(Prolog)
"Tolong, jangan sentuh aku!" lirihku, seraya meremas dan menutup rapat kerah baju kemeja putih yang aku kenakan.
"Kenapa? Kamu sudah saya bayar, jadi saya berhak atas tubuh kamu!" jawabannya dengan enteng.
Dia mendekati ranjang, lalu tangan kekarnya terulur, dengan lembut Pria itu memegang daguku, ku tatap wajahnya sekilas lalu ku tundukkan kembali wajah ini. Aku semakin takut padanya, ku bergeser ke belakang duduk meringkuk menyenderkan punggung di kepala ranjang, nafas ini tersengal, rasanya dada ku sesak, melihat tatapan matanya yang liar dan beringas, seperti macan yang kelaparan dan akan segera menerkam mangsanya.
"Tolong Tuan, saya mohon jangan sentuh saya!" rengekku, sambil menggeleng pelan.
"Kalau kamu tidak mau saya sentuh, kenapa kamu berada di sini? Bukannya kamu sendiri yang datang, dan meminta pekerjaan pada saya, untuk mendapatkan uang dengan mudah,"
"Tapi bukan pekerja'an seperti ini yang saya mau, Anda sudah menjebak saya!" tukasku, dengan suara tercekat dan nafas tersengal.
"Hm." Dia tersenyum miring padaku membuat jantung ini berpacu dengan cepat, dadaku terus bergemuruh.
Aku sangat takut, pada pria di depanku itu, wajahnya memang tampan dan maskulin, hidungnya mancung, matanya tajam, rahang pipinya di tumbuhi bulu jambang dagunya berjanggut, menurut pandanganku dia Pria yang sempurna, dan mungkin di semua mata para wanita, tampan, iya dia memang sangat tampan, tubuhnya yang kekar dan berotot, membuat wanita yang melihatnya ingin di peluk bahkan mungkin ingin mencicipi tubuhnya yang seksi, dia kaya uangnya melimpah tak terhitung jumlahnya.
Dia bernama Devan aku tak tau nama lengkapnya, ia masih sangat muda usia sekitar 30 tahun menurut analisis ku, Pria ini punya segalanya, wajahnya yang tampan dan kekayaan nya yang melimpah, membuatnya lupa diri, Pria ini sering menghabiskan uangnya untuk membayar jasa perempuan mana saja yang dia mau dan ia sukai, tanpa ada ikatan.
Jika aku tak terjebak dan tak terlilit hutang aku tak mau menerima tawaran dan menemui dia, untuk meminta bantuan darinya. Ku kira Pria ini mau mempekerjakan ku sebagai asisten rumah tangga, atau asisten pribadinya, namun kenyata'annya bukan, aku malah akan di jadikan pemuas nafsu birahinya.
Nama ku Silviana, nama yang simpel dan mudah di ingat, nama panggilan ku Silvi, usiaku 19 tahun, aku mencari pekerjaan ke kota besar, untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya agar aku bisa melunasi hutang ibu ke rentenir, namun nasib berkata lain aku malah terjebak di sini.
*
Flashback.
Seperti pagi sebelum-sebelumnya. Aku membantu ibu memasak untuk jualan nasi uduk keliling kampung, pukul setengah 5 subuh aku sudah mematut dengan pekerja'an ku menggoreng tempe dan tahu, di wajan yang terjerang di atas kompor gas satu tungku.
Sementara ibu sedang membuat telor balado untuk pelengkap jualannya, wanita bertubuh agak kurus itu dengan cekatan meracik bumbu dan telor balado pun sudah berpindah tempat ke dalam baskom stainless. Lalu ibu mengukus nasi yang sudah di aronin terlebih dahulu.
"Ibu, ini tempe nya udah matang semua, sekarang mau goreng apa lagi?" tanya ku sambil meletakan baskom kotor bekas adonan ke dalam bak cucian piring kotor yang berada di kamar mandi samping dapur.
"Tempe nya, di tata aja dulu ke atas nampan! kan udah beres semua tuh, nanti tolong beli'in ibu kantong plastik, satu pak! Ini uang nya ya!" titah ibu seraya menyodorkan selembar uang kertas 20.000.
