Ganis kembali ke meja kerjanya. Mila yang di sebelahnya, langsung melirik. "Kamu tidak habis dimakannya, kan? Terbukti, tubuhmu masih utuh." kelakarnya, sambil memperlihatkan senyumnya."Aku malah sudah habis diciumnya." Ganis melayani candaan sahabatnya ini.Sebenarnya itu memang terjadi, tetapi ia yakin Mila akan menganggap itu tidak mungkin benar-benar terjadi."Kalau kamu sudah diciumnya, pasti sudah jadi patung es." selorohnya menimpali. Dan gelak tawa pun berkumanang, tanpa menghiraukan yang lainnya yang ada di ruangan itu.Aldy tampak lagi fokus pada kertas gambar yang sedang dikerjakannya. Sambil sesekali melihat layar komputer dihadapannya. Nampak tidak punya minat, untuk ikut gabung pada kedua obrolan wanita yang ada di sampingnya itu.Sementara Bram tetap tidak acuh, diam di meja sebelahnya seperti biasa.Ganis kembali pada pekerjaannya, ia sedang mendesain sebuah ruangan kantor yang sedang digarapnya. "Mil, aku sudah buat beberapa desain lagi. Semuanya gaya minimalis, sesu
Selama tiga hari, Prana tidak pernah memintanya lagi untuk datang ke ruangannya. Membuat Ganis tersenyum puas. Kapokkah laki-laki itu setelah ditamparnya dengan keras? Mungkin, lebih kemelukai harga dirinya yang membuat dia merasa marah. Siapa coba, yang berani berbuat sekasar itu padanya?Namun, hari ini Ganis harus menelan air liurnya. Saat Prana datang, langsung ke mejanya. "Ikut denganku." ajaknya datar, tanpa basa-basi.Semua mata, tertuju pada tubuh tegap itu. Ada apa dengan Prana? Padahal tinggal mengangkat telepon saja, bila ingin meminta salah satu karyawannya untuk menemani dia pergi."Ada urusan apa, ya? Pak Prana mengajak saya pergi." tanya Ganis, enggan."Tentu saja, urusan pekerjaan." jawabnya, dingin."Ada Mila yang lebih berkompeten, Pak." liriknya pada Mila, yang sedikit terkejut, atas saran yang diajukannya."Kalau kamu menolak pekerjaanmu, jangan terus bekerja di sini." kemudian dia membalikkan badan dan pergi."Nis, jangan mempersulit dirimu sendiri." saran Mila.
Posisi mereka sangat berbahaya, tetapi kemudian otak jahil Ganis muncul secara spontan.Kedua tangan sudah ada dalam penguasaan Prana. Hanya pinggulnya yang masih bebas, bisa ia manfaatkan.Pinggul Ganis ditekan lalu digoyangkan, membuat mata Prana terbelalak. Ada suatu reaksi yang dia rasakan, sama sekali tidak bisa dia kendalikan.'Perempuan, sialan! Dia harus menerima akibatnya, bila menggoda macan yang sedang tidur.' umpat Prana dalam hati.Dia segera membalikkan posisi tubuh mereka, secara tiba-tiba. Sekarang, Ganis jadi ada di bawahnya. "Wanita penggoda akan tetap jadi wanita penggoda. Mari kita nikmati, di luar konteks kita sebagai atasan dan bawahan." katanya serak, terdengar seksi di telinganya.Dengan mudah, Prana dapat mencium bibirnya. Menggelitik gigi dengan lidah yang panas. Tidak berdaya, Ganis membuka mulutnyaPagutan bibir mereka semakin liar, tangannya masih dalam penguasaan Prana. Ia tahu, Prana sudah dirasuki oleh gairahnya sendiri. Godaan Ganis sudah berhasil mem
Di ruangan kerja divisi site engineer, hanya terdiri dari para ahli arsitektur, drafter dan surveyor. Tidak banyak sekat untuk memiliki ruang pribadi dari masing-masing ahlinya. Di ruangan sebelah, adalah untuk staf pembantu para ahli. Tidak jauh dari situ juga, ada ruangan rapat umum, di lantai dua ini. Sementara di lantai satu dalam ruangan besar, adalah tempat staf administrasi dan divisi lainnya yang berhubungan dengan perusahaan. Ada satu ruangan yang dimiliki oleh Felix sebagai CEO. Sementara paling depannya, adalah ruang tamu dengan dua resepsionis cantik. Siap melayani siapapun yang datang ke perusahan PT. Multi Karya tbk ini.Ganis sedang ada di ruangan sebelah, menemui asistennya saat Felix masuk ke ruangan kerja. Langsung menatap kursi miliknya yang kosong, lalu ia melirik Mila dengan tatapan bertanya."Lagi ada di ruangan sebelah." beritahu Mila. Tersenyum mengerti.Felix duduk di kursi Ganis, menunggu."Aku menghubungi Ganis kemarin, tapi tidak dijawab. Sorenya, malah
