Sepekan telah berlalu. Bulan Desember pada minggu terakhir, menjelang pergantian tahun malam nanti akan diadakan sebuah festival. Kota yang berdekatan dengan pantai dan laut sebelumnya sepi, kini telah ramai dari berbagai macam orang berdatangan. Entah dari kota lain, pedesaan atau bahkan dari luar negeri. Para turis asing bersemangat.
Daya tarik kota ini tentu saja adalah sebuah pantai dengan keindahan laut tak tertandingi. Deburan ombak menerpa lembut ke bibir pantai, membasahi pasir hingga berubah warna menjadi gelap. Fajar telah menyingsing, setiap orang dari rumah mereka mulai beraktivitas tuk menyiapkan festival malam nanti.
Begitu pula dengan Benedetta, Jean dan Arum yang berada satu rumah. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Arum dianggap sebagai kerabat dari kejauhan sehingga takkan memancing sebuah kesalahpahaman begitu para tetangga mendapati keberadaannya.
“Kakak, sepertinya sudah terla
Pemandangan di senja hari tak kalah cantik dengan matahari yang baru saja terbit, matahari perlahan mulai tenggelam menampakkan keindahan yang sulit diungkapkan lewat kata-kata. Embusan angin menerpanya lembut, seolah sadar, Arum yang merasakan sakit di kedua pergelangan tangannya itu lantas menoleh ke belakang. “Aku kira Julvri sudah datang,” pikirnya yang merasa kecewa.Kontak batin tersalurkan dalam sadar, meski berupa dugaan nampaknya Arum yakin bahwa Julvri benar-benar telah datang meski tidak mendapati keberadaannya itu.Berjalan di atas pasir tanpa alas terasa lembut dan basah. Cuaca pun mendukung festival yang diadakan. Para pengunjung mulai tak sabar malam nanti, begitu juga dengan Arum. “Arum, kamu sedang menunggu siapa?” Dari samping Jean muncul dan membuat Arum sedikit terkejut, reflek ia menghindar. Sesaat mereka sama-sama terdiam. Dalam beberapa waktu setelahnya barulah Arum angkat bicara. “Apa maksudmu? Kamu membuatku terkejut saja, Detektif Jean.” Sekaligus bertan
Julvri mengenakan pakaian biasa, seperti orang-orang pada umumnya yang pergi ke pantai. Ia juga mengenakan topi guna menutupi wajahnya saat datang kemari. Berharap pertemuan dengan Arum berjalan lancar justru ia mendapati istrinya yang hendak menjatuhkan diri ke laut dari atas tebing.Julvri sangat terkejut dan lekas menghampiri dan menarik lengannya mundur agar tidak terjatuh sesuai harapan Arum sendiri. Wajah yang pertama kali dilihat setelah sepekan tidak berjumpa adalah wajah sedih.Air mata mengalir deras dari kedua matanya, berkaca-kaca sampai sulit melihat keadaan sekitar. Jika tidak mendengar suaranya saat berbicara maka mungkin Arum tidak akan tahu bahwa itu Julvri.“Julvri. Katakan padaku, apakah aku yang sudah berbohong ini tetap berharga di matamu?” tanya Arum.Keningnya mengerut, kelopak matanya bergetar, pupil yang hendak menghindari tatapan seorang p
Tidak adil. Satu kata yang paling pantas bagi Arum untuk dirinya sendiri ketika menghadapi kenyataan akan perasaan Julvri yang sebenarnya. Sosok pria yang seharusnya tidak punya hati, bahkan membunuh orang dengan mudah. Wajah yang tidak memperhatikan siapa yang dibunuh dan dengan apa."Bagaimana kamu bisa mengatakannya semudah itu?" Arum bertanya-tanya dalam hatinya saat ini.Tidak memahami dengan jelas apa maksud ucapan Julvri, Arum hanya bisa diam di sana. Air laut yang dingin membuat tubuh mereka gemetar kedinginan. Didekap di dada serta merasakan embusan napas darinya. Aneh tapi Arum merasa nyaman.“Aku sudah berbohong. Justru aku sudah siap jika kamu akan membunuhku karena itu jangan pernah menyakiti orang lain,” ucap Arum.“Tidak. Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal. Aku 'kan hanya sekadar mendorong kita berdua ke laut agar kamu tahu bahwa kemat