"Iya Bu," sahutku, dan berlalu menuju pintu keluar. Kutarik slot pintu kayu bercat merah yang sudah pudar ini, bahkan pegangannya pun sudah di ganti dengan kayu bukan handle pintu terbuat dari besi atau keramik yang biasa menempel di rumah gedongan.
Aku berjalan menuju warung dengan langkah cepat, fajar menyingsing remang-remang cahaya mentari dari ufuk timur mulai menyusup ke celah dedaunan yang rindang menutupi desa kami.
Sampai aku di sebuah warung sembako letaknya tak jauh dari rumah yang aku tempati, hanya lima menit berjalan kaki, warung langganan aku itu sudah buka dari pukul 5 pagi usai subuh pemiliknya memang rajin, pagi-pagi buta saja dia sudah mulai mencari nafkah, nama warung itu grosir Haji Amir penyedia semua kebutuhan sembako paling besar di desa ku.
"Pak, beli kantong plastik bening," ucapku pada Pria paruh baya yang mengenakan kopiah putih dan kaos oblong putih bawahan celana bahan hitam setengah betis.
"Mau beli berapa pak Silvi?" tanya nya sambil mengulas senyuman.
"Satu aja, Pak haji," jawabku seraya menyodorkan uang yang tadi di berikan oleh ibu.
Tak lama dia memberikan barang yang aku minta, aku pun menerimanya juga yang kembalian dari pak haji.
"Makasih ya Sil, kamu anak rajin, pagi-pagi gini kamu udah mau di suruh, dan membantu ibu kamu,"
"Iya Pak haji, aku kan anak yang paling gede, jadi aku harus membantu ibu," ujarku sambil berpamitan.
Aku pun berlalu sambil melangkah kan kaki, dan sampai di belokan ke arah rumah tiba-tiba langkahku terhenti melihat ada seseorang berdiri di depan pintu, dia sedang berbicara dengan ibu, tapi aku melihat ada ketegangan di wajah ibu, sebenarnya ada apa ini.
Karena rasa penasaran, Aku pun berlari tergopoh-gopoh menghampiri ibu dan orang itu.
"Bu Tati, ada apa pagi-pagi ke rumah kami?" tanya ku sambil merengkuh bahu ibu.
"Silvi... Kamu harus tau! ibu kamu itu punya hutang sama saya 30 juta. Sudah berbulan-bulan ibu kamu tidak membayar bunganya, hanya janji dan berjanji saja, tapi mana buktinya?sampai sekarang belum juga ada uang yang masuk, apa lagi di lunasi, malah nyicil pun jarang, liat ni hutang ibu kamu!" ucapnya sambil menyodorkan buku catatan hutang ibu.
"Bu Romlah, kalau hutang ibu tak di angsur, makin lama akan semakin menumpuk, tak mungkin kan anda bisa membayarnya? Apa... rumah ini saya sita," lanjut wanita berambut keriting sepunggung, tubuh nya yang gemuk di balut daster.
Aku menoleh ke arah ibu wajahnya tertunduk, gurat bingung nampak jelas di raut wajahnya yang tak muda lagi, kerut halus di bawah matanya sudah semakin jelas bahwa ibu banyak sekali menanggung beban dalam hidupnya, beban yang aku tak pernah tau selama ini.
"Tapi.. saya belum ada uang, saya minta tempo lagi!" jawab ibu dengan suara gemetar.
"Hallaah, selalu itu yang jadi alasannya, sampai lebaran monyet pun Bu Romlah takkan bisa membayar, kalau setiap hari cuma jualan uduk keliling kampung," cibir Bu Tati sambil menunjuk jarinya ke wajah kami.
"Bu Tati, saya akan membayarnya bulan depan! Jadi ibu jangan khawatir! Saya akan lunasi," jawabku dengan enteng.
"Tapi Nak, uang dari mana?" lirih ibuku.
"Bu, aku mau ke ibu kota, aku mau cari kerja," ujarku pelan berbisik di telinga ibu. Ibu menoleh menatap ku dengan tatapan penuh kebingungan.
