"Heh, wanita tua bangka! Cepat keluar! Aku tahu kau ada di dalam!" seru seorang pria tambun yang tidak lain adalah rentenir yang sering datang ke rumah Bu Sinta.Bu Sinta yang merasa tersinggung karena dikatai wanita tua itu langsung marah. Bukannya membukakan pintu, wanita paruh baya itu malah pergi ke kamar dan bercermin. Dia melihat wajahnya, memang ada beberapa kerutan di pinggir mata dan juga dahi. Belum lagi di pinggir bibirnya. "Duh, iya juga. Aku banyak kerutannya. Ini pasti gara-gara memikirkan tentang Raka dan Lusi. Lagian ngapain juga sih anak itu pakai selingkuh segala? Ini kan berefek pada kecantikanku. Ini tidak bisa dibiarkan. Pokoknya aku harus perawatan lagi," papar wanita paruh baya itu, masih menelisik wajahnya sendiri. Gedoran di pintu membuat Bu Sinta terkesiap. Dia kesal, tapi juga ketakutan jika berhadapan sendiri dengan pria tambun itu. Karena biasanya membawa anak buah yang wajahnya begitu menyeramkan. "Tua bangka, cepat keluar! Bagaimana dengan hutang-huta
"Duh, ini tidak bisa dibiarkan. Bagaimana kalau misalkan rumah ini benar-benar disita oleh si rentenir gendut itu? Bisa-bisa aku tinggal di jalanan. Terus aku kalau ngontrak juga pasti pakai uang. Aku tidak mau mengontrak di tempat yang kumuh," ujar bu Sinta tampak kebingungan. Dia malah mondar-mandir di depan kasurnya sendiri. Wanita paruh baya itu berpikir keras. Bagaimana caranya melunasi utang-utang yang sudah begitu numpuk, 100 juta itu baru pokoknya. Belum lagi bunganya yang entah berapa. Lagi-lagi wanita paruh baya itu merutuki Raka. Harusnya anaknya tidak berbuat masalah. Jadi dia tidak akan pusing sendiri seperti ini. Sekarang mendatangi Lusi pun rasanya tidak mungkin, pasti wanita itu akan mengusirnya dan memberikan makian kepada Bu Sinta. Wanita itu lalu menoleh ke lemari panjang yang ada di pinggirnya, isinya itu tas-tas branded dan juga sepatu yang harganya mahal. Ada setengahnya yang sudah dia jual, itu untuk membiayai kehidupannya sehari-hari sebelum Raka benar-benar
"Memang apa perjanjiannya, Mbak?" tanya Maura akhirnya mengajukan pertanyaan. Dia tidak mungkin terus-terusan penasaran dengan semua yang akan dilakukan Lusi padanya. Gadis itu takut saja kalau misalkan Lusi memberikan perjanjian dan perintah yang membuat dirinya terkekang, mengingat kalau dia sudah berbuat kesalahan. Kemarin-kemarin wanita itu tidak mengatakan apa pun. Lusi menyodorkan sebuah map merah yang berisi selembar kertas. "Bacalah terlebih dahulu. Kalau kamu tidak mengerti, tanyakan," ucap Lusi. Maura pun langsung membaca poin-poin itu, yang ada 10. Awalnya Maura terdiam, karena isinya itu tentang aturan yang harus dilakukan di rumah ini, juga ada batasan serta kebebasan yang diberikan oleh Lusi. "Maksudnya ini aku dibebaskan untuk mengambil pilihan itu, apa ya, Mbak?" Maura membuat Lusi tersenyum, sepertinya adiknya ini memang begitu penasaran. Dia juga sengaja membuat poin itu, ingin tahu sejauh apa Maura punya rasa ingin tahu dan juga kritis terhadap suatu masalah.
