"Jadi ibu mau dengar cerita yang sebenarnya dariku, atau dari anak ibu?" tawar Shanum lagi seraya menunjuk tepat di wajah Arya.
Suaranya lembut namun penuh penekanan itu sanggup memecah keheningan yang menyapa di ruangan itu.Arya terkesiap. Mana mungkin dia membiarkan istrinya itu menjelaskan yang sebenarnya. Bisa-bisa kebohongannya selama ini terbongkar.'Aku nggak boleh diam saja!' tekadnya dalam hati."Biar aku aja yang jelasin, Sha. Sekarang, aku minta kita sudahi perdebatan ini, ya. Aku lelah, ingin istirahat." Arya berkata dengan nada memelas ke arah Shanum yang masih menatap tamu-tamu tak diundangnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. 'Ck, tentu saja kamu lelah, Mas. Alasanmu ke luar kota selama hampir seminggu ini, rupanya untuk mempersiapkan kepindahan ibu, adikmu dan juga istri barumu.' Shanum membatin geram dalam hatinya. "Duh, udah deh, Mbak Shanum. Jangan kebanyakan drama! Aku tuh capek, mau istirahat. Mana, ayo tunjukkan kamarku." Lila yang sedari tadi diam, rupanya sudah tak sabar untuk menempati salah satu kamar di rumah mewah milik Shanum itu. Ucapannya sama sekali tak memiliki sopan santun terhadap Shanum yang merupakan kakak iparnya juga tentunya usia mereka tidak sebaya."Benar itu, ayo mana tunjukkan kamar kami," timpal Bu Desi yang seolah tak peduli dengan perasaan Shanum.Arya menatap Shanum lagi, seolah-olah tengah meminta persetujuan dari istrinya dengan tatapan mengiba. Shanum hanya menanggapi tatapan Arya dengan acuh. "Ibu, Lila. Dengar ya, sekali lagi kalian harus tahu segala sesuatunya dulu sebelum memutuskan tinggal di rumah ini. Jadi Mas Arya ini—""Sudah, Sha. Tolong. Kamu nggak ngerti banget sih, aku capek. Kita kan bisa bicarakan ini nanti, Sha!" potong Arya sengaja menyela ucapan sang istri.Shanum memiringkan sudut bibirnya. Seakan mengejek sikap pecundang dari Arya. "Enak saja kamu memintaku menyudahinya, Mas! Kamulah yang memulai semua ini!" seru Shanum geram dengan sikap Arya yang terlalu menganggap enteng masalah itu.Arya bersikap masa bodoh saja, seakan-akan tak mendengarkan seruan Shanum yang tak menyukai kehadiran istri baru suaminya itu. "Sudah, Arya! Nggak usah hiraukan istrimu itu. Dia itu palingan marah karena kamu udah punya istri, dan istrimu lagi hamil! Jadi dia iri karena nggak bisa hamil!" sergah Bu Desi mendelikkan bola matanya sinis ke arah sang menantu.Lagi dan lagi, Shanum menelan ludahnya seraya menegarkan hatinya. Dia memang sengaja tidak hamil dulu dan mengonsumsi pil KB tanpa sepengetahuan Arya. Hal itu dia lakukan demi menguji cinta dan ketulusan Arya. Lantas, hari ini semuanya terbongkar. Shanum bersyukur dia belum mengandung buah hati dari pria pengkhianat seperti Arya."Terserah, apa kata Ibu, yang jelas saya nggak sudi ada sampah yang masuk ke rumah saya ini," tukas Shanum dengan nada menyindir Anara."Mas, dengar nggak? Dia ngatain aku sampah!" protes Anara tak terima ketika melihat sorot meremehkan dari Shanum."Kalau kamu bukan sampah, lalu apa?" Shanum sengaja menantang Anara."Mas!" rengek Anara meminta pembelaan Arya. Pria itu merasakan kepalanya berdenyut akibat ulah dua istrinya yang berseteru itu."Huh, sebel deh! Berisik banget kalian!" Lila berdecak kesal, lalu bangkit dari tempat duduknya dan tanpa kata langsung masuk menjelajah seisi rumah Shanum. "Hei, kamu mau ke mana, tunggu ibu!" seru Bu Desi seketika menyusul langkah Lila."Bawa dia pergi, Mas!" tegas Shanum menyorot tajam mata Arya. Berusaha mencari celah dan alasan untuk mempertahankan rumah tangga yang masih seumur jagung itu. "Nggak bisa, Sha! Dia istriku, dia juga sedang mengandung anakku. Mana mungkin aku menelantarkannya," tolak Arya dengan wajah tertunduk lesu. Shanum menghela napasnya panjang. Rasa cinta yang mulai tumbuh pada