"Tapi Nak,"
"Udah, ibu diam saja! Biar aku yang urus!"
Ternyata ibu memiliki hutang pada rentenir kejam ini, ya Tuhan... Apa yang harus aku lakukan, ku hanya bisa mengusap-usap wajah ini, hawa dingin di tubuh ini yang tadi kurasakan, kini menjadi gerah sa'at mendengar ucapan perempuan itu.
"Bu Tati... kasih kami waktu dulu! aku pasti akan melunasi hutang-hutang ibu," ucapku meyakinkannya, Ku bicara sekenanya untuk menenangkan dia. Aku juga tak tau bagai mana caranya untuk mendapatkan uang dan melunasi hutang ibu.
"Kamu mau kerja apa, hah, menjanjikan uang 30 juta dalam satu bulan? Apa kamu mau jual diri?" cibirnya tersenyum miring mengejek. Ibu meradang mendengar hina'an dari bibir tebal dan lemes milik perempuan itu.
"Heh, jaga mulut kamu ya!" bentak ibu seraya menunjuk jarinya ke wajah Bu Tati. "Kalau hanya untuk menghina anak saya, Sebaiknya kamu pergi dari sini! Saya akan lunasi hutang-hutang saya, berikut bunganya, bagaimana pun caranya!" ucap Ibu, nafasnya tersengal di penuhi amarah karena tak terima mendengar hina'an Bu Tati.
"Kamu mau bayar pake apa? Kamu kira uang 30 juta itu sedikit, bayar bunganya saja kamu gak mampu, apalagi melunasi keseluruhannya?"
Hatiku sakit mendengar hina'an itu lagi, dari wanita jahat ini, Aku menatap wajah ibu seraya mengusap bahunya dengan lembut.
"Bu, udah jangan ke pancing emosi! Ini masih pagi, nanti ibu malah gak fokus jualannya." Aku beralih pandang ke wajah Bu Tati.
"Bu Tati, saya minta, anda segera angkat kaki, dari hadapan kami!" Aku menatap tajam wajah berpipi tembem itu. "Ku pastikan hutang itu, bulan depan akan lunas! Anda jangan khawatir!" ucap ku, suara ini tak kalah tinggi dari suara perempuan berbibir tebal itu.
"Oke, saya pegang janji kamu! Bulan depan," dengkurnya sambil tersenyum miring mengejek. "Tiga puluh hari dari sekarang, jangan sampai bohong! Silahkan hitung sendiri, berapa kamu harus mengumpulkan uang dalam sehari, sampai terkumpul 30 juta? satu hari sejuta dengan berjualan nasi uduk, apa bisa?" ucapnya pelan namun penuh tekanan dan hina'an.
Aku menelan ludah dengan susah payah, ku melihat mata ibu berkaca-kaca, ada kesedihan yang mendalam di mata wanita yang sangat aku sayangi ini.
"Bu Tati, anda jangan meremehkan orang kecil! Saya akan buktikan bahwa saya juga bisa lebih kaya dari anda, Camkan itu!" sungut ku sambil menunjuk jari ke wajahnya.
Karena rasa kesal pada orang itu sampai aku tak bisa mengontrol diri, hingga aku bersikap tidak sopan pada orang yang lebih tua dari ku, bicarapun aku asal keluar dari bibir ini.
"Owh, anak kecil gak punya adab ya, berani-beraninya kamu menunjuk jari ke wajah saya orang kaya dan lebih tua, dari usia mu," umpatnya tatapannya tajam merendahkan ku, lalu dia membalikkan badannya dan hendak melangkah.
"Awas jangan bohong! Saya akan kembali lagi tanggal 02 bulan depan!" ancamnya sambil menoleh dan menatap sinis ke arah kami.
Sepeninggalnya Bu Tati, aku merengkuh tubuh ibu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah, kami berdua berada di dapur aku menuntun ibu ke arah kursi.
"Silvi, bagaimana ini? Kita mau bayar hutang sama Bu Tati, uangnya dari mana? Ibu bingung Nak," ucap ibuku dia duduk di kursi kayu yang sudah lapuk.
