"Yang sekolah, kan, aku. Kenapa mama malah turun duluan!" seru Carmen dengan wajah cemberut menatapi Maya yang tak bisa menyelesaikan tanyanya.
"Galak- pemberani ya bu, Anaknya?" ucap Bi Lisa menatap bocah kecil yang memperhatikannya penuh selidik.
"Siapa, Ma?" tanya Carmen tanpa menoleh pada Maya.
"Saya, pengasuhnya neng Arimbi, Neng."
"Arimbi?" ulang Carmen tampak tak suka, membuat Bi Lisa mengangguk meski heran melihat wajah cemberut Carmen makin bertambah masam.
"Arimbi?! Dimana? Mana, Arimbi?" tanya bocah lelaki lucu tapi nakal yang berlari cepat menyusul Carmen sambil celingukan kesegala arah.
"Apaan sih Rei, ganggu aja!" ucap Carmen menatap Rei tak senang.
"Aku nyari Arimbi tauk, bukan Carmen jelek." Balas Rei membuat wajah Carmen yang cemberut makin ditekuk.
"Mana Arimbinya, tante Arum?" tanya Rei mengira salah satu wanita disampingnya adalah ibu dari gadis kecil yang ia cari.
"Neng arimbi, sudah masuk kelas, Den."
"Tante siapa?" tanya Rei menatap wajah asing Bi Lisa.
"Saya, pengasuh neng Arimbi, Den."
"Oh, kalo gitu aku mau masuk aja nyusul Arimbi. Dah Papa." ucap Rei menatap pria yang memelambaikan tangannya dan baru teringat bekal sang putra masih ada di kursi belakang.
"Rei, bekalmu, Sayang!" seru pria yang berlari menghampiri Rei yang menatapnya protes.
"Papa, bisa gak, papa, gak manggil aku sayang kalo disekolah?" bisik Rei membuat Tian tersenyum.
"Tapi, kamu kan kesayangannya papa, Rei Sayang," ucap Tian sengaja membuat putra satu-satunya itu cemberut.
"Huh, papa nyebelin."
"Ya dan papa nyebelin ini sayang kamu, Rei." Ucap Tian memeluk erat putranya yang kesal tapi tetap mencium pipi sang ayah sebelum berpisah.
"Udah, masuk sana," perintah Tian sambil mengusap kepala Rei beberapa kali.
"Rambutku jelek lagi nih, Pa," protes Rei membetulkan letak rambutnya tak urung membuat Tian dan beberapa orang tua yang melihat tingkah bocah yang baru berumur 3 tahun itu tersenyum.
"Nanti dibenerin Mama."
"Mamakan dirumah, Pa. Aku ini mau sekolah, dah Papa," protes Rei lagi lalu melambai pada Tian.
"Anakku menggemaskan sekali," ucap Tian berdiri, memasang wajah tenangnya kembali. Berjalan melewati ibu-ibu yang tampak terhipnotis tak menyadari bisa senorak apa pria itu kalau dirumah, di depan istri dan anaknya. Bocah lelaki kecil yang berlari sambil mebalas sapaan anak-anak menggemaskan lain yang pipinya juga tembem dan kenyal.
"Joe!" seru Carmen semangat pada bule kecil yang tangan putihnya digandeng Miranda dan Carmen langsung berlari untuk segera menggandeng tangan Joe yang bebas.
"Let's get in," ajak Carmen semangat menarik tangan Joe yang hanya mengangguk lalu menoleh pada wanita berkaki jenjang di sampingnya.
"Bye-bye, Mommy," ucap Joe yang pipi merahnya dicium Miranda, wanita yang kaki jenjangnya membuat iri.
"Bye, Little bear," ucap Miranda pada jagoan kecilnya dan tersenyum pada lambaian kecil bocah yang berjalan digandeng Carmen meski matanya tampak berkeliling bersamaan dengan Bi Lisa yang berjalan menjauh.
Membuat sepasang mata yang sejak turun dari mobilnya tadi terus mengawasi Lisa, kecolongan.
Maya hanya bisa diam bahkan lupa pada bekal Carmen yang masih tergeletak di jok belakang.
*
Tin..! tin...!
Suara klakson mobil yang berhenti disamping Bi Lisa langsung menurunkan kaca di samping kursi penumpang, "good morning," sapa Miranda yang dijawab anggukan oleh Bi Lisa meski terlihat bingung.
"I Am your- saya tetangga depan rumah yang baru pindah bulan lalu, kita beberapa kali bertegur sapa."
"Iya, Bu mir...,"
"Miranda. Panggil saja Miranda. Jangan pakai bu, it's sound so formal, masuklah. Mau pulangkan?"
"Tidak apa- Bu Miranda, saya naik ojek saja."
"Oh, ayolah. Lagipula kita searah, bukan? Arum or Lisa?"
