Kelopak mata itu tampak bergerak-gerak, sebelum akhirnya terbuka secara perlahan. Hal pertama yang tertangkap oleh retina matanya adalah langit-langit ruangan berwarna putih, kepalanya menoleh ke samping. Dinding bercat putih juga menyambutnya, Bella mengerutkan hidungnya ketika bau obat-obatan tercium jelas. Ah, rumah sakit. Bella menghela napas pelan, ia melirik pergelangan tangan kirinya yang terbalut perban. Ingatan kembali membawanya pada kejadian sore tadi, ketika Bella dengan bodohnya melukai pergelangan tangannya. Ia tersenyum miris, dibandingkan dengan bodoh, Bella akan menyebutnya sebuah usaha melarikan diri.
Tentu saja dirinya tidak akan mungkin bertahan lebih lama dari penjara yang dibuat Dave, pria itu sungguh-sungguh sudah tidak memedulikannya lagi. Bella tidak dapat mengetahuinya dengan pasti berapa lama Dave pergi, tetapi Maid beberapa kali yang mengantarkan makanan untuknya. Ia tidak dapat menahannya lagi, terlebih ketika hujan badai terjadi sor
Bella terus menunduk, ia tidak berani mendongak untuk memandang dua sosok yang kini duduk di depannya. Entah bagaimana kedua pria itu datang bersamaan, mendatanginya dan mengajaknya kembali. Bella mendongak, kedua pria itu saling menatap tajam. “Bisakah kalian pergi?” ucapannya sontak saja membuat kedua pria itu menatapnya.“Tidak bisa,” ujar mereka bersamaan. Bella menghela napas lelah, ini tidak akan mudah. “Kau harus ikut denganku,” terdengar nada perintah dalam ucapan Dave. “Kau tidak bisa memaksanya,” kini giliran Ed yang berbicara. Ya, kedua pria itulah yang sedari dua jam memaksanya.Sudah seminggu Bella berada di Los angeles, beruntung baginya karena bertemu dengan salah satu ibu panti ketika tiba di bandara. Panti kini telah pindah ke salah satu bangunan sederhana milik seorang pengusaha, bahkan pengusaha yang tidak diketahui namanya itu telah menjadi penyumbang terbesar untuk panti.
Perempuan yang memiliki manik coklat itu, kembali mengeratkan ikatan pada rambutnya. Sesekali ia menggerakan lehernya ke kanan-kiri untuk sekedar mengurangi rasa pegal. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, restoran tempatnya bekerja telah memasuki waktunya tutup. Setelah kegiatan mengelap mejanya selesai, perempuan itu tersenyum lebar sembari mengelap keringat di keningnya. Ia berbalik dan bersiap menuju dapur, tetapi pintu restoran kembali terbuka dan menampakkan seorang pria dewasa dengan setelan kerjanya yang terlihat mahal. Bella menghela napas pelan, ia berjalan menghampiri pria itu. “Maaf, Tuan. Restoran akan segera tutup,” ujarnya. Pria itu menoleh, ia terdiam beberapa saat. Bella mengernyit, “Tuan?” kelopak mata pria itu berkedip beberapa kali, dia tersenyum canggung. “Ah, tetapi menurut tulisan di depan, restoran buka sampai pukul sebelas.” Kerutan di kening Bella semakin terlihat, perempuan itu terlihat berpikir k
“Apa-apaan ini?!” terdengar jelas nada emosi yang pria muda itu keluarkan, tangannya menyentak berkas-berkas berisi laporan karyawan hingga berhamburan di lantai. “Aku memberikan kalian libur, dan ini hasilnya?! Apa waktu seminggu tidak cukup membuat otak kalian berfungsi?!” bentak pria itu kembali. Dua orang karyawan laki-laki dan seorang perempuan yang menjadi sasaran kemurkaan pimpinan mereka, hanya mampu menunduk dengan tubuh bergetar. Dave Orlando Lay, seorang CEO ALF CORP. Sebuah perusahaan yang merupakan produsen otomotif terbesar di Asia, sudah berdiri selama hampir 23 tahun. Dave mengatur napasnya, ia merasa kepalanya akan meledak. “Keluar!” titahnya yang langsung membuat ketiga karyawan itu beranjak dari ruang tersebut dengan cepat. Bertepatan dengan itu, seorang pria memasuki ruangan. Matanya mengikuti ketiga karyawan yang baru saja keluar dari ruangan pimpinan, ia menoleh ke arah Dave yang tengah duduk dengan punggu
