Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk memilih. Sebenarnya ungkapan itu kurang cocok, karena semua orang menjalani hidup tentu dengan pilihan. Artinya, semua orang menjalani kehidupan dengan pilihan. Terlepas beruntung atau tidaknya takdir memeluk kita.
Seperti yang sedang Ayudia alami. Ayudia memilih jalannya sendiri untuk tetap bertahan dengan Ammar. Bukan karena datangnya Ammar dari keluarga terhormat, bukan juga karena parasnya yang masuk ke dalam kategori tampan dan rupawan.
Ayudia memilih tetap bertahan meski menyakitkan, karena kakek-neneknya yang telah mengeluarkan banyak keringat untuk merawat dirinya. Hanya mereka yang Ayudia miliki, bahagianya tak hanya hidupnya. Namun juga kebahagiaan kakek-neneknya. Sedangkan, kakek berkata 'Atuk akan tenang bahagia kalau Dia sudah menikah, apalagi menjadi menantu Abah Ahmad, itu hal yang Atuk dan Uti tunggu sejak dulu'.
Lebih dari setengah hidupnya ia lalui dengan sang nenek dan kakek. Bahkan Ayudia lupa waja
Ayudia perlahan sadar, saat sekantong darah Ela sudah menyatu dengan darahnya."Uti ... Dia dimana?""Dia ... hei, ini aku ... Ela." Kata Ela.Ayudia mengucek matanya, puing-puing ingatan mulai masuk ke dalam memori Ayudia."Bangun, Nduk. Ini Umi."Ayudia membuka mata lebar, menatap satu persatu manusia yang tengah berdiri di samping ranjang pesakitan."Ela ... Umi." Ucapnya dengan suara khas orang sakit."Iya, ini Umi.""Apa yang terjadi?" Tanya Ayudia,Ela dan Umi saling pandang, bingun hendak menjawab apa. Seharusnya mereka yang bertanya apa yang telah terjadi. Bagaimana bisa ia sampai tak sadarkan diri. Namun, apa yang terjadi malah sebaliknya. Akhirnya Umi mengangguk, memberi kode pada Ela untuk menjelaskan apa yang telah terjadi."Ingat Allah, apapun yang terjadi jangan sampai kamu malah sakit begini. Banyak anak yang menunggumu untuk mendapat ilmu darimu. Bukankah itu keinginanmu dari dulu? Sabar ... sabar
Kesehatan Ayudia sudah pulih seratus persen. Seminggu sejak kejadian mengenaskan itu menimpa, ia tak serta merta lupa akan itu.Ayudia ingat bagaimana Ammar merasainya. Bukan karena hanyut oleh keheningan malam, Ayudia rasa karena kebencian yang sangat dalam padanya. Kini, gadis itu tak mau lagi menegur Ammar, menatapnya saja Ayudia seolah trauma.Ayudia menuju kamar mandi, membasahi wajahnya dari kran air yang ia biarkan menyala. Terlihat ada jerawat yang tumbuh dibeberapa titik wajahnya. Rambutnya juga tampak kusut, karena sudah dua hari Ayudia malas menyisir. Entah mengapa, ia sedang tak ingin bersolek, bahkan untuk sekedar menyisir rambut.Ayudia kembali ke kamar. Sekarang ia bebas menggunakan kamar itu. Tak lagi takut akan kemarahan Ammar. Ayudia duduk di depan cermin. Membetulkan ikatan rambutnya, lalu memakai jilbab instan untuk menutupi surai hitam tersebut.Gadis itu tersenyum, sampai merona kemerahan di kedua pipinya. Ia sendiri tak mengerti ken
Akhirnya lonceng kepulangan berdenting nyaring, sampai menyentil gendang telinga Ammar yang berada di kelas paling jauh. Hari itu Ammar hanya memberi soal kepada murid-muridnya, sedangkan ia duduk melamun.Bawaannya ingin marah melulu. Anak-anak ikut kecipratan getahnya."Sudah belum? Kalau sudah selesai cepat kumpulkan. Terus siap-siap berdo'a dan pulang!" Teriaknya,Seperti paduan suara, satu kelas itu kompak menjawab; "beluuumm, Paaak!"Ammar berdiri, berjalan ke meja siswa yang paling depan, lalu menarik buku mereka satu persatu."Kalian ini, soal cuma segitu belum selesai juga, Bapak sudah menunggu sampai jam pulang, kalian belum selesai juga, kalian mau dihukum?!" Marahnya pada anak-anak yang tidak tahu apa-apa.Sang ketua kelas berdiri,"Kami mohon ma'af, Pak. Kami belum ada yang menyelesaikan soal-soal yang Bapak beri. Menurut kami, soal yang bapak berikan sangat banyak dan menyulitkan kami. Dari kami ber-30, hanya berapa anak
"sebenarnya, apa?!" Ayudia menarik kain lap untuk mengeringkan tangannya. Lalu ia beranikan untuk menatap Ammar tanpa ragu. "Sebenarnya Kak Ammar ada masalah apa sama Dia? Dia ndak pernah ikut campur urusan Kak Ammar, apalagi masalah sosial media. Dia mau post apapun juga siapa yang tahu suami Dia? Cuma orang-orang terdekat Dia. Selain itu Ndak ada yang tahu. Jadi jangan khawatir harga diri Kak Ammar akan terjun bebas!" Ayudia berbalik, lalu pergi ke kamar meninggalkan Ammar. Biar tahu rasa, sekali-kali sedikit diberi shok terapi barangkali akan sedikit meluluh. Walau setelah mengatakan itu, Ayudia takut bukan main. Apalagi di rumah itu tak ada siapapun selain mereka berdua. "Dia ... buka pintunya!" "Mau ngapain? Dia mau istirahat." Bohongnya. "Aku mau ambil sesuatu." "Besok aja," Ammar masih betah menggedor pintu kamar tersebut, Ayudia tak menghiraukan. Gadis itu sedikit iseng hari itu. Ia tinggal rebahan dan menutup t
"Hhuuufffrrrr. Apa ini?!" Teriak Ammar sambil meringis. Ayudia menutup mulutnya karena terkikik pelan. Rasanya bahagia banget bisa mengerjai Ammar. Umi hanya geleng-geleng, baru paham ternyata manisnya Ayudia karena ingin memberikan Ammar teh asin. "Ngapain ketawa? Senang?! Istri durhaka, bisa-bisanya ngasih teh asin ke suami. Lihat itu menantu Umi, seperti itu kelakuannya!" Ammar marah, ia kesal. Lalu pergi ke kamar yang ditempati Ayudia. "Am, hei. Mau kemana?" Kata Umi. Ayudia mengintip dari ambang pintu, ah iya. Perempuan itu lupa tak mengunci pintunya dari luar. "Ma'afin Dia, Mi. Dia cuma kesal saja sama Kak Ammar. Dia ndak maksud apa-apa." Kata Ayudia lesu. "Ya sudah, lain kali jangan gitu ya, Nduk? Biarin dulu dia istirahat sebentar, nanti kalau sudah baikan pasti keluar." Ayudia melanjutkan masaknya sampai selesai. Sayur sop, sambel bawang dan tempe goreng. Sampai pukul lima kurang seperempat. "Kalau sudah, Dia m
Ayudia meletakkan kalender kecil yang biasa ia pakai untuk mengingatkan hal-hal penting. Sudah memasuki bulan April. Perempuan itu lalu keluar kamar, menyantap nasi goreng yang sudah ia masak tadi. Kini perempuan yang semakin terlihat anggun itu duduk sendirian di meja makan kecil. Ia sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Sudah lima hari Ayudia meninggali rumah kecil yang berada di sudut belakang pondok pesantren. Bersyukur karena Abah menerima usulannya untuk bertukar tempat dengan Ammar. Awalnya ia takut, namun setelah biasa, Ayudia menjadi betah dan nyaman. Ia ingin hidup sendiri, bila memungkinkan, Ayudia ingin berpisah saja dengan suaminya yang bernama Ammar. Namun ia belum mengutarakan kemauannya pada Abah juga Umi. Ia sendiri bingung, jika benar itu terjadi maka akan sangat membuat Atuk dan Uti kaget. Ah entahlah, perempuan itu kini hanya ingin menikmati perannya dulu sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah. Nasi goreng ludes, tak tersisa barang sebutir. Ayud
Tujuan menikah salah satunya memiliki keturunan. Bagi banyak pasangan, ketika menikah dan cepat dikaruniai anak adalah sebuah berkah yang amat membahagiakan. Namun, bagi sebagian kecilnya, anak menjadi penghambat karir mereka yang sedang cemerlang-cemerlangnya.Ada juga sebagian pasangan yang lama menikah masih belum juga dipercaya untuk mengemong buah hati. Banyak sekali cerita mengenai anak di dalam rumah tangga. Ela saja yang menikah lebih dulu, belum diberi keturunan. Ayudia bahkan baru dirasai sekali saja oleh Ammar.Ayudia menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bisikan s**** yang semakin gencar menancapkan ujaran kedzaliman."Astaghfirullah ... Ya Allah, kenapa harus hamba yang Engkau pilih, kenapa bukan Ela yang sudah dua tahun menikah? Kenapa harus hamba yang belum bisa membina rumah tangga dengan layak? Hiks ... hiks ..."Jika sedang gundah dan gusar, manusia seringkali menyalahkan takdir, bahkan kadang lupa siapa penguasa jagad raya sesungguhnya.
Ammar kembali ke rumah pukul tujuh, setelah semua anggota keluarga melakukan santap malam.Ammar lusuh dan kusut, ia juga meninggalkan semua aktivitas yang biasanya dilakukan. Sejak keluar dari tempat tinggal Ayudia, Ammar memilih menyendiri di bawah rumpunnya pohon bambu."Assalamualaikum." Seru Ammar kala kakinya memasuki rumah. Abah juga harus absen dari pengajian karena khawatir dengan Ammar dan Ayudia.Umi dan Abah berdiri menyambut putranya yang terlihat tak baik-baik saja."Walaikumsalam. Kenapa lusuh gitu, Am? Dia ndak marah lagi kan?"Ammar diam."Biar Ammar makan dulu saja, Mi.""Ya sudah, ayo ke belakang. Umi temani makan."Umi menyuguhkan piring yang sudah berisi nasi dan lauk pauk."Ini, dimakan dulu."Mencium aroma nasi di rumah, membuat perut Ammar mual. Nasi yang urung masuk ke mulut, sudah tertolak mentah-mentah. Ammar tak sanggup merasai nasi tersebut."Perut Ammar mual, Mi.""Loh,