LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKU
Bab 6
Dari bangun tidur, Mas Damar tidak berhenti bersin, hidungnya sampai memerah dan meler.
“Nakal. Aku udah bilang pake bajunya malah nggak denger, kena flu 'kan sekarang.” Pagi-pagi aku sudah kesal dibuatnya.
Baru saja datang sudah terkena flu begini. Meskipun udaranya terasa panas tapi tetap akan masuk angin jika tidur tidak memakai baju. Udara di desa dan kota jelas sangat berbeda. Dia juga seharusnya masih menyesuaikan karena ini pertama kalinya datang kesini.
Eh, tapi apa dia juga pernah kesini untuk bertemu keluarga Desi? Tidak mungkin melamar tanpa datang kesini. Berarti keluarga Desi pasti mengenali Mas Damar. Mustahil jika tidak.
“Diam aja di rumah, biar aku pergi ke pasar bareng Bibi.”
“Nggak, sayang. Aku cuman flu doang bukan sakit parah. Ada masker 'kan?”
Keningku berkerut, “Masker?”
“Iya, jangan sampe nanti Aslan ikut kena flu gara-gara aku. Sekalian nanti beli obat di apotik.”
Apa dia sengaja membuat dirinya flu agar bisa menutupi wajahnya dengan masker? Benakku penuh dengan pikiran buruk. Aku tidak suka situasi seperti ini, aku bukan orang yang suudzon tapi entah kenapa sekarang malah pikiran buruk yang mendominasi.
Kenapa ada kebetulan macam ini.
Aku mengambil masker di dalam tas dan menyerahkan padanya sebelum keluar kamar. Dia mengekoriku keluar dari kamar setelah memakai masker.
“Papi, Papi.”
Aslan begitu girang tahu papinya datang, tangannya sudah merentang ingin digendong.
“Dituntun aja ya, pinggang Papi sakit,” keluhnya.
“Untung semalem Aslan tidur di kamar Bibi.”
“Nggak gitu, Bi.” Aku menyangkal pemikiran Bibi.
“Udah lama nikah juga masih malu-malu gitu. Semangat banget ya bikin adeknya Aslan.”
Daripada hatiku semakin sakit karena Bibi bicara seperti itu seolah-olah hubunganku dan Mas Damar baik-baik saja, lebih baik pergi ke pasar membelikan kapal-kapalan untuk Aslan.
“Papi kenapa pake masker? Corona udah pergi,” celetuk Aslan.
“Papi sedang flu, biar Aslan nggak tertular.”
“Papi itu sensitif, gampang terkena virus makanya harus kuat iman eh maksudnya kuat antibodinya.” Sengaja aku menyindir tapi tidak ada raut aneh, Mas Damar malah terkekeh pelan sambil menatapku penuh arti.
Dia pasti berpikir aku masih cemburu. Padahal aku bukan cemburu lagi tapi marah besar padanya.
“Mau pergi jalan kaki apa pake motor? Pake mobil ribet soalnya, jalan ke pasar sempit.”
“Jalan kaki aja, Bi. Sekalian olahraga, lagi pula pasar 'kan nggak jauh.”
“Ya udah. Bibi juga mau ke rumah Bu RT dulu, nanti ambil kunci di sana.”
“Iya, Bi.” Aku menggandeng tangan Aslan keluar dari rumah.
Baru sampai di halaman Mas Damar kembali ke dalam dan keluar sudah menggunakan topi.
Terlihat sekali, apa karena tidak ingin ada yang mengenalinya.
“Ayo Aslan, Papi gendong.”
“Bukannya kamu sakit pinggang?”
Mas Damar berjongkok dan Aslan langsung memposisikan duduk di pundak papinya itu.
“Kalau Aslan nggak digendong aku nggak bisa pegang tangan kamu.” Dia berdiri langsung meraih sebelah tanganku, sebelah tangannya dipakai untuk menyangga tubuh Aslan.
“Kita bukan mau nyebrang.” Kutepis tangannya.
“Jangan gitu, sayang. Malu loh dilihat tetangga kamu, nanti kita digunjing gimana?”
Ini memang salah satunya yang aku tidak suka jika pulang kampung. Para tetangga kadang terlalu ikut campur, melewati batasan.
Terpaksa menerima uluran tangannya, kami akan berjalan melewati rumah Desi. Aku ingin tahu apakah dia bisa mengenali calon suaminya ini atau tidak.
“Eh, Una. Suaminya ya?” Dari teras rumahnya ibunya Desi menegur.
“Iya. Mas Damar suami aku,” jawabku singkat sambil mengulas senyum.