Aku berdiri di hadapan ibu, ku membungkukan badan seraya memegang kedua bahunya yang kurus, ku tatap lekat-lekat wajah perempuan yang sangat ku sayangi itu, dengan tatapan penuh kasih."Bu, aku akan cari uang! bagaimana pun caranya, agar aku bisa melunasi hutang-hutang kita, pada rentenir kejam itu, tapi aku minta izin dari ibu! Untuk pergi mencari pekerjaan di kota besar!" ucap ku penuh harap."Tapi Nak, ibu gak mau kamu jauh dari sisi ibu! Kamu anak perempuan ibu satu-satunya, ibu khawatir kalau kamu pergi ke kota besar, kamu mau ikut siapa di sana Nak? Kamu anak gadis ibu, ibu takut terjadi apa-apa dengan kamu," jawab ibu sambil menangkup pipi kiri ku. Aku mendeku di hadapannya seraya mendongakkan wajah."Bu." Ku raih tangan ibu dan menggenggamnya, ku tatap wajah ibu lekat-lekat. "Ibu percaya sama aku! Aku gak akan melakukan hal di luar batas, apalagi melakukan hal yang di larang oleh agama." Aku meyakinkan ibu."Sudah Silvi! ibu mau berangkat dagang dulu,
Aku masih berkutat dengan pekerjaan rumah, menjemur pakaian baru saja selesai, mentari lumayan terik, sehingga keringat pun bercucuran sebesar biji jagung, ku mengusap pipi tirus ku yang basah dengan keringat."Huh, capek." Ku bergumam sendiri menumpu satu tangan di pinggang, tanganku yang lain menyibak anak rambut, dan ku selipkan di belakang telinga."Tinggal nyapu lah," ucap ku sambil berjalan menuju samping rumah, untuk mengambil sapu lidi dan pengki yang teronggok di pinggir tembok rumah. Ku menyapu halaman yang masih sedikit basah sisa hujan semalam.Daun ceremai yang gugur karena terpaan air hujan dan angin kencang membuat daun keringnya berserakan di mana-mana, baru saja setengah halaman aku sudah letih, ku berdiri dan meletakkan kedua tangan di pinggang sambil menggerakkan badan."Ini daun... Kurang ajar amat sih," umpat ku sedikit berteriak. Aku kesal karena susah di sapu tanahnya basah daunnya menempel dan lengket hingga sangat sulit untuk di
Aku melongok dari kaca jendela mobil yang aku tumpangi, pandangan ku mengedar ke sekeliling jalanan berharap bisa bertemu ibu sebelum berangkat ke ibu kota. Dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat aku kenal menggendong bakul dan menjinjing box, tubuh kurusnya di balut gamis maroon yang lusuh dan kerudung bergo hitam. Dia adalah ibuku."Nab, Nab, itu ibu," ucapku, pandanganku tertahan ke arah ibu sambil menarik-narik tangan Nabila."Kak, berhenti! Silvi mau pamitan dulu pada ibunya!" pinta Nabila pada kakaknya. Mobil pun menepi di pinggir jalan dekat mushola. Aku membuka pintu dan segera keluar dari mobil."Ibu..." Panggil ku sambil berteriak dan berlari ke arahnya, aku takut ibu keburu jauh, ibu pun menghentikan langkahnya ia menatapku lalu meletakan box plastik di dekat kakinya."Silvi." Ibu merentangkan kedua tangannya ke arah ku, dengan cepat aku menjatuhkan tubuh ke pelukannya."Ibu,""Nak, kamu benar-benar akan pergi!" Aku mengangguk.&nbs
"Sil, Silvi," samar-samar ada suara yang memanggil namaku. "Bangun!" lanjutnya. Akupun mengerjap sambil mengucek mata."Iyah, ada apa?" sahutku, rupanya aku ketiduran di dalam mobil, aku sangat letih semalaman tak bisa tidur, karena memikirkan aku akan pergi meninggalkan Ibu dan Adik-adik ku, sehingga mataku terjaga sepanjang malam."Silvi, kita udah sampai, ayo turun!" ucap Nabila seraya membuka pintu mobil sampingnya, dia pun keluar, sementara Mas Andri dan Mbak Karina sudah turun dan masuk duluan ke dalam rumah."Oh, kita udah sampai ya?" tanya ku pada Nabila, nyawaku belum sepenuhnya sadar, efek tidur yang nanggung cuma beberapa menit, akupun turun mengikuti dia dari belakang, sambil menggendong tas ransel ku.Rumah minimalis dinding tembok warna abu-abu, rumah mungil sederhana namun sangat nyaman, ku berpijak di jalan konblok halaman rumah ini, kanan dan kiri jalan yang kupijak tanaman hias yang hijau nan indah sehingga menghadirkan nuansa asri."S
