Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
Bola plastik itu menggelinding di area mall megah yang sedang banyak pengunjungnya, lalu bersarang di bawah kaki seseorang. Di belakangnya berlari seorang bocah laki-laki kecil sekitar tiga tahunan. sepertinya sedang mengejar bola itu.Tubuhnya yang mungil, tampak bulat berisi, seperti bola yang di kejarnya. Wajah yang tampan, terlihat sangat menggemaskan.Sementara di tempat lain lagi yang tidak begitu jauh dari sana, seorang perempuan cantik berambut panjang hendak mengejar anaknya yang bernama Gagah. Langkahnya terhenti seketika.Deg! Ia mengenali siapa pemilik sepatu itu, yang berdiri menjulang tinggi di hadapan anak laki-laki kecilnya. Dengan segera tubuh rampingnya menyelinap ke belakang sebuah pilar besar penopang bangunan mall, secara diam-diam. Dengan hati cemas, ia terus memperhatikan lokasi Gagah dan laki-laki tinggi itu berada.Wajah Gagah terangkat, saat mengetahui bola miliknya tertahan di kaki seseorang yang tidak dikenalnya."Bolaku" tunjuk Gagah, mengarah pada sepat
Tekad kuat kepindahan Ganis dari Yogyakarta ke Jakarta, karena sudah diterima bekerja di perusahaan kontraktor PT Multi Karya tbk. Sebuah perusahaan yang sedang berkembang, walau belum dikatakan jadi besar, tapi prospeknya cukup menjanjikan. Mila teman satu kelas saat kuliahnya dulu, yang memberitahukan ada lowongan kerja di perusahaan di mana ia bekerja. Mereka sangat membutuhkan seorang desain interior yang sesuai dengan keahliannya, setelah menimba ilmu dengan susah payah selama ini. Ganis tidak ingin untuk terus jadi penata dekorasi di sebuah EO. Selain gajinya yang tidak begitu besar, meski hampir mirip-mirip, ia merasa itu bukan bidangnya.Pertama masuk kerja, Ganis diperkenalkan pada CEO yang bernama Felix. Seorang yang masih muda, tampan dan punya kharisma. Ia disambut dengan senyum ramahnya, sama sekali tidak ada kesan seramnya. Seperti biasa ia temui, bila berhadapan dengan para petinggi perusahaan. Felix membawanya ke sebuah ruangan besar, dengan orang-orang yang memili
Ganis tidak begitu memikirkan kata-kata Mila soal Direktur Utama itu. Baginya yang penting, ia bekerja dengan sangat baik. Bisa menuangkan ide kreatifnya, sesuai dengan yang diinginkan oleh kliennya.Sudah beberapa kali ia survey ke lapangan. Kadang di temani Mila, untuk mencari mebel yang sesuai dengan konsep gambarnya."Mil, sepertinya barang-barang mebel di sini lebih tinggi harganya dibanding di Yogya. Aku punya teman di sana, dia pengrajin mebel yang hasil kerjanya bagus dan bisa dipercaya." katanya kepada Mila, setelah keluar dari toko mebel yang cukup besar."Itu pasti, Nis. Aku sudah bekerja sama dengan beberapa pengrajin di daerah, dengan pikiran harganya lebih murah dan kita bisa pesan sesuai konsep kita. Namun, kadang terkendala sama waktu dan modal mereka yang tidak begitu memadai. Sehingga, kadang menghambat pekerjaan kita, karena barang yang kita inginkan belum tersedia tepat pada waktunya. Aku sudah mengalaminya beberapa kali. Jadi, aku lebih memilih ambil dari toko wal