Dave tersenyum puas, perdebatan tidak berguna itu dimenangkan oleh dirinya. Kedatangan seorang wanita yang sepertinya adalah pemilik restoran, mampu membuat perempuan bernama Bella itu tak berkutik. Akan tetapi, masalah baru sepertinya datang. Wanita yang mungkin seusia ibunya itu terus mengoceh, wajahnya mengeras ketika wanita itu bertanya hal yang sama seperti ibunya. “Siapa namanya?” tanya Dave menyela, sebenarnya ia sudah tau, ia melakukannya untuk menghentikan mulut berisik itu. “Ah, apa?” tanya wanita itu memastikan. “Siapa nama perempuan tadi?” ulang Dave. “Namanya Bella, tapi untuk apa Tuan Dave ingin mengetahuinya?” Madam Choo bertanya. Tidak ada jawaban dari Dave, pria itu terus memperhatikan area dapur. Beberapa menit kemudian, perempuan yang sedari tadi mendapatkan perhatiannya, keluar dari dapur dengan nampan di kedua tangan. Dave rasa ia harus mengganti panggilan perempuan itu m
Ponsel yang berdering terus menerus membuat Dave terusik dalam tidurnya, hingga mau tidak mau, ia membuka matanya. Dave mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur, dengan malas ia pun mengangkatnya. “Dave, bagaimana kabarmu?” Suara yang tak asing di telinganya, membuat Dave terduduk seketika. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa si penelepon, unknown number. Seperti dugaannya, Dave kembali menempelkan ponsel tersebut. Namun, ingatan yang melintas di kepalanya membuat dia mematikan sambungan telepon itu. Rahangnya mengeras, matanya terlihat memancarkan aura penuh dendam, jangan lupakan tangannya yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dave... Ayo kita pergi ke pantai. Dave, kau mau membelikanku ini? &nb
Theo memandang bangunan sederhana di hadapannya, dari ekspresinya terlihat sekali pria itu tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. “Kenapa di antara restoran mewah, kau mengajakku makan siang di sini? Jika tau seperti ini, aku lebih baik makan dengan layanan apartemen,” keluh Theo.“Kau terlalu banyak mengoceh,” cibir Dave. “Aku sudah memberikanmu tumpangan jadi, turuti saja apa yang kukatakan.” Theo memutar bola matanya malas, “Lalu apa yang tuan Dave ini inginkan?” dari nadanya terdengar jika Theo malas melakukan apa yang Dave inginkan. “Kita akan makan siang di restoran itu, selama di dalam, jangan pernah mengoceh yang aneh-aneh!” papar Dave. Theo mengernyit, tetapi ia memilih diam. Lagi pula di mana pun tempat makannya, paling penting adalah tempat itu bersih dan menyediakan makanan yang layak. Dave membuka pintu restoran, suasana di dalam siang ini lumayan ramai. Dan itu adalah s
Theo keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil mengalung di lehernya, dia melirik ke arah Dave yang terlihat sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria itu bergidik saat matanya tanpa sengaja melihat lengan berotot milik Dave yang tengah memakai kaos lengan pendek, Theo kini ingat penyebab rahangnya sakit waktu itu. Bukan karena tamparan pelayan restoran itu, tetapi pukulan mentah dari Dave. Theo meneguk ludahnya kasar, di tengah ambang kesadaran waktu itu, Dave tanpa aba-aba memberinya pukulan. Tubuhnya bergidik, meskipun kejadian sudah berlalu seminggu. Tetapi dia akan mengingat rasa sakitnya, hal itu akan berguna untuk Theo agar lebih hati-hati ketika bersama dengan Dave. Sebenarnya Theo tidak mengerti alasan Dave memukulnya, dari yang dirinya ingat, dia hanya mabuk. Theo memakai kaos lengan pendeknya, lalu melirik ke arah laptop yang menjadi fokus Dave. “Apa kau yakin akan tetap dengan rencanamu? Kau juga tau bukan, seperti
“Kau tidak mau membantunya?” tanya Theo. “Tidak,” balas Dave. Keduanya sama-sama melihat Ed yang tampak kewalahan menghadapi empat orang pria yang tiba-tiba menyerang, Theo meringis mendengar suara pukulan-pukulan itu. Hanya mendengarnya saja, Theo sudah yakin pukulan-pukulan itu sangat keras. Tetapi dirinya dibuat kagum oleh kemampuan bela diri Ed, bahkan untuk orang awam sekalipun pasti dapat menebak jika pria itu sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti sekarang. “Sebenarnya kenapa pria itu diserang?” gumam Theo. “Akh!!” sebuah teriakan membuatnya terkejut. Di depan sana, Ed terlihat kesakitan setelah salah satu pria berbadan besar itu berhasil menginjak lengan kanannya. Wajah Ed memang hanya dihiasi beberapa luka, pria itu sepertinya tidak akan kalah jika melawan 1 atau 2 orang. Theo melirik Dave, pria itu tidak menampilkan ekspresi apa pun. Lalu Theo memandang ke sekeliling lewat kaca mobil, “Apa di sekitar sin