejanya berulang kali sambil sesekali memainkan pulpen di tangannya setelah Arthur beranjak dari sisinya.

Sudah lama sejak Alice bekerja dengan Erickson. Ia pun sudah tahu bahwa gadis itu cukup memiliki potensi. Karena itulah ia menggaetnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dengan event mereka yang akan datang.

"Dia bilang sebentar lagi selesai." Arthur melangkah masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Ya sudah. Bagaimana dengan perekrutan karyawan baru?" Kini tatapan Erickson telah berpindah menatap Arthur.

"Ada beberapa yang menggunakan koneksi dari pemilik saham." Arthur menjelaskan perlahan.

Ya itu sudah pasti, banyak yang memakai koneksi untuk mendapatkan pekerjaan, begitupun di perusahaannya ini. Namun bagi Erickson hal itu tidak penting. Yang dia cari adalah orang-orang yang mau berusaha keras. Karena percuma jika ia meloloskan orang yang hanya mengandalkan kekuasaan untuk mendapatkan pekerjaan.

***

Sejak pagi sudah berapa kali Alice minum kopi. Hari ini begitu melelahkan tak seperti biasanya. Alice sibuk bergelut dengan komputernya, berkali-kali ia memijat pelipisnya bermaksud untuk menenangkan pikirannya. Sudah dua kali proposalnya ditolak oleh Presdir dengan alasan yang sama, 'kau tidak menaruh perasaanmu di dalamnya'.

Perasaan apa yang harus ia taruh di dalam proposalnya? Jika tentang ketekunan, dia sudah berhari-hari lembur demi menyelesaikan proposal itu. Entah mengapa sang atasan terasa sedikit berbeda hari ini, sepertinya perasaannya sedang buruk. Meski begitu, ia merasa bahwa itu tak ada hubungannya dengan proposalnya yang ditolak. Karena ia tahu sang atasan adalah orang paling serius dalam urusan bekerja.

Ia menatap ke sebuah ruangan yang berjarak tak jauh darinya berlabel 'Presiden Direktur' untuk mendapati bosnya itu menatap datar ke arah layar di depannya. Tidak ada yang tau apa yang ada di dalam pikirannya jika hanya melihat wajahnya yang benar-benar datar. Sungguh, pria itu menatap layar tanpa ekspresi. Berkebalikan dengan jari-jemarinya yang terlihat terus bergerak tanpa henti menekan huruf demi huruf dari keyboard di hadapannya.

"Huh, bahkan saat sendirian pun dia masih tetap dingin," ledeknya sambil menjulurkan lidahnya.

Namun sedetik kemudian kalimat yang keluar dari mulutnya berbanding terbalik dengan apa yang dia ucapkan sebelumnya. "Tapi dia tetap tampan." Sambil memangku wajahnya dengan kedua tangannya, Alice tersenyum menatap sang atasan dengan tatapan mengagumi. Jika di dalam drama, pasti sudah ada visual hati berwarna merah yang berterbangan di atas kepalanya.

"Tuhan dengan begitu indahnya menciptakan makhluknya yang satu itu hingga sepertinya tak ada celah yang bisa dilihat darinya, hanya ada wajah tampannya." Alice terus mengeluarkan pujian demi pujian tanpa henti, lupa dengan kekesalannya akibat proposal yang berulang kali ditolak.

Namun suara pukulan benda tumpul memaksa Alice menghentikan aktifitasnya, ia mendongak mencari tahu dari mana sumber suara itu berasal. Seperti biasanya, satu-satunya orang yang selalu mengganggu Alice adalah Siska. Siska kini tengah berdiri menghadapnya dengan tangannya yang mengetukkan penanya berulang-ulang di meja Alice.

"Apa?" Alice berujar dengan wajah bertanya-tanya menatap temannya itu. Jam makan siang sudah berakhir, tak mungkin Siska mengajaknya makan, tak mungkin juga Siska memintanya menemaninya ke toilet mengingat itu masih siang hari, dan tak mungkin Siska mengajaknya pulang karena itu belum saatnya untuk mereka meninggalkan kantor.

"Sebaiknya kau menyelesaikan proposalmu, jangan hanya menatap Presdir karena itu tak akan membuat proposalmu diterima. Kalau tidak selesai hari ini, aku yakin kau tidak diizinkan Presdir untuk pulang." Siska tersenyum jahil melihat temannya yang terlalu fokus pada atasannya dan bukannya melanjutkan pekerjaannya.

"Cih, aku cuma mencari inspirasi," sanggahnya mengerucutkan bibirnya.