Sepeninggal Felix dan pintu tertutup, Ganis tetap berdiri menunggu dipersilahkan untuk duduk. Wajah cantiknya terlihat datar, tidak ingin menunjukan ekspresi apapun. "Duduklah." Prana mempersilahkannya dengan nada dingin.Ganis duduk, tidak peduli dengan Prana yang tidak mau melepaskan tatapannya sedetikpun. "Kamu bekerja di sini?" tanyanya. Sorot mata Ganis tanpak tajam, menatap orang di hadapannya ini. "Anda lihat sendiri sekarang." jawabnya ketus. Ia bertekad tidak mau terintimidasi lagi oleh sikap dinginnya.Cukup sudah sikap Ganis yang selalu patuh, mengatakan 'ya' dan selalu mengikuti apa maunya tanpa banyak protes.Mata Prana sedikit menyipit, wanita yang empat tahun lalu sepertinya sudah benar-benar menghilang. Pribadinya yang manis, tenggelam di balik matanya yang cukup menusuk jantung. Dia masih terluka karena pengkhianatannya. Rasa sakit, masih bercokol lekat di hatinya.Prana menggeram, terlihat dari kedutan rahangnya yang terlihat kokoh. "Seharusnya kau tidak bekerja d
Memasuki kembali ruang kerjanya, perasaan Ganis sudah mulai tenang. Bagaimanapun, pikirnya. Ia harus bisa menegakkan badannya untuk menghadapi Prana. Jangan terlihat lemah, seperti Ganis yang dikenalnya selama ini. Yang manja, yang kolokkan dan sangat naif, hingga semua orang dianggapnya baik.Dengan sedikit memperbaiki riasan wajahnya, Ganis sudah tampak segar lagi. Meski kesembaban matanya, tidak begitu dapat ia tutupi."Nis, tadi kenapa wajahmu pucat sekali?" Tiba-tiba Felix mengamit tangan Ganis, begitu melihat wanita itu masuk ke ruangan rapat bersama Mila."Aku memang agak kurang enak badan hari ini, tapi tidak apa-apa. Aku sudah minum obat pusing tadi, sebelum ke sini." dustanya. Felix menatapnya menyelidik. Wajahnya memang sudah tidak lagi terlalu pucat seperti tadi."Kalau begitu, sebaiknya kamu istirahat saja. Tidak perlu ikut rapat hari ini. Aku bisa memberi menjelaskan kepada Prana tentang kondisimu saat ini." "Kamu mau melewatkanku, untuk menunjukan kemampuanku pada Dir
"Tadi itu kamu luar biasa loh, Nis. Aku kira kamu akan terpengaruh dengan sikap Prana yang kamu tahu sendiri, dinginnya seperti apa. Entahlah, sejak aku mengenalnya, sikapnya selalu begitu." ungkap Mila, sambil bersender di meja kerjanya Ganis. Menatap teman yang ada di hadapannya ini, terduduk lesu."Laki-laki yang tidak pernah menerima kesalahan." gumamnya, malas."Tapi sebenernya tidak begitu juga, Nis. Sepanjang pekerjaan kita bagus, dia dengan mudah menerimanya. Awal-awal mengenalnya pun, aku beranggapan kalau dia laki-laki yang tidak mengenal kompromi. Namun, setelah ke sini-sininya sih, ternyata tidak juga. Jadi abaikan saja sikap dinginnya itu." saran Mila.Ganis tersenyum ragu, tidak begitu yakin akan pendapat Mila. Bagaimana juga, ia yang lebih mengenal siapa lelaki itu."Jangan patah semangat, Nis. Tadi itu sudah merupakan awal yang bagus. Kalau dia tidak setuju, akan mengatakannya secara langsung kok." sebelum balik ke mejanya sendiri, Mila menepuk pundak Ganis. "Semangat
Gagah menyambutnya, dengan keceriaan seorang bocah yang melihat maminya sudah pulang. Setelah berjam-jam ditinggalkan hanya dengan neneknya."Mami." panggilnya. Tubuhnya bergelayut di kakinya. Membuat Ganis susah untuk melangkah. Namun, dengan berat ia menyeretnya, membuat anak kecil itu tertawa-tawa. Bergelantung di sebelah kakinya seperti monyet yang sangat lucu.Ini sudah jadi kebiasaan, tubuh anaknya yang masih kecil sangat suka diperlakukan seperti itu. Melihat maminya berjalan tertatih-tatih. Kemudian Ganis akan mengangkat tubuh mungil itu ke pinggangnya, sambil menggelitik perut gendutnya. Gagah semakin mengeraskan tawanya, karena kegelian."Gagah hari ini tidak nakal, kan?" tanya Ganis, sambil mencolek hidung Gagah dengan gemasnya."Mami tanya eang (eyang) aja." jawab Gagah. Mencium kedua pipi Ganis, lalu hidungnya, dan terakhir tubuhnya agak terangkat untuk bisa mencium dahinya. Mata bulat itu menatapnya, terlihat rekahan senyum di bibirnya yang mungil."Anak Mami yang baik."