Mulut senjata api diarahkan langsung pada Julvri. Percuma saja hal seperti ini disembunyikan dan Julvri melepas pelukannya agar Arum mengerti situasi yang terjadi saat ini. “Semua wanita mengatakan hal yang sama. Kau itu sampah dan penipu ulung yang hanya bisa mempermainkan mereka,” sindir Jean sembari menatapnya tajam. “Jahat sekali. Mengatakan aku seperti itu, tapi itu hanya setengah benar saja.” Julvri sedikit tertawa. Arum mengernyitkan dahi, mendengar suara seseorang selain Julvri dan ia sadar suara siapa itu. Perlahan menoleh ke belakang dengan perasaan ragu, Arum berharap ini bukan seperti yang dipikirkannya. “Astaga ...,” Sayang seribu sayang, hal yang tak diinginkan ternyata sudah terjadi. Jean berada persis di belakang mereka dan mengetahui pertemuan ini secara langsung, namun yang membuatnya heran adalah untuk apa Jean menodongkan pistol?“Jean?” “Arum, cepat menyingkirlah dari sana!” pinta Jean setengah berteriak.Arum terdiam kebingungan, tidak begitu memahami apa m
Tidak ada yang tahu suatu insiden itu terjadi, seolah lenyap seketika. Malam berlalu tanpa halangan. Benedetta pun tidak tahu kejadian itu.Di ambang kematian, Arum bermimpi hal indah, saat-saat ia bertemu dengan Julvri untuk yang pertama kalinya.Tap! Tap! Tap!Berlari cepat menuju ke luar halaman, sesosok wanita bergegas dengan wajah panik luar biasa. Ada sesuatu yang terlupa sebab itulah ia hendak pulang dan mengambilnya. Niatnya hanya begitu tapi seorang pria berjaket hitam dan baru saja turun dari motornya membuat pandangan Arum terpaku sejenak.“Eh?”Keduanya saling bertukar tatap dengan ekspresi datar tapi juga dibaluti dengan rasa penasaran. Tentang siapakah ia, apa yang sedang dilakukan dan lain sebagainya. Tiba-tiba mereka saling menaruh rasa penasaran yang sama, seolah takdir dari langit telah mempertemukan mereka. 
“Dia tidak pantas! Aku menjaminnya dia itu sampah! Sampah masyarakat!” cerocos Jean panjang lebar tanpa berpikir panjang.“Hei, jangan bersikap kasar begitu!” seru Eka, memperingatinya.“Sudahlah, kau lebih baik diam saja. Bukankah kau juga tidak rela kalau Arum akan berpacaran dengan dia?!”“Apa maksudmu bilang begitu? Dia anak yang baik.”“Matamu buta!” pekik Jean semakin kesal. “Kau tidak tahu bagaimana sifat aslinya, jadi diam saja!” lanjutnya berteriak.Jean berpikir lelaki ini tidaklah pantas bersanding dengan Arum Kusuma Pramesti. Jean setengah berteriak saat mengatakan hal itu dan tentu saja itu mengundang perhatian banyak orang yang secara kebetulan mendengarnya.***Menjelang siang hari, di perpustakaan. Julvri bersama dengan seorang perempuan cantik berkaca
Cincin yang pernah digunakan Jean untuk melamar Arum tapi ditolak secara halus. Meskipun Arum saat itu tidak mengatakan apa-apa, Jean sudah tahu bahwa itu adalah tanda penolakan.Dengan kuat ia mengenggam kotak merah miliknya sembari berpikir dalam batin, "Tidak mungkin. Dia tidak memiliki rasa apa-apa padaku jadi buat apa dipaksa?"Jean memutuskan untuk menyerah, ia berpikir dirinya tidak akan pernah diterima oleh Arum. Lantas pria itu pun segera pergi dari perpustakaan lalu menemui Eka yang kebetulan sedang senggang dan sendirian sekarang.“Hei, Eka!” serunya memanggil.Eka menoleh ke samping, sedikit terkejut karena Jean yang datang.“Memanggilku begitu, apa ada masalah?” duga Eka sembari menatapnya serius.“Tidak. Aku hanya ingin memintamu berkencan dengan Arum.”Seketika Eka terdi
Ruang kelas yang sepi menjadi saksi bisu akan kedekatan mereka, terlebih Julvri yang ternyata memiliki sikap agresif. Arum tidak mampu berkata apa-apa selain diam dan memandang paras tampan itu dari dekat. “Arum?” Julvri memanggil sembari menepuk kedua pundaknya pelan, Arum tersentak kaget dan membuyarkan lamunannya. “Eh, iya. Maafkan aku. Bisakah aku tahu namamu?” tanya Arum malu-malu, ia memalingkan wajah agar bisa menjaga kewarasannya.Mengulas senyum kecil nan manis, pria itu justru sengaja menggodanya, ia mengangkat dagu Arum dengan jari telunjuk dan secara otomatis pandangan Arum terpaku padanya.“Jika benar-benar ingin berbicara sesuatu, maka biasakanlah untuk tetap menatap lawan bicaramu,” tutur Julvri. Arum menganggukkan kepala, Julvri pun menurunkan jarinya. Sejenak Arum berpikir tentang kalimat apa yang akan ia sampaikan tapi tetap saja ini sulit diputuskan. “Banyak orang yang suka padamu, tapi aku tidak pernah mendengar kamu berpacaran. Bisakah aku memastikan namamu it