suaminya itu kini menguap begitu saja. Rasanya sia-sia saja mempertahankan rumah tangganya dengan Arya. "Kamu sungguh nggak bisa mengusirnya dari rumahku, Mas?" Sekali lagi, Shanum bertanya. Arya hanya menggelengkan kepalanya, tanpa berani menatap wajah Shanum. "Anara, Ayo kita masuk. Kita ke kamar tamu." Arya lantas berlalu sembari menggiring istri keduanya itu ke kamar tamu. Tanpa menghiraukan Shanum yang masih menatap mereka dengan raut keberatan. Sementara, Shanum yakin kalau ibu mertua dan adik iparnya itu sudah masuk ke kamar lainnya. Karena memang rumah ini terdapat banyak kamar. Tiga di lantai bawah, dan tiga di lantai atas. Rumah yang ditinggalkan oleh Dhanu Mahendra, ayah Shanum begitu besar dan megah untuk anak tunggal sepertinya. Dhanu selalu berharap suatu saat Shanum berumah tangga dan memiliki banyak anak sehingga rumah ini akan riuh ramai oleh kehadiran cucu-cucunya. Namun, amat disayangkan ketika setahun yang lalu Dhanu meninggal dunia. Satu-satunya keluarga yang Shanum miliki sudah tiada. Dan saat ini, dirinya hanya memiliki Arya saja sebagai pasangan hidupnya. Namun, sepertinya mulai saat ini Shanum harus terbiasa sendiri, setelah Arya terang-terangan berkhianat di depan mata kepalanya sendiri. Lelaki itu sudah melewati batasnya. Shanum menghela napas panjang demi meredam emosinya, "Ya, biarkan saja deh. Setidaknya untuk malam ini aku akan membiarkan mereka tidur dengan nyaman," gumamnya.Bukan. Bukannya Shanum bodoh membiarkan mereka tetap tinggal di sini. Hanya saja, sisi kemanusiaannya tetap tak tega jika melihat kondisi Anara yang katanya tengah hamil. Shanum dapat melihat dari balik dress biru laut selututnya kalau perutnya sudah tampak mulai membuncit. Shanum menebak-nebak jika usia kandungannya mulai menginjak trimester kedua."Astaghfirullah." Shanum memekik pelan ketika menyadari sesuatu."Kalau Mas Arya mengatakan baru menikah tiga bulan yang lalu. Itu artinya … mereka sudah terlebih dulu melakukan hubungan terlarang sebelum menikah. Mereka sudah berzina!" Shanum berkata lirih atas keterkejutannya yang masuk akal mengenai hubungan suaminya dan Anara.Ia bahkan bertanya-tanya sejak kapan Arya mulai berhubungan dengan Anara. Shanum bergidik jijik saat sadar jika suaminya itu telah menjamah perempuan lain selain dirinya. 'Ya Allah, kenapa kenyataan ini begitu kejam?' lirih Shanum dalam hatinya. Suaminya sudah berselingkuh, dan ia baru mengetahuinya sekarang. Dan tepat di saat dia sedang ingin berhenti mengonsumsi pil KB demi melakukan program hamil. Tapi, kenyataan ini begitu saja terkuak, membuat Shanum sedikit senang karena dia belum sampai mengandung benih Arya di rahimnya. "Entah apakah aku harus bersyukur atau bersedih atas kenyataan ini." Shanum menggumam pelan, dengan dua tetesan bening yang meleleh di pipinya. Wanita itu beranjak berdiri dari tempat duduknya, setelah menyeka kasar air matanya, lalu dia berniat untuk masuk ke kamarnya. Ia mencoba menghalau pikirannya tentang kemungkinan yang ada. "Hufh… sudahlah, aku harus belajar tak peduli dengan mereka. Besok, aku pastikan mengusir mereka dari rumah ini. Harus!" gumam Shanum yakin sembari berjalan menuju ke arah tangga yang akan membawa dirinya naik ke kamar, tempatnya mengistirahatkan tubuh lelahnya. ***"Sha …," panggil Arya ketika baru saja memasuki kamar. "Maafkan aku. Aku melakukan semua ini karena ibu terus-terusan merongrong untuk memberinya cucu," ucapnya lagi. Shanum hanya menoleh sekilas. Wajahnya menunduk dalam."Oh!" ucap Shanum tanpa menatapnya. Wanita itu masih asyik dengan novel yang tengah dibacanya."Maafkan aku." Arya berucap seraya menghampiri istrinya, lalu berusaha merengkuh tubuh Shanum ke dalam pelukannya."Kamu marah?" tanyanya takut-takut."Untuk apa aku marah. Semuanya sudah terjadi," balas Shanum tanpa beban. Hatinya sudah mati rasa. Suasana kini berubah sunyi. Shanum sama sekali tak berniat membalas pelukan Arya sedikitpun.'Jadi, karena masalah keturunan kau melakukannya, Mas.' Shanum menggumam dalam hatinya.'Bukan karena aku tak menginginkan buah hati. Hanya saja aku perlu meyakinkan diri jika kau memang pantas dipertahankan, Mas,' sesal Shanum dalam hatinya. 'Namun, hari ini aku telah membuktikan semua keraguanku selama ini. Dirimu tak pantas untuk dip
