“Hahaha ….”
Suara tawa pecah membahana. Memenuhi seluruh ballroom sebuah hotel ternama. Semua mata tertuju pada film yang sedang diputar.
“Konyol sekali!” seru Joe sambil memegangi perut. “Laura, bukankah kau bilang kekasihmu lulusan S3 sebuah kampus terkenal di luar negeri?”
Mata lelaki itu tertuju pada seorang gadis berambut hitam panjang. Dia tegak di sisi kanan. Menatap tak berkedip pada film yang masih berputar. Wajahnya menegang dan berubah kelam.
“Coba lihat baik-baik! Diakah lelaki yang kau maksud itu?” Joe menatap tak berkedip pada gambar hidup yang terus bergerak. “Astaga! Aku tak percaya seorang lulusan luar negeri hanya mampu bekerja pada bengkel kecil!”
Saat itu, tayangan film menampilkan sosok seorang lelaki gagah dengan wajah penuh oli sedang memperbaiki sebuah mobil tua.
“Iya, S3 … SD, SMP, SMA … hahaha ….” Bram menimpali dengan tawa mengejek yang lebih kencang.
Berdiri terpaku di sisi kanan Laura, Gallen mengeritkan gigi menyaksikan dirinya menjadi pemeran utama film dokumenter tersebut. Dia tidak mengerti bagaimana film yang semula menayangkan perjalanan kisah cinta sepasang kekasih itu berganti menjadi film tentang dirinya.
Dia datang ke hotel itu untuk memenuhi undangan Laura, menghadiri pernikahan Rosetta. Tak disangka dia malah dipermalukan dan menjadi bahan tertawaan keluarga besar Laura.
“Hei, Bung!” Joe menepuk pundak Gallen cukup keras. “Mimpi jangan ketinggian!”
“Benar! Nanti kalau jatuh, sakitnya pakai banget dan nangis darah!” Bram menimpali dengan seringai mengejek.
Mata Bram memindai penampilan Gallen dari ujung kepala hingga ke kaki. Tubuh Gallen hanya terbalut kemeja murah, dengan warna yang mulai memudar. Begitu pula dengan celana yang menutupi kaki panjangnya. Warna hitamnya nyaris mendekati abu-abu gelap.
“Lihat dirimu! Kau tak ubahnya seperti seorang cleaning service di sini.”
Gallen mengedarkan pandangan. Para tamu yang hadir adalah orang-orang dari golongan ekonomi kelas atas. Tubuh-tubuh yang terawat baik tersebut terbungkus dalam balutan gaun-gaun mewah. Sungguh berbanding terbalik dengan pakaian yang dikenakannya.
Setiap pasang mata di ruangan besar itu memandang jijik pada Gallen. Dia bagaikan seekor gagak yang berada di tengah sekawanan burung merak.
“Bung, seharusnya kau berkaca sebelum masuk ke ruangan ini!”
Bram menepuk pundak Gallen dan meremasnya cukup keras. Dengan tekanan tersebut, dia ingin menunjukkan superioritasnya terhadap Gallen.
“Aku ke sini untuk memenuhi undangan Laura,” sahut Gallen santai. Air mukanya tak beriak sama sekali. “Lagi pula, bukankah pesta ini tidak mensyaratkan dress code?”
“Hahaha ….” Sekali lagi ruangan itu dipenuhi suara tawa.
Bram melirik Laura. “Laura, dari mana kau menemukan manusia tak tahu malu ini?” tanyanya dengan seringai mengejek. “Dress code? Lucu sekali dia sanggup mempertanyakan itu.”
Bram mengalihkan perhatiannya pada Gallen. Menyapu penampilan Gallen dengan tatapan mencemooh. “Kau bahkan tidak memiliki pakaian yang pantas untuk ke pesta. Bagaimana mungkin kau bisa hadir di sini dengan dress code tertentu? Apa kau punya cukup uang untuk membelinya?”
“Wow! Luar biasa! Lihat itu!”
Pujian dalam nada sarkastis mengalihkan perhatian Bram. Mengikuti arah jari telunjuk Joe, pandangan Bram mendarat pada adegan Gallen mengejar selembar uang senilai sepuluh ribu rupiah yang terbang terbawa embusan angin. Sebelah tangannya masih memegang selang compressor. Dia baru saja selesai mengisi angin salah satu ban mobil pelanggan.
Dengan tubuh dekil, Gallen tampak seperti seorang pengemis yang sedang memungut lembaran uang hasil belas kasihan sang pemilik mobil.
Plak!
Tanpa diduga, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Gallen. Laura memandangnya dengan muka merah padam. Deru napasnya memburu. Jelas sekali dia tengah melampiaskan kekesalannya pada Gallen karena malu.
“Dasar penipu! Mulai sekarang kita putus!”
Gallen terperangah. Dia mematung lantaran tak menyangka akan menerima serangan mendadak dari Laura. Dia tak sempat menghindari tamparan itu.
“La–Laura!” Saat Gallen mendapatkan kembali kesadarannya, Laura telah menjauh.
“Hei, hei! Siapa yang berani mengganggu Laura-ku yang cantik?”
Jody mengadang langkah Laura. Lelaki itu dua tahun lebih tua dari Laura. Dari penampilannya, siapa pun bisa menilai bahwa dia berasal dari kalangan ekonomi kelas atas.
