"Aku bisa memaafkan semua kesalahanmu, tapi tidak dengan pengkhianatan. Apa kamu itu bodoh atau nggak tau diri, Mas. Selama ini Papa dan aku sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Rumah Mas dibangun Papa menjadi megah, bahkan perusahaan ini pun dipercayakan Papa padamu. Namun, ini semua balasan yang kamu beri untukku? Dengan menikahi sahabatku sendiri dengan dalih ingin punya anak, kamu tega merampas kebahagiaanku." Akhirnya kata-kataku meledak di depannya.
Biar Mas Adam tau, tidak bisa berbuat seenaknya. Agar dia ingat siapa dulu jati dirinya yang dari miskin menjadi kaya. "Tapi Mas terpaksa, Ra! Ibu mengancam akan pergi kalo Mas nggak mau menikahi Nilam, saat itu kenapa kamu menyetujui Mas menikah kalo akhirnya menyesal," sergah Mas Adam mulai emosi. "Aku hanya ingin menguji kamu, Mas. Ingin melihat sampai di mana kesetiaanmu padaku. Tapi, yang aku lihat justru kamu yang menyerah dan ingin menikah," ucapku membela diri. "Sudahlah, sekarang aku tak ingin mendengarkan apa-apa lagi darimu, Mas. Aku akan menyiapkan surat perceraian kita, kamu tinggal tanda tangan aja." Aku keluar dari ruangan rapat meninggalkan Mas Adam yang masih terpekur sedih. Memasuki kantor yang sudah bersih, kini yang terpampang di meja adalah namaku. Aku segera memanggil Pak Budi lewat telepon. "Permisi, Bu," kata Pak Budi begitu masuk. "Duduk!" "Sekarang Pak Budi mau gimana, masih mau bekerja atau tidak?" tanyaku. Pak Budi orang kepercayaan Mas Adam, sebenarnya aku ingin mengganti dirinya menjadi asistenku. Namun, aku ingin memberinya kesempatan. Kalo memang bisa dipercaya akan tetap menjadi asisten, jadi aku memberinya waktu. "Saya masih ingin bekerja, Bu. Saya membutuhkan pekerjaan ini demi keluarga saya," jawab Pak Budi gugup. "Pak Budi sudah lama bekerja dengan Mas Adam, apa saya bisa mempercayai kamu menjadi asistenku dan tidak menyeleweng?" kataku tegas. "Pak Budi pasti tau konsekuensinya jika menyeleweng. Saya minta jadikan Pak Adam itu sebagai contoh, sebagai suami sendiri saya tak segan memberinya pelajaran apalagi kamu!" ancamku menakuti Pak Budi agar dia bisa berubah memihakku. "I-iya Bu. Saya akan setia pada ibu, saya mohon jangan pecat saya!" ujarnya ketakutan. Sebenarnya aku juga tak ingin menjadi orang jahat yang menakuti semua orang. Namun, berada di perusahaan ini harus tegas agar tidak ada lagi yang buat ulah. Perusahaan ini juga di bangun Papa dengan susah payah, jadi aku ingin perusahaan ini terus berdiri. "Bagus, pegang perkataan pak Budi. Sekarang berikan saya data perusahaan selama dipimpin Adam," titahku. Pak Budi segera membawa berkas map semua data dan proyek kerjasama. Sebagian ada di selipan barang Adam, setelah minta izin Pak Budi mengambil berkas laporan itu. "Oh, ya Pak. Saya mau tanya, apa perusahaan kita sedang butuh pekerja entah itu satpam atau cleaning servis?" tanyaku. "Ada, Bu. Cleaning servis bagian membersihkan kantor ini belum ada. Pak Adam tidak mengizinkan siapapun membersihkan kantornya, kecuali satu orang, Bu," kata Pak Budi pelan hampir berbisik. "Oh, siapa dia. Pria atau wanita?" tanyaku keheranan. Mas Adam ternyata banyak menyimpan rahasia. "Wanita, Bu. Namanya kalo nggak salah saya dengar Lam ...." "Nilam?" potongku cepat. Pak Budi mengangguk, "Iya, itu Bu. Nilam nama wanita itu. Dia sering datang ke kantor ini. Pak Adam melarang saya untuk lapor pada ibu," kata Pak Budi gugup takut aku marah lagi. "Kurang ajar, ternyata selama ini diam-diam Mas Adam telah selingkuh di belakangku," ucapku geram tanpa peduli kalo Pak Budi masih di situ. "Trus, apa aja pekerjaan yang dilakukan wanita itu di sini?" tanyaku ingin mengorek lebih dalam lagi. "Selain membersihkan kantor, Pak Adam melarang tiap hari jam satu siang siapapun tidak boleh mengganggunya di kantor. Tapi Pak Adam tidak sendiri, Nilam selalu berada di dalam. Saya