Saat jam istirahat Felix dan Ganis baru saja turun dari tangga, untuk sama-sama makan siang seperti yang sudah dijanjikan. Di lantai satu, mereka bertemu dengan Prana yang baru keluar dari Lift. "Hai Pran, mau keluar juga?" sapa Felix, dengan semringah. Begitu melihat sahabatnya itu. Prana hanya menatapnya sekilas, dengan tampang dinginnya. Kemudian kepada Ganis, sudut bibirnya sedikit terangkat sinis."Emang lo aja yang lapar? Gue juga manusia, butuh asupan makanan untuk tetap hidup." cemoohnya, kasar."Biasa aja jawabnya, kenapa lo harus sinis begitu?" ledeknya, "gua mau makan siang dengan Ganis." tangan Felix memeluk bahunya. Sementara Ganis, tidak menunjukkan reaksi apapun."Boleh gue ikut gabung?" tanyanya datar, seolah tanpa dosa. Jelas-jelas kalau Felix hanya ingin berdua saja dengan Ganis. Sepertinya Prana, hanya ingin mengganggu Felix secara iseng."Maaf, kali ini tidak ada orang ketiga. Mau jadi kambing congek, lo?" semprot Felix, tajam.Namun, kata-kata pedas Felix tidak
Felix yang tidak mau terganggu oleh kehadiran Prana, berusaha tidak menutupi rasa keberatannya. "Heran gue, malah lo muncul di sini." ucapnya, dengan menunjukan wajah perangnya.Prana malah menatapnya dengan heran. "Lo tahu, pasti gue nongkrongnya di sini."Tampak Felix terdiam untuk sesaat. Lalu menepuk jidatnya sendiri. "Lupa gue, kalau ini kafe milik lo." menatap Prana, dengan ringisan. "Gue yang salah, kenapa musti ngajak Ganis dimari?" sesalnya. Entahlah, mungkin karena terlalu senang bisa terlaksana jalan bersama Ganis dan ingin membawanya ke tempat makan terbaik. Sampai dia lupa kalau kafe ini milik Prana. Sahabat yang saat ini, sangat ingin dihindarinya. Ia tidak ingin momen kebersamaannya dengan Ganis jadi terganggu, meski oleh sesosok dingin semacam Prana.Pengetahuan baru lagi buat Ganis soal Prana, setelah perpisahannya selama ini.Prana selalu menggunakan bahasa formal ketika bicara dan bahasa Inggris, bila dia ingin melatih Ganis terampil dalam bahasa itu. Namun, ia me
Ganis jadi mengingat awal pertemuannya dengan Prana dilima tahun yang lalu.Flashback onTante Rini adalah tantenya Prana, adik dari ayahnya Edward. Bersahabat baik dengan ibunya Naning, sejak SMP sampai lulus SMA. Orang tua Prana tinggal di Australia. Sementara Prana sejak masuk SMA, ikut tantenya Rini, tinggal di Indonesia.Suatu saat, Naning bercerita tentang sahabatnya Rini ini kepada Ganis. "Nis, seminggu yang lalu, ibu ketemu loh dengan temen ibu yang sudah lama banget gak ketemu." cerita Naning memulai obrolan.Saat itu mereka sedang berada di ruangan keluarga. Ia baru bangun dari tidur siangnya, sedang ibunya baru saja pulang dari toko batiknya yang ada di jl. Malioboro. "Ia masih kelihatan cantik, seperti dulu." sambungnya lagi."Ibu juga masih kelihatan cantik, kok." puji Ganis, melirik ibunya sambil mendaratkan bokong di kursi. "Masih terlihat cantik Rinilah. Wajahnya terawat, sementara ibu, tidak." Ganis menatap ibunya dengan senyum jenakanya. "Tanpa dirawat pun, wajah
Mereka sudah duduk di ruang tamu. Ganis mengerti, saat melihat tangan ibunya tidak mau lepas dari tangan sahabatnya itu. Jadi, dialah yang membawakan minuman dan camilannya. Menaruhnya diatas meja.Ganis mempersilahkan mereka untuk menikmati makanan sederhana yang sudah terhidang, dengan ramah. Tanpa sedikitpun menoleh lagi pada Prana yang terdiam di kursinya.Tante Rini mengambil kue nagasari, "Ini, buatanmu, Ning?" tanyanya. Tangannya mengacungkan kue yang terbungkus daun pisang itu, sebelum membukanya.Naning mesem-mesem. "Iya, Rin. Subuh tadi aku membuatnya dengan Ganis. Gak tahu enak, apa nggaknya. Malu aku, dari dulu kan kamu yang pintar bikin kuenya." kekehnya.Rini menyuapkan kue yang berbahan tepung beras dan pisang itu, ke mulutnya. "Ini enak loh, Ning." pujinya. Melihat Naning, lalu pandangannya dialihkan kepada Gustaf dan Prana secara bergantian. "Ini beneran enak, wajib dicoba."Gustaf mengikuti saran istrinya, mengambil kue itu sambil mengangguk dulu pada Naning, "Saya m