Mas Damar juga terlihat hanya mengangguk kecil karena senyum pun percuma karena tertutup masker.
“Kok kemarin datengnya nggak kelihatan tiba-tiba ada disini aja?”
“Datengnya subuh tadi.”
Dari dalam rumah Desi berjalan dengan langkah lebar.
“Una, ini suami kamu yang kuli itu?” Jika saja tidak ingat malu sudah ku tancapkan kuku di wajahnya yang tebal oleh foundation itu.
Kulirik Mas Damar yang diam mematung.
“Kok pake masker gitu sih? Mukanya pas-pasan ya?”
Mulutnya sekotor comberan! Ibunya yang melihat juga malah diam tidak menegur. Haish! Aku lupa jika mereka sebelas dua belas.
“Mami, ayo.” Aslan merengek.
“Bu, Des. Kami pamit dulu mau ke pasar.”
“Beliin mainan yang mahalan dikit, kasian.”
Aku tidak memperdulikan ucapannya dan melengos menarik tangan Mas Damar yang masih berdiri kaku.
“Kamu kenapa masih berdiri aja tadi? Kamu kenal sama Desi?” Kulirik dia yang masih terdiam.
“Nggak tuh, ini pertama kalinya aku lihat. Kok orangnya ngeslin banget, emang dia nggak tahu suami kamu ini siapa? Pake ngatain aku kuli lagi. Kamu nggak marah suami ganteng kamu ini dibilang kuli?”
“Beneran nggak kenal atau pura-pura nggak kenal? Sampe liatnya gitu banget.” Sengaja ku abaikan pertanyaannya yang terakhir.
“Apaan sih, sayang. Aku bener nggak kenal kok, ke tempat ini aja aku baru sekarang.”
Terserahlah. Aku capek sendiri jika terus memojokkannya karena akan sia-sia.
“Lepas.” Kuhempaskan tangannya, “Udah sepi, nggak ada tetangga aku disini.”
“Aslan, turun sayang. Jalan aja, nggak usah digendong Papi.”
“Papi, turun.”
Mas Damar berjongkok dan menurunkan Aslan. Lebih baik seperti ini, aku orangnya paling susah menahan emosi jadi daripada ribut di depan Aslan lebih baik dia jadi penengah.
“Papi, pulangnya nanti ya kalau Aslan udah masuk sekolah. Sekarang liburnya masih lama.” Aslan mulai berceloteh.
“Nggak bisa, Papi harus kerja.”
“Kerja kamu bisa dari sini kali, Mas. Meeting virtual juga bisa 'kan? Jangan cuman kerjaan yang kamu utamain, jarang-jarang loh kita liburan begini.”
Mas Damar tidak langsung menjawab, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Jika aku menahannya satu bulan disini, bagaimana ya?
Desi mengatakan pernikahannya kurang lebih satu bulan lagi. Di rumahnya juga hari ini sudah mulai ada persiapan. Tapi aku belum dapat surat undangannya, ingin lihat nama yang tertulis di sana.
“Iya, Papi temani Aslan liburan disini. Tapi kalau Papi tiba-tiba ada kerjaan dan harus pulang, Aslan nggak boleh ngambek ya.”
“Iya, tapi Papi harus balik lagi.”
Apa maksudnya dengan tiba-tiba ada kerjaan dan harus pulang? Apa karena pernikahannya dan Desi?
Ah … menduga-duga seperti ini malah membuat kepalaku berdenyut.
Refleks tanganku terangkat memijat pelipis.
“Sayang, kenapa?” Mas Damar menghentikan langkahnya dan menyentuh kepalaku.
“Nggak apa-apa kok. Ayo jalan lagi, keburu siang nanti panas.”
Belum sempat kembali berjalan, ponsel Mas Damar berdering. Dia sedikit menjauh saat akan mengangkat telepon.
Semakin ingin percaya aku semakin merasa curiga.
Bersambung ….