Usai menempuh perjalanan selama hampir tiga puluh menit lamanya, akhirnya Shanum sampai di depan gedung perkantoran itu, aku memandang takjub gedung setinggi 25 lantai itu. Dhanu Mahendra, papanya telah membangun perusahaan itu dengan jerih payah dan keringatnya.Jatuh bangun sempat dilalui pria tangguh itu, hingga bisa menjadi sukses seperti sekarang.Brukk!"Aduh! Kalau jalan hati-hati dong!" maki Shanum pada seseorang yang menabraknya."Eh! Maaf, aku nggak lihat jalan tadi—" Suara bariton seorang pria segera terdengar di telinga Shanum. Seseorang itu mengulurkan tangannya untuk membantu Shanum berdiri. Wanita itu mendongak untuk melihat wajahnya."Kamu!" ucap keduanya secara bersamaan sambil saling menunjuk satu sama lain.Mereka berdua sempat saling terkejut selama sepersekian detik lamanya. Saat keterkejutan itu sirna, barulah pria itu benar-benar membantu Shanum untuk berdiri. "Ada angin apa nih seorang Shanum datang ke kantor?" sindirnya dengan nada sarkasme yang cukup kental
"Mas Arya jahat!" seru Anara ketika Arya tanpa perlawanan lagi menuruti perintah Shanum. Arya tampak menuntun langkah kaki Anara keluar ruangannya dengan terpaksa. Saat ini dirinya tidak ingin membuat Shanum semakin murka pada dirinya yang telah berani membawa istri barunya ke istana mereka. Ah, bukan, istana Shanum tepatnya, karena Arya hanya datang membawa dirinya saja, tak membawa harta sepeserpun saat menikah dengan Shanum tiga tahun yang lalu. "Mas, lepas ah!" sentak Anara keras, saat baru beberapa langkah mereka keluar dari ruangan Arya.Anara memanyunkan bibirnya sangat kesal, karena usahanya untuk memanas-manasi Shanum tidak berhasil. Wanita itu begitu tegar, dan sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Padahal niatnya datang dan ikut tinggal adalah supaya bisa menyingkirkan Shanum dari hidup Arya. "Aku nggak mau pulang!" ucap Anara protes. "Kamu kan udah janji buat ajak aku ke kantor hari ini, lagian kenapa sih tiba-tiba Mbak Shanum ada di sana," omel Anara masih
"Kenapa, Sha? Kamu udah nggak percaya lagi sama aku?" tanyanya sembari menatap wajah Shanum lekat."Gimana aku mau percaya, Mas. Pernikahan saja bisa kamu khianati, apalagi perusahaan ini. Ingat, Mas. Aku bukanlah benalu yang seperti ibumu katakan. Kamu berada di posisi sekarang itu berkat kemurahan hati Papa. Camkan itu!" ucapku spontan hingga membuat Arya tergemap dan diam seribu bahasa. Arya tampak menelan ludahnya susah payah. Rupanya Shanum masih mengingat dengan jelas bagaimana penghinaan Bu Desi terhadapnya kemarin. Jika ada yang harus disebut benalu, maka yang tepat adalah dirinya sendiri. Dialah benalu yang sesungguhnya. Akan tetapi, kepiawaiannya berbicara telah membuat sang ibu, adik kandung dan istri barunya itu percaya kalau Shanum lah yang menumpang hidup padanya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Arya tak berkutik dan hanya masih diam mematung di tempatnya. Shanum mengambil tas selempangnya, lalu segera bergegas keluar dari ruangan itu. 'Mas Arya pasti syok me