Di meja makan sudah tersaji nasi putih ayam goreng dan cumi pedas manis juga sup ayam jamur, sebagai pelengkap lalapan selada air mentimun dan sambal goreng, minumannya jus buah, dan untuk cuci mulut beberapa jenis buah tersedia di meja makan, mangga yang tadi kami kupas pun ikut serta di hadapan kami.Jauh berbeda dengan menu setiap hari di rumah ku, setiap pagi aku sarapan nasi uduk sama bihun goreng, tempe orek, kerupuk udang, makan siang alakadarnya kalau ada telur sisa ibu jualan, ya kami makan telur meski satu butir di bagi dua, makan malam tumis-tumisan jarang sekali kami makan ayam apalagi lauk yang enak mungkin tidak pernah.Ya Tuhan... Apa-apaan aku ini masih saja membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan ku, yang jauh berbeda. Aku mengusap wajah, menyadarkan diri ini yang terhanyut dalam lamunan.Masih beruntung aku bisa makan 3 kali sehari walaupun makan seadanya, di luaran sana masih banyak orang yang ketemu nasi hanya sekali sehari, ba
15 menit perjalanan kami lalui, menuju tempat yang di janjikan oleh Mbak Karina. Mas Andri mengurangi laju kendaraannya, lalu membelokan mobilnya dan menepi di halaman sebuah bangunan. Aku melongok dari kaca jendela mobil mataku mengedar keluar, tempatnya sangat asing bagiku."Mbak, emang kita sudah sampai?" tanya ku pada Mbak Karina yang duduk di kursi depan samping Mas Andri.Mbak Karina memutar tubuhnya menoleh padaku, "Iya Sil, kita sudah sampai, sekarang kita turun yuk!" ajak Mbak Karina sambil menganggukkan kepala."Iya Mbak." Akupun membuka pintu mobil dan turun ku seret koper berisi baju-baju pemberian Mbak Karina, aku mendongak menatap papan nama yang terpampang di atas kanopi, (Maya coffe shop). Aku langsung menyimpulkan bahwa pemilik tempat ini bernama Maya.Kami bertiga berjalan menaiki undakan tangga menuju pintu. Aku berjalan paling belakang mengikuti Mbak Karina, Mas Andri mendorong pintu kaca yang masih ada tulisan tutup yang menempel di kaca.
Ku kenakan baju seragam kemeja lengan pendek hitam kombinasi warna merah di sisi kanan nya, dan celana jeans hitam, rambut panjang ku, ku ikat kuncir kuda, lalu ku buka pintu toilet, aku keluar berdiri di depan lorong toilet dan musholla. Ku pejamkan mata sejenak menetralkan rasa gugup, karena hari ini adalah hari pertama ku bekerja, dan akan berhadapan dengan orang banyak.Meski gaji yang di janjikan hanya 3,5 juta perbulan namun aku tetap bersyukur, tekad ku mencari kerja tak lain hanya untuk membahagiakan keluarga dan membatu ibu melunasi hutangnya ke rentenir, walaupun gajiku sebulan takkan cukup untuk membayar hutang, tapi aku akan fikirkan nanti, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya, yang penting kita berusaha.Ku berdoa semoga di hari pertama ku ini bekerja, aku di berikan kelancaran oleh Tuhan, agar aku bisa menjalankan tugas dan melayani para pengunjung dengan baik, semoga saja aku bisa di percaya oleh Bu Maya yaitu Bos baru ku.Pukul 10 pag
"Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!""Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan."Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian."Baik Bu."Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan ol