Netraku tidak lepas memandangi Mas Damar yang terlihat serius bicara dengan orang yang menelponnya.“Mami, ayo. Papi lama ….” Aslan mulai merengek karena tidak sabar.“Sebentar ya, Papi lagi telepon.”“Nanti beli kue ya, Mi. Aslan mau makan kue bareng temen-temen.”Aku berjongkok memegang pundak kecilnya, “Aslan punya temen disini?”Dia mengangguk kecil, “Iya tapi kemarin pulang karena dipanggil Ibunya. Aslan mau beli makanan banyak biar bisa lama-lama main sama mereka.”Kuusap lembut puncak kepalanya, “Iya, nanti kita beli ya. Anak Mami memang pintar, kita memang harus belajar berbagi.”“Pintar kayak Mami,” sahutnya. Dia langsung berhambur memelukku.Berbagi makanan atau barang masih boleh tapi berbagi orang yang dicintai itu tidak akan pernah bisa dilakukan oleh siapapun. Orang bodoh mana yang mau membagi orang yang dicintainya dengan orang lain. Aku pun tidak akan mau. Saat semua mengarah pada Mas Damar, aku masih menahan diri dan ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri jika mem
“Aku penasaran aja mukanya kayak apa. Pengen bandingin gantengan siapa sama calon suami aku.”Aku memutar bola mata malas, “nggak usah banding-bandingin, semua cowok itu ganteng di mata orang yang tepat.”“Suami mukanya pas-pasan aja pelit banget.”Kulepaskan paksa tangannya, “Udah ya, aku capek banget. Mau pulang. Nggak usah penasaran sama muka suami aku, yang ada nanti kamu jantungan lagi.”“Karena jelek ya?”“Terserah kamu lah mau mikir kayak apa juga, aku nggak peduli.”Aku tidak memperdulikan teriakannya dan terus melangkah menjauh. Datang ke kampung untuk liburan dan silaturahmi bersama keluargaku yang lain tapi malah musibah yang didapatkan. Tapi mungkin jika kau tidak datang kesini aku tidak akan ahu menahu soal Mas Damar yang kemungkinan besar selingkuh dengan Desi.Tapi kalau memang selingkuh kenapa harus Desi? Dia memiliki banyak kenalan wanita yang kulihat dari parasnya lumayan. Bukan aku mengatakan Desi tidak cantik, semua wanita cantik dan memiliki kelebihan masing-masi
“Ya ampun, Mas.”Aku meringis melihat dahinya memar.“Kamu kenapa sih?” tanya Mas Damar sambil mengelus dahinya.“Una, Una. Cepetan dong, aku buru-buru nih.” Desi berteriak dari luar sambil menggedor pintu.Dia bisa membangunkan Aslan jika membuat ribut begitu.Aku menarik Mas Damar ke kamar.Ini menyangkut harga diri, aku tidak mau ada keributan disini meskipun iya Mas Damar dan Desi selingkuh. Tapi aku tidak ingin semua itu terbongkar dan menjadi konsumsi publik, itu aib.Apalagi Desi tidak akan diam saja jika tahu Mas Damar suamiku, bisa jadi seluruh desa tahu. Bukan tidak ingin mempertemukan mereka dan meminta penjelasan langsung dari kedua belah pihak. Banyak yang harus aku pertimbangkan termasuk bukti yang harus ada di tangan.“Kamu diem disini, jangan keluar. Kunci mobil mana?”“Di saku jaket.”Aku meraih jaketnya yang tersampir di kursi dan merogoh kunci dari dalamnya.“Pokoknya jangan keluar kalau kamu nggak mau celaka.” Aku memperingatkannya sebelum menemui Desi.Mungkin jik
Bukan nomor Mas Damar, tapi tetap kusimpan nomor itu untuk dicari tahu pemilik sebenarnya.Wajar jika orang selingkuh memiliki lebih dari satu nomor ponsel tapi banyak yang terasa janggal disini.“Eh, malam bengong lagi. Ayo.” Desi sudah menenteng kantong kresek di tangannya.Kami langsung pulang lagi, aku juga tidak mau mengantar dia pergi ke tempat lain. Enak saja dia pikir aku ini supir apa.“Na, majikan suami kamu kaya banget ya. Mobilnya aja mewah gini, suaranya juga nggak berisik,” komentar Desi saat kembali masuk ke dalam mobil.“Mau mobil kayak gini?”“Nggak, aku mau beli yang lebih bagus dari ini. Dan yang jelas beli mobil yang orang kampung sini nggak punya.”Ya … ya. Terserah.Aku menurunkan Desi tepat di depan rumahnya.“Nih buat sewa mobilnya.” “Nggak usah.”“Alah, jangan malu-malu gitu kalau emang butuh.” Dia menaruh begitu saja selembar uang lima puluh ribu sebelum keluar dari mobil tanpa ucapan terima kasih. Mungkin ucapan terima kasihnya diwakilkan oleh uang.Setelah