Tuan Dhanu Mahendra telah mempercayakan perusahaan itu pada Arya. Tetapi, ternyata kemurahan hati beliau telah membuat menantunya itu buta hati. "Seenaknya saja dia menganggapku orang tak berguna di hidupnya. Entah bagaimana dia sampai mengarang hal seperti itu dan menceritakannya pada ibu." Shanum kembali bermonolog sendiri. Ia masih tak habis pikir dengan kenyataan yang tiba-tiba menimpa hidupnya. "Pa, Ma, tolong kuatkan aku untuk menghadapi mereka. Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Tolong bantu aku untuk menyingkirkan orang-orang tak tahu diri itu," pintanya sembari menatap pusara kedua orang tuanya secara bergantian. Shanum mengusap dua nisan bertuliskan nama orang tuanya untuk terakhir kalinya. Dia telah merasa cukup untuk menumpahkan unek-uneknya pada mereka yang sudah berbeda ruang dan waktu. Usai mengeluarkan seluruh keluh kesah yang menyesakkan di dalam dada. Shanum merasakan kelegaan. Meskipun, Papa dan Mamanya tak mungkin memberikan solusi. Namun, perasaannya
"Mbak, nggak ke sini? Udah siang lho? Mbak baik-baik aja kan? Nggak kenapa-napa kan?" cecar Shela dari ujung sana. Ia langsung menghujani Shanum dengan berbagai pertanyaan dengan nada cemas. "Aku baik-baik saja, Shel. Ini mau jalan ke butik. Kenapa? Ada masalah ya di sana?" tanya Shanum dengan suaranya yang tenang."Eh, nggak ada sih, Mbak. Aku cuma cemas aja. Biasanya jam segini Mbak udah di butik. Tapi, sampai siang begini kok belum datang ke sini, takut kenapa-napa." Shela menyampaikan kecemasannya sedari tadi pada atasannya itu."Oh, ya ampun sampai segitunya, Shel. Aku nggak apa-apa kok. Ini lagi nyetir, jalan ke sana. Udah dulu ya," ucap Shanum berpamitan mematikan sambungan telepon, karena dia harus fokus menyetir. "Oke, Mbak. Aku tunggu ya. Hati-hati!" pesannya sebelum sambungan telepon berakhir. Shanum ingin meralat ucapannya tadi. Nyatanya ia tak benar-benar sendirian di dunia ini. Ada juga beberapa orang yang berdiri di pihaknya, termasuk Shela. Wanita itu lantas melaj
Shela tiba-tiba menghambur ke arah Shanum lalu memeluknya dengan erat. "Mbak, aku ikut sedih dengan masalah rumah tangga yang Mbak alami. Aku bener-bener nggak nyangka Mas Arya bisa setega itu. Padahal sorot matanya saat menatap Mbak Shanum itu adalah jelas tatapan penuh cinta," ucap Shela mencoba menghibur Shanum."Yah, namun perasaan dan hati manusia bisa berubah dalam satu detik, Shel. Aku jadi nggak heran," sahut Shanum berusaha tegar."Huaaa… Hikkss…" Shela tiba-tiba saja menumpahkan tangis prihatinnya. "Lah, kok malah kamu sih yang nangis, Shel. Harusnya aku. Lihat, aku baik-baik aja kok. Jadi kamu nggak perlu nangis," seloroh Shanum menahan tawanya. "Hikss… Aku sedih kalau Mbak mau pisah sama Mas Arya. Siapa sih pelakor itu, sini biar aku hajar dia," ucap Shela di sela-sela tangisannya.Shanum terkekeh kecil. Bibirnya mengulas senyum tipis. Baginya, kehadiran Shela bagai oase yang menyejukkan, seakan selalu memberi warna ceria pada hidupnya yang nyaris suram."Dah, ah. Jan
Rambutnya terlihat basah, seperti habis mandi. 'Jangan-jangan mereka habis melakukan itu. Ah, kenapa aku mikir hal gak penting begitu.' Shanum membatin dalam hati.Pria itu tampak berjalan arah tangga, menuju ke arah Shanum, tentu saja dengan istri barunya. Wanita licik itu melirik Shanum dengan tatapan sinis."Duh, apaan sih ribut mulu deh, Mbak Shanum. Kayak hidupnya di hutan aja," celetuk Lila yang tiba-tiba saja keluar dari kamar tamu yang satunya dengan rambut yang acak-acakan, dan suara parau khas orang yang baru bangun tidur.'Astaga, jadi sekarang ceritanya empat lawan satu?' batin Shanum geleng-geleng kepala, menyadari jika lawannya makin bertambah banyak. "Aduh, untung kalian datang, Arya, Lila, Anara. Ini nih, si Shanum ini bener-bener keterlaluan. Masa nyuruh Ibu buat beresin semua kekacauan di situ," omel Bu Desi sambil menunjuk ke arah sofa dan meja ruang tamu yang berantakan oleh ulahnya, Lila, dan juga Anara beberapa menit yang lalu. "Bener itu, Sha? Kamu nyuruh Ibu