Aciel menghela napasnya kasar, kemudian terbang mengelilingi goa yang lembab dan gelap itu bersama Felix. Felix terbang di depannya, mengikuti pria bersurai merah itu dari belakang.
“Aku tidak merasakan ada yang aneh disini, kalau pun ada pasti Felix menyadarinya lebih dulu,” batin Aciel sambil melihat sekelilingnya.
Felix tiba-tiba berhenti terbang, dia melayangkan tubuhnya di udara dengan mata yang melihat ke bawah.
“Kau melihat apa?” tanya Aciel kemudian ikut melihat ke arah pandangan Felix.
Kosong, Aciel tidak melihat apa-apa disana kecuali tanah yang lembab, digenangi air.
“Test … test … dua menit telah berlalu, waktunya menghitung mundur.” Suara tersebut keluar dari langit-langit goa, yang membuat Aciel mendongakkan kepalanya ke atas.
“Sepuluh … Sembilan … delapan … tujuh … enam … lima … empat … tiga … dua … satu. Mula
Mata hijau milik Rayzeul menajam, surai putihnya yang indah kini telah basah dan penuh dengan keringat. Tangan kanan pria bermata hijau itu, tiada hentinya menebas serat-serat akar yang mati-matian berusaha melilit tubuhnya. Rayzeul mulai lelah, kerongkongannya mulai kering dan butuh asupan air.“Kalau kalian ingin air atau makanan mintalah pada kami, nanti akan kami berikan pada kalian,” ucap salah satu penyihir dengan suara yang sedikit nyaring.“Dasar kalian ini benar-benar,” batin Rayzeul.“Aku minta air!” teriak Rayzeul Lubang hitan dari langit muncul setelah Rayzeul meneriakan bahwa dia membutuhkan air. Dari lubang tersebut, keluarlah botol berwarna biru yang dapat memuat air satu liter di dalamnya. Rayzeul menggerakan tubuhnya gesit, sontak terbang menangkap botol tersebut ketika melihat ada sebuah lubang hitam di langit. Rayzeul membuka tutup botol tersebut, kemudian meminum air dari botol itu.&ld
Aciel menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Mata emasnya memincing tajam ke arah tubuh monster berkepala ular tersebut. Pria bersurai merah seperti tomat itu menyunggingkan senyumannya, kemudian beberapa detik setelahnya tubuh yang tadinya berada di dekat langit-langit goa, kini telah berada di belakang monster berkepala ular tersebut. Monster berkepala ular tersebut menyadari kedatangan Aciel di belakangnya, kemudian dengan lincah monster itu membalikkan tubuhnya dan langsung menyerang Aciel dengan lidahnya yang panjang. Slapp Slapp Aciel terbang cepat menghindari serangan lidah beracun dari monster itu. Tubuhnya sudah mahir sekarang menggunakan jubah terbang milik Rayzeul. Aciel mengeluarkan tongkat halilintarnya, kemudian mengarahkan tongkat tersebut ke tubuh monster berkepala ular. Ctarr Ctarr Monster berkepala ular tersebut juga sudah semakin gesit menghindari serangan halilintar-halilin
Aciel menepuk-nepukkan kedua tangannya pada celana hitamnya yang kini sudah kotor, dan bahkan ada bagian yang sobek. “Baiklah aku sudah siap.”“Pada hitungan ke sepuluh, pintu berwarna merah akan muncul dihadapan mu. Setelah pintu tersebut muncul, kalian bisa langsung masuk ke dalamnya dan menolong teman kalian. Semoga beruntung!” seru Greeny, yang suaranya menggema di langit-langit goa tersebut.“Sepuluh … Sembilan … delapan … tujuh … enam … lima … empat … tiga … dua … satu.” Lucy menghentikkan hitungannya, kemudian beberapa detik sebelahnya muncullah pintu merah dihadapan Aciel dan Felix.Aciel menghembuskan napasnya pelan, tangan kanannya kini mulai memegang kenop pintu tersebut. Dengan mata emasnya yang terlihat berapi-api, dia memutar kenop pintu tersebut dan melangkah masuk ketika pintu itu terbuka.Baru saja melangkahkan kakinya masuk, wajah Aciel sud
Aciel, Rayzeul, Aredel, dan Felix telah masuk kembali ke mini jet mereka. Rayzeul yang memegang kendali kemudi mini jet kali ini, sedangkan Aciel tengah tertidur di kursi belakang. “Rayzeul … kita mau kemana?” tanya Aredel lalu mendudukkan dirinya di sebelah pria berambut putih itu. “Kita cari tempat berkemah dulu, kita harus istirahat sebelum ke kerajaan,” jawab Rayzeul. “Iyah, meskipun kita tidak tahu apa yang dimaksud dengan kacau tadi oleh para penyihir … setidaknya kita harus memulihkan tenaga dulu.” Aredel melirik tubuh Aciel yang kini sedang tertidur pulas di kursi belakang. “Kau pasti sangat mengkhawatirkannya ya.” Rayzeul tersenyum kecil seraya melirikkan mata hijaunya ke wajah Aredel. “Tentu saja! Apalagi, malah dia yang menolongku tadi … bukan aku yang menolongnya,” ucap Aredel dengan senyuman terpaksa dari bibir mungilnya. “Tapi kau keren, bisa mengembangkan sihir baru mu secepat itu.” Rayzeul menatap lurus ke depan, memper