***
Terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini. Mohon dukungan sobat semua dengan menambahkan buku ini ke rak/pustaka, ikut meramaikan kolom review dengan komentar, serta mengirimkan gem.
Gallen berhasil menyusul langkah kaki Laura dan mencekal lengannya. Dia butuh penjelasan kenapa Laura memutuskan hubungan kasih mereka hanya karena sebuah film pendek yang mengekspos sebagian kecil kebenaran tentang dirinya. “Singkirkan tangan kotormu itu dariku!” Laura meledak. Ekspresi jijik tergambar jelas pada wajahnya. “Tidak, sebelum kau menjelaskan kenapa hubungan kita harus berakhir.” “Hahaha ….” Ledakan tawa kembali terdengar, diiringi langkah kaki yang kian mendekat. “Lihat lelaki bodoh itu! Dia masih belum sadar juga!” Bram menampilkan seringai mengejek di wajahnya. Gallen mengabaikan kata-kata Bram. Tatapannya lekat pada Laura. Mereka sudah menjalin hubungan lebih dari tujuh tahun. Walaupun sebagian besar dari jalinan cinta itu mereka jalani secara jarak jauh, tetap saja mereka tidak bisa mengkhirinya begitu saja. “Aku tidak sudi menjadi kekasih seorang penipu!” Suara Laura bergetar karena marah. Dia benar-benar kec
Berpikir bahwa kehadirannya tak lagi bermakna di hotel itu, Gallen melarikan motor bututnya dari pelataran parkir. Pikiran kacau karena hatinya tercabik dengan luka yang tak berdarah membuat laju kendaraannya kehilangan tenaga. Motor bebek butut itu merupakan warisan ayahnya. Setiap kali dia mengendarainya, orang-orang selalu meledeknya, tetapi mereka tidak tahu kalau dia telah memodifikasi mesin motor tua itu. Dalam kondisi terdesak, Gallen dapat memacu motor butut tersebut menyamai motor dengan kapasitas bahan bakar di atas 1.000 cc. Sialnya, hari ini yang terjadi justru sebaliknya. Motor itu berlari seperti kura-kura bila disandingkan dengan kelinci. Sepanjang jalan kepala Gallen dipenuhi dengan adegan Laura mencampakkannya. Dia tidak pernah tahu kalau patah hati bakal sesakit itu. Rasanya dia kehilangan separuh jiwa dan semangat hidupnya. Di tengah pikiran yang sedang kalut, Gallen menjengkit. Sebuah mobil berwarna merah metalik melaju oleng dari arah ber
“Papa?” Ara terperangah saat mengenali lelaki yang baru saja menyabotase perkenalannya dengan Gallen. Dia terlonjak tegak, begitu pula dengan Gallen. Siapa yang mengira Guntur Priambudi akan menemukannya di sini. Gallen mengernyit sepintas lalu lantaran tak mengharapkan kemunculan keluarga Ara yang tiba-tiba. Sebelum Gallen sepenuhnya mampu menguasai rasa terkejutnya, Ara sudah diseret menjauh, meninggalkan meja. Dua lelaki berbadan kekar membekuk Gallen. Kekagetan membuatnya lengah. Dia hanya bisa mengikuti ke mana dua orang itu membawanya. “Lepaskan dia, Pa!” cicit Ara, memandang Gallen dengan perasaan bersalah. “Masuk!” Guntur mendorong Ara ke dalam mobil. Di mobil lainnya, Gallen pun menerima perlakuan yang sama. Hidungnya nyaris mencium permukaan jok ketika dia tersungkur. Sebelum Gallen sempat memperbaiki posisi tubuhnya, sesuatu menusuk lehernya. Rasanya seperti digigit semut merah. Dalam sekejap, semuanya menjadi gelap. Gallen kehilangan kesadaran
Saat Gallen merasa dirinya di ambang napas terakhir, dia membayangkan senyuman hangat ibunya. Selanjutnya, semua terlihat gelap. Gallen kehilangan kesadarannya. Menyadari tubuh Gallen tak lagi bergerak, Codet dan anak buahnya serentak menghentikan serangan mereka. Salah satu anak buahnya berjongkok. Mendekatkan jari pada di bawah lubang hidung Gallen. “Dia masih hidup, Bos!” Codet mengibaskan tangan. “Tugas kita hanya memberinya pelajaran, bukan menghabisinya.” “Tapi, Bos—” “Apa kau lupa? Kali ini kita hanya diminta untuk melakukan tindak kekerasan, bukan pembunuhan!” “Bagaimana kalau dia melaporkan kita setelah dia sadar?” tanya anak buahnya yang lain. “Dia bahkan mungkin tidak mengenali dirinya sendiri saat bangun nanti. Apa kau pikir dia akan mengingat kita?” Sebenarnya Codet sedikit kesal dengan keceriwisan dua anak buahnya itu. Akan tetapi, mengingat keduanya baru saja bergabung beberapa hari yang lalu, Codet berus
Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara. “Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya. Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!” Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa. Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya. Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala. Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!” Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?” “Siapa lagi kalau bukan lelaki yan
“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.” Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.” Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit. Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh. Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya. Helaan na
Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya. Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian. Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja. “Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.” Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan. “Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!” Perawat it
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif