Share

Kupinang Sahabatku Menjadi Maduku
Kupinang Sahabatku Menjadi Maduku
Penulis: Merry Heafy

Prolog

KUPINANG SAHABATKU MENJADI MADUKU

*

"Saya terima nikah dan kawinnya Amira Azzahra binti almarhum Sumana dengan mas kawin tersebut, tunai ...." Lantang suara lelaki yang duduk di sebelahku mengucapkan ijab qabul dalam sekali tarikan napas. 

Meskipun sebelumnya sempat gagal, dan tadi adalah yang ketiga kalinya, lelaki itu mengulanginya. Akhirnya dia berhasil mengucapkan janji suci itu. 

"SAH!"

"SAH!"

"Alhamdulillah."

Riuh ramai suara para saksi yang hadir di sana pun terdengar. Bagai sebuah mimpi, diri ini sudah sah menjadi istri dari Rendra Abidzar Kusuma, seorang presdir di sebuah perusahaan tempatku bekerja.

Dia juga merupakan suami dari sahabatku sendiri, Aleesha Putri. Ya, saat ini aku telah sah menjadi adik madu sahabatku sendiri.

Bukan. Ini sungguh bukanlah inginku menjadi seorang madu. Menjadi duri dalam pernikahan sahabatku. Sungguh sama sekali bukanlah keinginanku.

Hanya saja takdir yang telah mengharuskanku menjadi madu dalam pernikahan mereka. Nasib buruk harus memaksaku menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Demi sebuah perasaan sungkan yang dilandasi dengan hutang budi. 

Aku berhutang budi pada sahabatku, dan inilah saatnya aku membalas budinya yang telah menyelamatkanku dan ibuku dari cengkeraman rentenir dan biaya operasi untuk penyakit ibuku. 

Dengan kikuk, aku mengulurkan tangan untuk menyalami punggung tangan Pak Rendra. Tanganku terasa dingin dan berkeringat. Panas dingin kurasakan di sekujur tubuh. Ini ... adalah pertama kalinya aku bersentuhan dengan lawan jenis dengan intens. Tentu saja aku merasa sangat gugup. 

Tampak raut wajah terpaksa darinya. Ia menatap sendu wajah ayu istrinya. Aleesha yang duduk di sebelahnya seakan memberi kode, jika dirinya akan baik-baik saja andai dia bersikap layaknya pengantin yang baru saja sah menjadi suami istri padaku. Aku benar-benar ada di situasi yang canggung. 

Kucium tangan lelaki yang memiliki alis tebal yang kini jadi suamiku dengan takzim. Lalu, setelahnya dia mencium keningku. Aku tak bisa menghindar dan hanya mengikuti alur cerita saja. 

Sejujurnya, aku takut melukai perasaan Aleesha. Bagaimanapun, dalam hatinya pasti ada rasa tak ikhlas saat suaminya mencium perempuan lain di depan mata kepalanya sendiri. Aku pun seorang perempuan. Aku juga mengerti akan perasaan itu.

Para tamu yang hanya merupakan kerabat dekatku pun segera pulang setelah acara selesai. Hanya aku, Ibu, Aleesha dan Pak Rendra ang masih tetap berada di rumahku, tempat ijab qabul tadi terjadi.

Aku dan Pak Rendra menikah secara resmi. Meskipun acara yang digelar hanya sekedar akad nikah biasa. Sederhana saja, yang penting sah. Tidak ada resepsi yang mewah seperti halnya pernikahan seorang Direktur Utama.

Bahkan sejak awal aku pun tak mengharapkan adanya resepsi mewah. Tentu saja, karena menjadi istri kedua itu adalah sebuah mimpi buruk bagiku. Cap sebagai pelakor pastinya akan melekat padaku, selamanya. Ini adalah aib bagiku! 

Jadi, untuk menghindari skandal yang besar akhirnya kami sepakat agar pernikahan itu dilangsungkan secara tertutup. Bahkan, kedua orang tua Aleesha maupun Pak Rendra tidak tahu dengan pernikahan ini. 

Mereka tidak akan tahu, karena memang rencana ini tersembunyi dan terselubung hanya di antara kami juga ibuku. 

"Ingat kata-kata Ibu, Nak. Sekarang surgamu ada pada suamimu. Patuhlah dengan nasihat dan perintahnya. Jangan membantah." Ibu berpesan seraya berbisik saat aku hendak masuk ke mobil, kami harus pergi ke rumah yang ditempati Aleesha dan Pak Rendra. 

"Iya, Bu. Amira akan ingat pesan-pesan Ibu. Ibu jaga diri baik-baik. Amira juga akan sering mengunjungi Ibu."

***

Setelah acara selesai, aku langsung diboyong ke rumah mewah yang selama ini menjadi hunian mereka selama dua tahun pernikahan. Rumah mewah dengan dua lantai dengan cat berwarna putih bersih. Terlihat klasik dan elegan. Perabot di dalam rumah ini pun terkesan mewah, dan tentu saja mahal. Bahkan aku tak pernah bermimpi dapat menginjakkan kaki di rumah ini. 