tidak tau, Bu apa yang mereka lakukan di dalam. Namun, banyak pegawai yang mendengar suara desahan dari kantor Pak Adam." "Kenapa Pak Budi tidak melapor pada saya, hah?" Aku menjadi emosi. "Maaf, Bu. Pak Adam melarang katanya akan memecat saya kalo saya melapor," ujarnya gugup kembali. "Ya sudah, kembalilah bekerja. Oh ya, panggil Adam kemari," kataku memberinya perintah. Pak Budi segera keluar, aku dengan gesit mengecek seluruh ruangan kantor ini. Ingin mendapatkan bukti atas perkataan Pak Budi tadi. Setengah ruangan sudah aku geledah tapi semua bersih, lalu mataku tertuju pada tong sampah. Untunglah belum sempat dibuang Pak Budi tadi. Aku pijak bagian bawah tong sampah hingga tutupnya terbuka sendiri. Di dalamnya banyak sampah kertas dan plastik, tapi tunggu ada yang ganjil. Di bawah tumpukan sampah ada seperti benda karet mirip stoking. Lalu dengan menggunakan sarung tangan, aku mengambil benda itu. Terkejut aku melihatnya, ternyata benda itu adalah kond*m. Pasti ini yang telah di pakai Mas Adam selama ini dengan Nilam. Begitu jauhnya hubungan mereka, sebelum menikah sudah melakukan perbuatan terlarang. Kamu lihat saja Mas, aku akan buka semua kelakuanmu. Secepatnya kumasukkan benda itu ke tong sampah. Sebelum Mas Adam masuk, aku akan berpura-pura tidak tau. Selain benda itu apalagi bukti yang harus kucari, aku berpikir sambil mendongak ke atas. Terlihat sebuah CCTV, ya pasti perbuatan mereka terekam juga. Segera kubuka laptop dan mencari data rekaman CCTV. Semua terekam dari tanggal sekian, karena penasaran aku buka mulai dari enam bulan yang lalu. Terlihat di rekaman itu, Nilam masuk ke ruangan Mas Adam membawa rantang makanan. Pasti dari sini Nilam sudah merayu Mas Adam, lalu tanpa malu Nilam mendekati kursi Mas Adam. Tangannya menggerayangi tubuh lelaki yang masih berstatus suamiku. Aku sangat jijik melihat kelakuan Nilam dan tidak menyangka sahabatku begitu rendah sampai menggoda suami orang. Lalu rekaman berikutnya terlihat perkembangan, Mas Adam mulai tertarik dan menerima pancingan Nilam. Di situ Nilam mulai menghasut Mas Adam dan memutar balikkan fakta curhatanku padanya. Hingga rekaman sampai yang terakhir, perkataan Pak Budi benar. Aku melihat sendiri, Mas Adam dan Nilam berzina di kantor ini. Sungguh tidak tau malu mereka, berbuat seperti itu di kantor dan banyak yang mendengar. Ya Allah, untung saja aku sudah berpisah dengannya sebelum semuanya jatuh ke tangan Mas Adam. Terdengar pintu kantor diketuk, setelah kupinta masuk terlihat Mas Adam yang masih lunglai. "Duduk, Mas!" "Kamu bilang masih mau bekerja di sini 'kan, oke aku izinkan. Kamu hanya menjadi cleaning servis, tapi cuma membersihkan kantor ini aja. Paham, Mas?" kataku dengan dada menahan gemuruh akibat mendapat kejutan tadi. Mas Adam mengangguk lesu dan pasrah. Aku tidak menghiraukannya, sudah bagus dia kuberi pekerjaan daripada menjadi gembel. "Sekarang Mas mulai pekerjaan, buka jasmu dan buang sampah di tong ini," titahku padanya.Dia lalu membuka jas dan dasi, kini hanya tinggal kemeja. Digulung hingga sampai siku, lalu beranjak menuju tong sampah. Setelah itu akan keluar tapi kucegah. "Tunggu, keluarkan semua sampah di lantai itu. Barangkali ada data yang terbuang," ujarku beralasan untuk menjebak dan membuatnya terkejut. Mas Adam mematuhi perintah dan segera mengeluarkan sampah. Aku coba ikut memeriksa, lalu saat menggasak sampah aku mengambil kond*m tadi. Kuacungkan ke atas tepat di depan wajah Mas Adam."Ini apa, Mas?" kataku mendelik. Terlihat wajah Mas Adam pucat pasi.Mas Adam mematuhi perintah dan segera mengeluarkan sampah. Aku coba ikut memeriksa, lalu saat menggasak sampah aku mengambil kond*m tadi. Kuacungkan ke atas tepat di depan wajah Mas Adam."Ini apa, Mas?" kataku mendelik. Terlihat wajah Mas Adam pucat pasi. "Anu, Ra. Mas nggak tau itu ada di sana, mungkin punya orang lain yang sengaja terbuang ke situ," jawab Mas Adam gugup. "Kamu nggak bohong, Mas?" tanyaku dengan mimik kesal, masih saja dia mengelak. "Nggak, Mas nggak bohong, Ra!" Mas Adam mulai berkeringat. "Bagaimana mungkin punya orang, ini 'kan dulu kantormu Mas. Atau mungkin ini memang punya kamu, iya 'kan?" kataku setengah membentak. Mas Adam tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya. Mungkin malu kedoknya dulu ketahuan olehku. "Berdiri, Mas! Aku mau menunjukkan sesuatu, mungkin yang ini nggak bisa buat kamu berbohong lagi," kataku sambil beranjak ke meja dan membuka laptop. Sekilas kulihat Mas Adam bangkit dengan grogi dan berjalan pelan ke arahku. Setelah kubuka r
Sesampainya di SPA langganan kami, Tania memasukkan mobil ke area parkir. Akhir pekan lumayan ramai juga, mungkin banyak yang sedang berlibur atau kerja setengah hari. Setelah memarkirkan mobilnya, Aku dan Tania segera keluar dan masuk ke dalam gedung. Kami disambut baik oleh karyawan spa, mereka sudah hafal pada kami karena termasuk langganan dengan kartu VIP. Baru saja mendaftar dan akan masuk ke ruangan dalam, terdengar cekikan tawa wanita di belakang kami. Mungkin juga baru datang, aku yang sudah tau dari suaranya segera menoleh, ternyata memang dia. Saat mataku dan matanya beradu pandang, dia merasa terkejut. Mungkin tidak menyangka akan bertemu di spa. Aku juga kecewa ketemu di saat yang tak tepat. "Eh, Rara. Tumben ketemu di sini, ngapain kamu? Mau cari kerjaan ya, ckckck ... Kasihan sekali kamu," sindir Nilam sembari tertawa dengan temannya. Ya dia Nilam, wanita yang sudah merebut Mas Adam dari tanganku. Aku geram melihatnya, seolah tanpa rasa bersalah, kini dia malah men
Sesampainya di perusahaan, saat akan masuk ke kantor langkahku dicegah Pak Budi. "Tunggu, Bu!" "Ada apa, Pak Budi?" tanyaku heran. "Di dalam masih ada Pak Adam dan Nilam, Bu. Mereka sudah lama di dalam, belum keluar-keluar," jawab Pak Budi gugup. "Bukankah saya udah pesan, kalo mereka berbuat mesum lagi Pak Budi bisa melarang," sahutku ketus. "Saya udah melarang, Bu! Tapi nggak diindahkan Pak Adam." "Oke, saya yang akan menyuruhnya keluar!" kataku sambil membuka ponsel. Ponselku tersambung ke CCTV kantor, hingga terlihat jelas apa yang mereka lakukan di kantor. Aku terperangah, mereka benar-benar keterlaluan, gumamku geram. Secepatnya kugedor pintu kantor. "Adam, keluar kamu dari kantorku. Keluar !" teriakku. Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Terlihat Adam yang berpenampilan kusut karena buru-buru, setelah dia keluar aku melayangkan tamparan di pipinya. Plak !! "Dasar laki-laki nggak tau diuntung! Masih aja berbuat mesum di kantor ini, pergi kamu dari sini dan jangan
Sampai di rumah, kuhempaskan tubuhku di sofa. Hari ini rasanya lelah sekali, setelah ribut di spa masih juga ribut di kantor. Namun, aku bisa puas karena bisa mengusir Adam dari perusahaan. Awalnya dia yang memohon padaku tapi dia juga yang membuka kepura-puraannya sendiri. Adam memang laki-laki tak tau diri, menyesal aku dulu tak mendengarkan Papa. Adam juga tidak mudah dihadapi, dia tidak mau begitu saja menceraikan diriku. Ditambah sekarang Nilam sudah menghasutnya, pasti mereka hanya akan memanfaatkan kekayaanku. Aku harus bergerak cepat sebelum mereka menyerang. Memijat kepalaku yang terasa pusing, aku di kejutkan suara ponsel. Terlihat di layar Tania memanggil, dengan malas aku segera mengangkatnya. "Halo!" "Halo, Ra. Kamu di mana?" tanya Tania. "Baru aja sampai rumah," jawabku. "Ra, apa Randy sudah menelepon? Dia ingin mengajak ____ " "Naik gunung 'kan!" potongku cepat. "Kamu udah tau, Ra. Lalu gimana, kamu mau 'kan?" tanya Tania berharap. "Aku belum tau, Nia. Akhir-a
Esoknya, cuaca yang cerah cocok untuk melakukan travel ke puncak. Aku yang baru siap sarapan dan memakai sepatu, terdengar suara klakson mobil di luar rumah. Melongok dari jendela, aku sudah tau pasti Tania. Anak itu memang sangat setia kawan. Setelah pamitan pada Bi Ira, keluar rumah menjinjing tas dan tenda. Tania segera turun dari mobil dan membantuku mengangkat perlengkapan camping. Melihat mobil cuma ada Tania aku heran. "Suamimu nggak ikut, Nia?" "Ikut, dia bersama Randy menunggu kita. Aku menjemputmu dulu, baru kita berangkat bersama," jelas Tania. Aku hanya manggut-manggut, setelah itu mobil melaju ke arah rumah Tania. Di situ kami berkumpul, baru kemudian bareng. Tak lama kami sampai di rumah Tania, lalu memasukkan mobil ke dalam garasi. "Kita berangkat naik mobil, Randy aja," kata Tania begitu tau aku hendak bertanya. Aku tau, mobil Randy besar pasti bisa menampung banyak barang. Mobil merek Pajero sport, milik Randy terparkir di luar pagar. Randy segera membantu begit
Randy dan suami Tania segera memasang tenda, aku dan Tania mencari ranting pohon untuk bahan bakar memasak. Saat menjelajahi hutan mencari kayu, aku terpisah dari Tania. Aku pun gugup, mana lagi sendiri. Kucoba mengingat jalan tapi tetap saja balik ke tempat semula. Aku mulai ketakutan dan saat lagi kebingungan kakiku terpeleset dan jatuh. Untunglah aku meraih akar pohon hingga tak terjatuh ke bawah. "Tolong .... Tolong aku!" teriakku. Aku tetap bertahan berpegangan pada akar pohon, sambil berteriak minta tolong. Namun, karena kecapekan dan banyak gerak akar pohon itu tak kuat menahan berat badanku. Krak !! Akhirnya akar pohon patah, aku terjatuh berguling-guling ke bawah dan saat menyampai dasar kakiku terkilir. "Aww," jeritku menahan sakit. "Tolong ... Tania, Randy ... Di mana kalian?" Aku menangis sambil melihat sekeliling. Aku coba mengambil ponselku di saku celana, syukurlah masih ada. Saat kuhidupkan sialnya tak ada sinyal hingga aku tak bisa menghubungi Tania. "Ya, Tuh
Esoknya saat membuka mata, hari sudah terang dan aku sudah berada di tenda. Melirik ke sana kemari, tapi cuma aku yang berada di tenda. Mencoba bangun untuk duduk, tapi terasa kakiku berat. Rupanya sudah dililit perban, pasti mereka yang mengobatinya. Tetiba aku ingat tadi malam saat jatuh, saat Randy menolongku dan menggendongku naik. Dan ya, kuingat juga ucapan sebelum tertidur itu. Astaga! Benarkah aku ucapkan itu di telinga Randy. Apa dia mendengar? Duh, malunya mau ditaruh di mana mukaku, aku bergumam sendiri. "Ra ... Kamu udah bangun!" panggil Tania tiba-tiba masuk tenda dan membuatku terkejut. "Sudah, kamu dari mana Nia?" "Di luar, masak buat sarapan kita semua," jawab Tania senyum-senyum. Yaelah, nih anak kenapa senyum-senyum. Apa senang melihatku kena musibah, seharusnya sedih malah senang, tak setia kawan nih memang. "Kenapa kamu senyum-senyum, teman celaka malah senang!" tanyaku heran. "Tentu saja aku sedih saat tadi malam nggak bisa menemukan kamu, kami suda
Sejak terjadi moment romantis di gunung itu bersama Randy, aku jadi sering melamun. Sosoknya sering kurindukan, apalagi jika aku sudah merasa kesepian di rumah. 'Apakah aku lagi jatuh cinta? Benarkah hatiku sudah menerima kehadirannya?' gumamku galau. Randy juga, semenjak itu jadi rajin mengirimkan pesan. Walaupun sekedar tanya sudah makan ataupun selamat tidur, tapi kuakui hatiku mulai senang menerima pesan darinya. Lamunanku kembali terngiang momen bersama Randy, saat itu mau pulang menuruni gunung. "Asyik ... Senangnya bisa naik gunung! Tapi ini hari kita akan pulang, sepertinya nggak rela ya!" kata Tania sedih. "Kapan-kapan kita ke sini lagi, tentunya saat itu sudah beda. Iya kan, Ra!" Suami Tania menimpali sambil tersenyum. "Iya, ntar kita ke sini lagi Nia," jawabku. "Demi Rara, soalnya dia masih sakit. Kasihan kalo terlalu lama di sini," sahut Randy menatapku dalam. "Cie ... yang perhatian sama Rara! Kita jadi nggak tega juga menahan Rara di sini!" Tania bersorak hingga