"Saya Lisa, Bu," jawab Bi Lisa membuat miranda tersenyum. Tampaknya Bi Lisa lebih nyaman memanggilnya dengan panggilan 'Bu'.
"Ayo masuk," ajak Miranda membuka pintu penumpang membuat Bi Lisa mengangguk lalu masuk dengan kata permisi.
"Terimakasih, Bu."
"Your welcome, Lisa. sama-sama," ucap Miranda melajukan kembali mobilnya.
"Terimakasih info tentang pasar paginya minggu lalu, aku belanja banyak barang di sana tak hanya sayuran segar."
"Sama-sama, Bu."
"Aku juga mau tanya, tempat kursus bahasa yang tak jauh di mana, ya?"
"Di depan ada, Bu. Tempatnya bagus kata Mbak Arum," jawab wanita yang berubah jadi sedih tanpa ia sadari.
"Kamu baik?" Tanya Miranda membuat lisa mengangguk lemah.
"Apa kamu mau menemaniku membeli kue, Lisa?" ucap Miranda sambil tersenyum, membuat wanita disampingnya mengangguk. Ia menyadari perubahan wajah Bi Lisa hanya saja ia tak ingin ikut campur, "toko, yang satu arah saja," tambah bule cantik itu membuat lisa mengangguk lagi lalu menunjukkan tempat kue yang mungkin juga akan disukai wanita ramah disampingnya.
*
"Damn it!" rutuk Marko tampak ingin membanting ponsel ditangan jika tak dipegangi Ali, "kenapa Arum harus dapat lelaki salah seperti Bagas?" ucap Marko mengepalkan tangannya kuat.
"Tinggalin WA saja, biar kalau dia sudah baca kita bisa tau." ucap Ali mengusap pundak Marko berusaha menenangkan pria yang emosinya tampak bisa meledak kapan saja ini.
"Buat apa si brengsek itu punya ponsel kalau tidak bisa dihubungi!" seru Marko melepas kesalnya lalu mengambil nafasnya begitu dalam beberapa kali. Ia menatap tubuh Arum yang terbaring diatas bangsal dengan selang dan jarum infus yang menusuk lengan. Lalu diam.
"Apa yang harus kukatakan pada Arimbi?" tanya Ali membuat Marko yang diam menoleh lalu merangkul pundak kekasihnya, "aku sungguh tak tau, Ko," ucap Ali yang menangis dan dipeluk oleh Marko. Pria yang matanyapun berkaca-kaca dengan amarah nyata namun ia tahan.
"Kita tak mungkin mengatakan mamanya kemungkinan takkan bangun lagi pada Arim, ko. Aku takkan tega mengatakan itu."
"Apa!?" ucap pria yang berdiri diantara pintu tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Ali dan Marko langsung menoleh pada si pemilik suara, "Bagas-"
"Brengsek! kemana aja lo!" seru Marko yang hampir saja memberi bogem mentah jika tak ditahan Ali.
"KO!" seru Ali tapi matanya tajam menatap pria yang masih berdiri di tengah pintu dan menarik nafas panjang menatap Bagas yang wajahnya pucat. Ali seolah bertanya semengejutkan itu, lalu tertawa miris sendiri.
'Tentu saja mengejutkan!'
Bahkan hatinya masih merasa ini tak nyata. Apa yang ia dengar tentang batang otak Arum yang turun, cairan yang menekan, membuat otak Arum mati.
Ali sangat ingin tak percaya pada apa yang dikatakan dokter tentang kondisi Arum yang tak akan mungkin sadar. Kecuali ada keajaiban.
Tapi, bagaimana bisa ia berpikir begitu saat tubuh Arum yang berbaring diatas bangsal ada di depan matanya. tubuh sahabat perempuannya itu hidup karena ada alat-alat medis yang menjadi penopang. Tanpa kemungkinan sadar.
"Lo kemana aja, Gas?" tanya Ali terdengar begitu tenang.
"Kemana lagi? tentu bermesraan sama gundiknya." Jawab Marko cepat membuat Bagas menatapnya. "Kenapa? Kaget?" dengus Marko saat mendapati tatapan Bagas yang tak bisa membalas.
"Lo bener-bener cowok gak tau malu, Gas, lo tau itu?" ucap Marko yang matanya begitu emosi dan tampak sangat menahan dirinya untuk menghajar pria yang hanya diam. berdiri di tengah pintu.
"Lo. kalau mau tau keadaan Arum tanya sama dokter, Gas. Gue sama Marko mau nyari angin segar dulu," ucap Ali menarik tangan Marko yang ingin menolak tapi ahirnya keluar juga meninggalkan ruangan dan memberi tatapan mengancam pada pria yang masih begitu membisu.
Entah apa yang sedang dipikirkan pria yang hanya berdiri mematung ditempatnya itu kini. Seolah ia hanya bernafas karena hal itu wajar dilakukan. Bagas hanya terus diam tanpa ekspresi lalu memilih keluar, menutup rapat pintu ruangan yang ia tinggalkan.
Meninggalkan wanita yang bernafas saja butuh bantuan alat yang menyambung pada tubuh.
Wanita yang tak akan bangun lagi menurut ilmu medis. Dan seandainyapun ada keajaiban, Arum tidak akan bisa melakukan apapun tanpa bantuan orang lain.
Hidup tapi seperti mati. Mati tapi jantung dan nafas Arum masih ada. Tubuhnya pun masih terasa hangat.
Tapi apa bedanya dengan mati, bukan?
Ali, yang membeli dua kaleng soda dingin dari fending machine menatap Marko berdiri menatap langit cerah tanpa awan sedikit pun. Sungguh berbanding terbalik dengan dua orang yang hatinya sedang kelabu itu.Puk!Tangan Ali menyentuh pundak marco yang menoleh dalam diam."Minum dulu biar dingin," ucap Ali menunjukkan senyum menenangkan, membuat Marko mengangguk dan membuka pengait kaleng yang menimbulkan suara berdesis.Cess..cesss..."Better?" tanya Ali melihat Marko menarik nafasnya setelah menengguk beberapa kali kaleng soda ditangannya itu."Aku, bener-bener gak tau apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Li," ucap pria yang membuat Ali tersenyum lalu menuntun tangan Marko agar duduk di kursi besi panjang di samping tembok rumah sakit yang aromanya begitu khas."Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Ali membuat Marko menatapnya."Arum dan Arimbi mereka ha
Seth, pria berusia 22 tahun itu turun menyusuri tangga, hidungnya tergelitik saat mencium harum kue yang membuat perutnya berbunyi.Black forest dengan potongan stroberi yang sudah dilumuri lelehan coklat mengeras ditiap potongnya membuat Seth mengambil sepotong lagi untuk mengganjal perutnya yang lapar."Enakkan?" tanya wanita yang masuk dari arah taman mengejutkan Seth yang hampir saja tersedak."Kau beli dimana, Mom?" tanya seth pada wanita yang hanya terpaut usia 7 tahun dengannya. Panggilan itu terdengar hanya saat ia di rumah, saat diluar seth akan memanggilnya mira atau miranda."Aku beli dijalan pulang bersama Lisa," ucap Miranda meletakkan gelas berisi air putih di depan Seth yang berterimakasih."Teman baru?""Yups, my new friend's, dia tetangga depan rumah kita," ucap Miranda membuat Seth menatapnya dan berhenti mengunyah."Bukannya wanita cantik itu diba
"Anda baik-baik saja pak bagas?" tanya dokter yang masih gagah itu bertanya pada lelaki yang hanya diam membisu pada penjelasannya mengenai kondisi Arum, sampai Bagas menatapnya."Ya, Dok. Hanya saja saya jadi merindi- lupakan, Dok." ucap Bagas yang bulu halusnya berdiri membuat dokter Anggodo menatapnya."Hanya itu yang bisa saya sampaikan saat ini, saya harap Pak Bagas bersabar dan bisa menerimanya kondisi Bu Arum," ucap Dokter Anggodo membuat Bagas mengangguk.Meski jelas terlihat, ia tidak paham mengangguk untuk apa? atau kenapa ia mengangguk?Lalu menyalami dokter yang memberinya senyum simpati. Pamit.Bagas, menatap langit yang begitu terik dan menarik nafasnya panjang, ekspresi wajahnya sungguh tak bisa dibaca."Arum Wijaya, jika aku tak memilihmu, hidupmu pasti takkan berahir seperti ini," ucap Bagas menutup matanya lagi tapi langsung terbuka dengan cepat melihat sekelebat bayangan wanita yang menggelinding dari tangga begitu cepat tapi
"Kemari, Sayang."Arimbi masuk dengan menatapi orang-orang dewasa, tangannya masih memegang erat permen lolipop yang ingin ia berikan pada Carmen.Suasana nursery jadi sepi beberapa lama, apa lagi Maya diam dengan menutup rapat mulutnya menatap gadis kecil yang berjalan pelan dan menatap kepala yayasan yang tersenyum mengusap kepala Arimbi."Ayo, ucapkan yang mau Arim bilang sama Carmen," ucap wanita bertubuh tambun itu membuat Arimbi menatapnya lalu mengangguk dan mendekat pada ranjang nursery. Gadis kecil imut itu memiringkan kepalanya bingung lalu menoleh."Carmen tidur, Oma," ucap Arimbi memandang kepala yayasan. Membuat beberapa kepala tak percaya dengan panggilan yang diberikan Arimbi pada wanita bertubuh tambun itu."Tidak apa, Sayang. Kalau begitu ucapkan pada mamanya carmen saja, ok?" ucap kepala yayasan tak perduli pada perubahan sikap Maya saat gadis kecil itu menatapnya lalu mengangguk.