Saat masuk ke dalam rumah. Aku dibuat semakin terkagum dengan desain interiornya. Perabotan di rumah ini pun semuanya terlihat berkelas. Aleesha memang tak diragukan lagi soal seleranya. Sejak dulu dia memang terkenal seperti itu. High class. Sesuai dengan status sosialnya yang merupakan putri tunggal seorang pengusaha kelas atas. 

"Ayo, Ra. Aku antar ke kamar kamu ke atas." Aleesha menggamit tanganku. Kami melangkah menaiki tangga menuju lantai kedua. 

"Di sini, ada tiga pembantu yang nantinya akan membantu kita. Cuma untuk bersih-bersih sih. Soalnya aku lebih suka masak sendiri," celotehnya mengiringi langkah kami. Aku hanya menganggukan kepala sekilas, serta mengulas senyum.

Aleesha. Gadis yang ceriwis juga seorang yang murah hati. Dia selalu ceria dan ramah kepada siapapun. Tak heran jika dia mempunyai banyak teman. Dari berbagai kalangan. Ia bahkan tak malu berteman denganku. Si anak ibu kantin di tempat kami sekolah dulu. Aku berhutang banyak padanya.

Sampailah kami di tempat yang dituju. Ia mengeluarkan anak kunci dari dalam tasnya. Tas branded seharga ratusan juta itu dirogohnya. Aku merasa kecil jika bersanding dengan Aleesha. Bagaikan langit dan bumi perbedaan di antara kami. Sangat kontras.

Aleesha punya segalanya bahkan sejak dirinya lahir. Sedangkan aku, hanya gadis biasa, meski dulu ayahku pernah memiliki bisnisnya sendiri, namun sejak beliau bangkrut dan jatuh sakit, aku pun tak dapat berdiam diri. Aku berjuang keras untuk menggantikan peran Ayah sebagai tulang punggung keluarga.

Sejak dulu aku selalu terbiasa menabung jika ingin memiliki sesuatu pun aku harus berusaha keras menabung untuk mendapatkannya. Sedangkan Aleesha, mungkin hanya dengan menjentikkan jari semua keinginannya akan terwujud. Ah, aku sempat iri pada sahabatku itu. Namun, aku sadar, rasa iri dan dengki itu adalah penyakit hati yang sangat kotor. 

Hingga aku pun membuang jauh-jauh rasa itu. 

Ibuku hanya seorang janda yang membanting tulang sendirian sejak Ayah tiada, dan meninggalkan banyak hutang untuk kami lunasi. Aku pun serta merta ikut dalam menanggung segalanya. Kini, aku hanya memiliki ibu, dan beliau adalah satu-satunya alasanku bertahan dalam kehidupan yang penuh liku ini. 

Aku sempat ikut pindah ke kampung ibuku, dan lama tidak berkomunikasi dengan Aleesha. 

"Ayo, masuk," titah Aleesha. Suaranya berhasil membuyarkan lamunanku akan masa lalu.

"Ini kamar tidurmu, Ay. Kuharap kamu betah ya tinggal di sini." Aleesha menepuk sisi ranjang di sebelahnya seraya mengisyaratkan untuk duduk.

Aku pun beranjak menghampirinya. Menjatuhkan bobot tubuh di sampingnya. Menelisik ruangan yang cukup besar dengan bermacam perabotan yang serasi. 

"Istirahatlah, Ra. Persiapan buat nanti malam!" candanya sembari menaik-turunkan alisnya.

"Apaan sih." Aku tersipu. Segera kututupi rona merah di kedua pipiku.

"Nggak apa-apa sih. Lagian kamu juga istri Mas Rendra. Aku sudah ikhlas, Ra."

"Tapi, Sha. Kayaknya aku belum siap deh."

"Pelan-pelan. Kamu pasti bisa mengambil hati Mas Rendra," ucapnya meyakinkanku. Aku tersenyum simpul.

"Bagaimanapun, akulah yang memintamu untuk menjadi maduku," tambahnya lagi.

"I--iya, Sha. Maafkan aku. Aku akan berusaha membuat Pak Rendra nyaman denganku."

"Nah gitu dong! Nanti malam sampai minggu depan Mas Rendra akan tidur di kamarmu, ya," selorohnya lagi, seolah tanpa beban. 

Senyumnya tersungging sangat indah. Namun, aku tahu sorot matanya penuh luka. Aku sudah bersahabat cukup lama dengannya, tentu aku tahu dan mengerti sedikit banyak tentang dirinya. 

Aku harus segera menyelesaikan tugasku di sini. Dan secepat mungkin pergi dari kehidupan rumah tangga mereka yang bahagia itu. Tanpa aku. 

Tuhan, aku tahu tiada satu orang pun yang akan rela dan ikhlas sepenuhnya saat dirinya dimadu. Berbagi rasa dan raga yang sama dengan perempuan lain. Itu berat. Sungguh berat. Aku tak dapat membayangkan jika berada di posisi Aleesha. Aku tahu, dia kalut dan tertekan dengan keadaan sehingga ide menjadikanku sebagai madu pun tercetus begitu saja. Namun, dengan sebuah syarat. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status