“Kamu pikir, Anto pakai nama aku buat dapetin cewek? Ya ampun kamu udah jadi korban sinetron ya. Aku bahkan nggak kepikiran kesitu. Dia udah lama kerja jadi supir di rumah kita loh.”“Bukan aku yang jadi korban sinetron, bisa aja Anto yang jadi korban sinetron. Dia ngikutin adegan sinetron. Nggak ada yang nggak mungkin.”“Udah, jangan suudzon dulu. Nggak usah nebak-nebak, biar nanti aku cari tahu soal ini. Kemarin aku kasih dia libur selama aku disini, mungkin bakalan agak susah ditelepon karena dia bilang katanya mau balik kampung.”Aku merasa bersalah karena sudah menuduh suamiku sendiri selingkuh. Aku memang bodoh karena temakan omongan Desi yang belum tentu pasti kebenarannya. Bisa saja dia juga tidak hamil. Entahlah ….Sekarang yang terpenting aku merasa lega karena Mas Damar tidak selingkuh. Beberapa hari ini aku dibuat tidak tenang dan malam ini bisa tidur dengan nyenyak. Beban berat yang berada dipundak langsung menguap seketika.“Maaf.” Aku menatapnya penuh sesal.Saat melaku
“Aku mau lihat dong.”Lancang sekali dia mau melihat suamiku.“Udah ya, aku masuk dulu.”Langkahku terayun masuk ke dalam rumah tidak memperdulikan Desi yang terus memanggil.Buru-buru menyambar handuk dari kamar untuk diberikan pada Mas Damar. Salahku sendiri tadi karena menyeretnya ke kamar mandi tanpa membawa handuk.“Lama banget, kamu dari mana?”“Bawa belanjaan di mobil.”Mas Damar menatap curiga, “Nggak ikut ngegosip sama ibu-ibu lain 'kan?”“Kurang kerjaan banget aku ikut ngegosip.”“Ya siapa tahu kamu pengen cari hal yang baru, di kota mana ada waktu kamu buat ngegosip.”“Meskipun ada aku nggak mau, buang-buang waktu buat hal yang nggak penting kayak gitu.”Meninggalkan Mas Damar. Aku ke dapur untuk menatap belanjaan. Kemarin saja aku pergi belanja sendiri karena tidak mau Mas Damar dilihat orang.Pulang kampung ternyata tidak seindah yang ada dalam pikiranku. Setelah kesalahpahaman soal perselingkuhan sekarang malah jadi bahan gosip, salah apa aku pada mereka hingga mereka me
“Mas, jangan kayak gini dong.”“Berapa kali kamu pernah ketemu saya?”Bola mata Desi bergerak liar, “Sering. Tapi terakhir di hotel itu sekali.”“Sering maksudnya kamu yang melihat saya doang gitu 'kan? Saya juga lihat di video, kamu kayak orang minum.”Desi diam sebentar sebelum menjawab, “karena kamu bilang nggak boleh menegur kalau lagi di kantor biar nggak ketahuan. Di hotel itu kita 'kan minum sama-sama.” Dia malah mendelik padaku.Aku geleng-geleng kepala, menyeringai menatapnya. Mas Damar bukan peminum.“Dasar ular!” Dengan gerakan cepat Desi menjambak rambutku, “kamu bukan istrinya Mas Pras 'kan? Kamu sengaja lakuin ini karena iri.”“Lepas! Jangan sampai saya berbuat kasar sama kamu.” Mas Damar memperingati Desi agar melepaskan tangannya dari rambutku.“Desi, lepas!” Aku meringis saat ia semakin keras menarik rambutku, seolah tidak peduli dengan peringatan Mas Damar.Ibunya Desi bahkan hanya diam seperti mendukung apa yang anaknya itu lakukan, sedangkan orang-orang malah sibuk
Himpitan ekonomi membuatku mau tidak mau pergi ke kota, ada tawaran untuk menjadi cleaning service disana. Gengsi memang apalagi jika sampai tetanggaku tahu dengan pekerjaanku ini tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar butuh.Mereka taunya aku kerja di kota jadi sekretaris. Tidak peduli mereka percaya atau tidak yang penting aku tidak mau membuat diriku sendiri malu karena pekerjaan ini.Beberapa bulan bekerja disana, ada beberapa lelaki yang mendekati tapi semua kutolak karena mereka karyawan biasa yang tidak memiliki banyak uang. Aku ingin dapat lelaki yang mapan dan tampan, tidak ada yang mustahil bukan.Setidaknya seperti Pak Pras. Aku hanya bisa mengaguminya dari kejauhan, sosok tampan yang menyita perhatianku saat aku pertama kali bekerja. Tubuhnya yang tinggi dengan otot kekar, wajahnya begitu tampan dan tidak membosankan dipandang setiap saat.Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk menggodanya. Pak Kades saja yang seharusnya mengayomi masyarakat bisa kutaklukan apalagi Pak Pras