"Batalkan rencanamu hari ini, sore nanti kita akan menjenguk menantuku""Apa?!" ucap Zizi melepaskan diri dari pelukan Sukma."Kau dengar Zizi dan jangan membantah. Keluarlah, ibu mau tidur dulu.""Ta-Tapi aku harus membeli ponsel, Ibu." Ucap gadis yang membuat Sukma menatapnya."Bukankah baru minggu lalu kamu beli ponsel Zizi? pergilah tapi pulang sebelum jam lima.""Ya, Ibu." Balas gadis yang lalu keluar. Meski enggan ikut ibunya ia tetap harus menurut dan Zizi paham betul akan apa yang harus ia setujui dan lakukan."Setidaknya, aku ingin tau apa yang terjadi pada kakak iparku" ucap gadis yang merogoh kunci mobilnya dari dalam tas dan langsung masuk setelah memencet tombol kecil yang membuat pintu mobil terbuka seketika."Apa aku kerumah Seth saja? kuharap ia tak marah padaku." ucap gadis yang melihat tampilan dirinya dalam spion dan melajukan mobil cepat setelah
"Arimbi, kangen banget sama mama, Om."Sungguh kalimat yang terlalu wajar mengingat seberapa dekat gadis imut ini dengan sang mama. wanita yang tak akan bangun lagi dari tidurnya selama apapun waktu berlalu.Tapi apa yang akan dikatakan Ali, pria yang hanya bisa diam mendapati mata Arimbi. Mata yang begitu jernih dan polos ini?Tatapan yang seakan menusuki ruang sanubarinya. Bagian terdalam dari rasa yang bahkan membuat Ali tak mampu mengatakan jika Arum takkan lagi bisa memeluknya jika Arimbi sedang merasa sedih ataupun bahagia, takkan lagi mengusapi pipi kenyal dan lembut Arimbi baik dengan tawa atau gemasnya, takkan lagi mendongengkan pak tani yang timunnya diganggu si kancil nakal disetiap malam bersama dekapan lembut pengantar tidur Arimbi.'Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan pada gadis kecil kesayanganku yang hanya punya mamanya ini?' batin Ali menahan agar matanya tak berkaca-kaca."Kita akan
Bi Lisa meletakkan segelas jus tomat yang dipesan Zizi. Gadis yang tumben mau bertamu dan duduk begitu santai memainkan ponsel. Sesekali memfokuskan pandangan matanya ke rumah depan yang tampak sepi.Kuku jarinya yang panjang dan dipoles warna-warni menggantikan warna merah terang di salon tadi, sesekali menjentik tak sabar diatas sofa empuk dan nyaman di teras.Meski tak merasa aneh, pada kedatangan Zizi yang hanya sekali saja menanyakan sang nyonya yang ada dirumah sakit. Tak urung membuat Bi Lisa bertanya pada dirinya sendiri kenapa gadis modis di depan itu tampak hanya basa-basi menanyakan keadaan Arum yang seharusnya lebih diketahui Zizi, mengingat ia adalah adik ipar Arum.Mirip seperti Nyonya Sukma ibunya, gadis yang dandananya tebal itu tak sekalipun menanyakan kabar Arimbi. Dan terus saja melongok ke depan tiap ada suara mobil terdengar. Mata berlensa kontak itu seolah mencari apa yang tidak Bi Lisa ketahui."Mbak Zi
Gadis kecil yang terlelap dalam tidurnya itu terbangun seketika. Wajah kantuknya tampak bingung dengan pemandangan yang terlihat asing. Tapi Arimbi tetap diam, mengedarkan pandangan matanya berkeliling mencari kehangatan tangan yang masih bisa ia rasakan di kepala. Usapan lembut dari wanita yang begitu ia rindukan.Tangan hangat yang rasanya masih begitu kepala Arimbi ingat dan rasa.Mata bulat yang begitu jernih itu menatap berkeliling mencari sosok yang dikenalinya. Dirindukannya. Tapi tak ada. Wanita yang ia cari tak ada dimanapun.Bibir merah yang masih basah itu tampak bergetar, begitupun cuping hidung kecilnya yang kembang kempis diiringi air yang mulai menggenang dimata bak menjangan yang sedih tak menemukan wajah femiliar yang belum dijumpainya sejak ia tidur berdua dengan sang mama di atas ubin yang dingin. Sejak sang mama dibawa mobil wiu-wiu dan membuatnya menangis karena tak di izinkan ikut. Tapi, Arimbi cepat menghapus ma