Setelah selesai makan malam, mereka bertiga masuk ke dalam tenda untuk tidur. “Kasihan sekali Felix tidur sendirian di luar.” “Kalau begitu kau harus menemaninya kakek,” ujar Aciel lalu menidurkan dirinya pada karpet bulu. “Kau lupa kau yang mengajakku ikut dengan kalian?” tanya ketus Rayzeul, lalu ikut membaringkan dirinya di sebelah Aciel. “Rayzeul kau tidak mau tidur di kasur?” tanya Aredel. “Tidak usah, kau saja yang di kasur. Bagaimana pun juga kau perempuan,” jawab pria bersurai putih itu kemudian mulai memejamkan kelopak matanya. “Terima kasih Rayzeul,” ujar Aredel senang kemudian menidurkan tubuhnya yang mungil itu di kasur. Pria bersurai putih menaikan satu alisnya. “Untuk apa?” tanya Rayzeul bingung. “Sudah mau ikut dengan kami, dan melewati semua ini.” Aredel memejamkan matanya. “Berterima kasihlah pada Felix, karena berkat dia aku mau ikut kalian.” Rayzeul membalikkan tubuhnya menghadap pria bersurai merah y
Aciel, Aredel, dan Rayzeul kembali ke mini jet mereka dengan membawa keranjang yang berisi buah-buahan di tangan mereka. Para kera yang mereka selamatkan memberikan mereka banyak buah-buahan seperti manga, pisang, dan apel. Selain buah-buahan para kera juga memberikan kalung liontin berwarna silver berbentuk bintang dengan pinggiran yang bergerigi halus. Kalung tersebut cantik sekali, seperti emas putih tetapi terdapat aura putih bersih di sekelilingnya seperti salju. “Kalung ini indah, siapa di antara kalian yang ingin memakainya?” tanya Aredel seraya memegang kalung cantik itu. “Kau suka? Pakai saja, Aredel pasti cantik sekali jika memakainya kalung itu.” Aciel menaruh keranjang buah di belakang. “Cantik sekali kalungnya, dan ada energi sihir di dalamnya,” ujar perempuan bersurai putih itu kagum dengan mata yang berbinar ketika memperhatikan kalung berliontin bintang tersebut dari dekat. “Pakai saja.” Rayzeul mendudukkan dirinya di kursi belak
Pagi hari di Kota Bayaist Kapsul-kapsul terbang milik Organisasi Pertahanan Kerajaan mendarat mulus di aspal-aspal jalanan Kota Bayaist. Seorang laki-laki paruh baya berambut coklat, atau yang biasa dipanggil Tuan Owen tersebut keluar dari salah satu kapsul terbang tadi. Dengan tangan yang memegang tongkat halilintar, dia terlihat sangat gagah meskipun sudah tua umurnya. Langkah kakinya terlihat mantap, melangkah dengan gagah menghampiri salah satu laba-laba raksasa. Ctarrr Halilintar kecil keluar dari tongkat yang dipegang oleh pria bersurai coklat. Laba-laba raksasa tersebut hangus terbakar, ketika mengenai halilintar mini. Para laba-laba raksasa tersebut memiliki warna yang berbeda. Ada yang berwarna merah hati, hitam legam, coklat, dan berwarna ungu tua. Kota Bayaist terlihat sangat kacau, dengan kapsul-kapsul terbang yang tidak bisa bergerak karena terjerat jaring laba-laba. Jaring-jaring laba-laba yang berwarna putih itu terse
Aredel membulatkan matanya yang hijau itu. Dia terkejut, ketika melihat makhluk putih besar berada tepat di belakangnya. “Beruang kutub raksasa?” Aredel menautkan kedua alisnya memperlihatkan ekspresi bingung. Rooaarrr Bugh Aredel telat membuat lingkaran sihir pelindung, dan alhasil tubuhnya terpental jauh ke depan. Terjatuh tepat, di tumpukkan tebal salju putih. Perempuan mungil itu mengaduh kesakitan, ketika merasakan pukulan keras pada tubuhnya. “Ugh … kenapa aku lambat sekali sih membuat lingkaran sihirnya.” Habis sudah tubuhnya berwarna putih semua, akibat banyak serpihan salju yang menempel di seluruh tubuhnya. Beruang kutub itu mulai melangkahkan kakinya menuju bola salju raksasa. Aredel berdecih pelan, lalu bangkit dan berlari cepat ke arah beruang kutub itu. Cling Aredel membuat lingkaran sihir dari tangan kanannya, yang kini sudah teracung ke depan menghadap makhluk putih besar itu.