Mencari inspirasi dengan menatap bos? Terdengar tidak masuk akal namun itulah kenyataannya. Sudah sejak lama Alice menyimpan rasa kagum pada pria tersebut. Alice teramat sangat mengaguminya sampai ia bahkan menyimpan potret sang pria di lacinya, tentu saja itu adalah rahasia antara Alice dan Siska. Meskipun jelas bukan hanya Alice yang menyukai pria itu menilik penampilan bosnya yang sempurna, wajah tampan, dan postur tubuh yang mendukung para wanita agar tergila-gila padanya.

"Yah terserah kau saja, aku hanya mengingatkanmu. Jika dibiarkan bisa-bisa matamu terlepas dari tempatnya akibat terlalu lama memandangi Presdir. Sudahlah, aku mau membereskan mejaku, jangan sampai kau lupa besok kita harus survei ke lapangan karena kau kelelahan akibat lembur," ejeknya berlalu kembali ke meja kerjanya sambil melambaikan tangan dengan malas.

Alice melihat temannya itu dengan sedikit kesal karena ia bisa bersantai karena telah menyelesaikan pekerjaannya sedangkan dirinya masih berkutat dengan proposalnya. Meski bisa dibilang itu bukan masalah baginya karena ia memang ingin berpartisipasi dalam proyek kali ini. Apalagi bosnya sendiri yang merekomendasikan dirinya untuk menjadi bagian dalam proyek kali ini.

Ponselnya bergetar, sebuah pesan yang ditujukan padanya pun tiba. Ia lihat nama pengirim pesan tersebut lalu tersenyum. Pasalnya itu adalah pesan dari pacarnya, Vio, yang bertanya kapan ia akan pulang.

Meskipun Alice mengagumi Erickson, bukan berarti ia menyukainya dalam artian yang lain. Itu benar-benar murni rasa kagum karena Erickson adalah sosok pria idaman Alice sejak remaja. Perasaan kagum itu pun tak membuat hubungannya dengan kekasihnya buruk karena dirinya sangat mencintai kekasihnya. Baginya kekasihnya tentu adalah pria yang terbaik.

Ia mengetik pesan balasan dan mengatakan bahwa ia mungkin akan pulang lebih larut dari biasanya karena masih harus menyelesaikan proposal. Pesan itu pun dibalas kekhawatiran dari sang pujaan hati dan berkata bahwa dia tak bisa menjemput karena dirinya pun harus lembur malam itu dan dia pun berkata pada Alice untuk pulang dengan hati-hati.

Setelah membalas pesan, Alice bersandar ke kursi yang sedang didudukinya dan menengadahkan kepalanya ke atas sambil menghela nafas. Ia menatap langit-langit kantor yang berwarna putih itu sebentar kemudian mengepalkan tangannya di udara.

"Huft... semangat! Aku harus menyelesaikan ini hari ini dan membuat Presdir puas dengan proposalku!" Alice menyemangati dirinya sendiri dan mulai memfokuskan dirinya kembali pada layar komputer di depannya. Jarinya mulai bergerak menekan huruf demi huruf yang terangkai menjadi sebuah kalimat.

Setelah beberapa jam berlalu, Alice membaca berulang kali proposal yang baru ia perbaiki, Alice mantap dan yakin kalau proposal kali ini akan diterima oleh bosnya, jadi ia mulai bangkit merapikan kertas-kertas yang bertebaran di mejanya dan beranjak pergi ke ruangan Presdir.

Alice mengetuk pintu ruangan itu berkali-kali namun tak ada jawaban. Lalu kemudian mengintip melalui kaca dan tidak melihat siapapun berada di dalam. Aneh, ujarnya bukannya tadi dia ada di dalam, mengapa sekarang sudah tidak ada? Dia bahkan tak melihat bosnya itu keluar ruangan. Alice ragu harus masuk atau datang lagi nanti saat Erickson sudah kembali, namun pada akhirnya ia memutuskan untuk masuk dan menunggu di dalam saja. Perlahan Alice membuka pintu itu dan berjalan masuk ke dalam sembari matanya bergerak kesana kemari melihat sekeliling.

"Presdir, saya membawa proposal, saya sudah memperbaikinya," ujar Alice dengan suara pelan sekaligus meminta izin untuk masuk dan menaruh berkas yang di pegangnya itu ke meja. Saat ia berbalik, matanya tertuju pada sofa besar seukuran tempat tidurnya di ujung ruangan tempat di mana Erickson itu terkadang berbaring untuk beristirahat. Ya, pria itu saat ini juga ada di sana, tergeletak di atas sofa panjang itu dan memejamkan matanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status