"Kalau kamu sudah mengerti, cepat tanda tangan. Dengan begitu mulai besok kamu akan aku carikan SMA terbaik di sini," ucapnya karena sudah dari tadi Maura hanya diam saja. Tampaknya gadis itu sedang berpikir keras. Entah apalagi yang dipikirkan oleh Maura. Tetapi dia berharap sang gadis tidak berpikir macam-macam, apalagi sampai mengkhianati semua perjanjian ini. "Jika kamu mengingkari perjanjian ini, pilihannya ada dua. Kamu kembalikan uang yang aku berikan untuk menjamin hidupmu atau kamu akan mendekam di penjara seperti Mila." Maura kaget, karena sebelumnya tidak ada hal seperti ini. Namun tampaknya gadis itu tahu kenapa Lusi melakukan hal seperti itu, karena Mila pernah berbuat salah sehingga Lusi memberikan benteng pertahanan agar tidak dikhianati untuk kedua kalinya. "Baiklah, Mbak. Aku setuju, tapi sebelum mendatangani ini, bolehkah aku bertanya sesuatu lagi?" tanya Maura. Sebenarnya Lusi agak kesal karena gadis ini terus-terusan saja bertanya dan banyak sekali berpikir. P
"Aku akan mencoba untuk mencarinya ke tempat lain, kira-kira ke mana biasanya Maura pergi? Apakah dia ke teman-temannya?" tanya pria paruh baya itu dengan wajah yang serius.Bu Sinta tampak berpikir sejenak. Dia sedang mengira-ngira di mana keberadaan Maura saat ini. "Kenapa diam saja? Cepat katakan, di mana keberadaan putrimu? Masa kamu tidak tahu di mana saja putrimu berada?" tanya pria paruh baya itu, lama-lama kesel juga kepada istrinya yang malah diam. Bu Sinta bukannya tidak tahu, hanya saja dia juga tidak hafal di mana keberadaan Maura, karena selama ini dia hanya menuntut Maura untuk memenuhi kebutuhan dengan cara menjadikan sapi perah. "Kenapa diam saja? Cepat katakan! Rentenirnya di luar sana, itu sudah dari tadi dia menggedor-gedor pintu. Bisa-bisa rumah kita rusak. Kamu mau mengeluarkan biaya untuk merenovasi rumah ini?" tanya suaminya dengan kesal, karena dari tadi sang istri hanya diam saja. "Aku beneran nggak tahu di mana dia. Lagian Maura juga jarang bilang kalau d
Sang rentenir yang sudah hampir sepuh itu tersenyum miring. Dia tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya, tanpa aba-aba wanita hampir tua itu langsung bertepuk tangan sembari terkekeh pelan. Dia benar-benar tidak menyangka. "Sungguh luar biasa, ternyata Ibu yang kejam itu bukan hanya di sinetron dan cerita saja, ya? Dalam dunia nyata pun ada. Baru kali ini aku melihat ada seorang Ibu yang rela menjual anaknya demi mempertahankan rumah. Kamu tahu? Sudah lama aku menjadi rentenir dan banyak sekali orang-orang yang aku lihat untuk mencari alasan agar tidak bayar, tetapi baru kali ini aku melihat ada seorang Ibu yang rela menjual anaknya demi melunasi hutang-hutang dan hanya untuk sebuah rumah. Kamu itu benar-benar Ibu yang luar biasa. Semua di luar dugaan," papar wanita yang hampir sepuh itu panjang lebar. Bu Sinta yang mendengarnya pun sangat sakit hati. Harusnya wanita tua itu tidak usah berkomentar Bukankah yang penting uangnya kembali? Tetapi kenapa malah seperti ini?
"Mana bisa seperti itu? Kamu tahu kan aku tidak punya pengalaman kerja? Aku juga tidak tahu bagaimana mencari uang untuk melunasi hutang-hutang kita.""Ya sudah kalau begitu, jangan sok-sokan ingin membela anakmu itu. Kita tidak punya cara untuk membayar hutang-hutang ini." "Kan aku sudah bilang, kita tinggal jual saja rumah ini. Lalu kita ngontrak." "Oh begitu? Ya sudah, kalau begitu kamu yang membayar uang bulanannya, bagaimana?" tanya Bu Sinta menantang suaminya yang selalu keras kepala. Padahal pria itu tidak bisa berbuat apa-apa. Lagian bangunan ini adalah rumah yang dibeli dari uang Bu Sinta, jadi harusnya suaminya itu tahu diri dan tidak sembarangan berbicara. "Kan kamu juga bisa bekerja. Kamu saja yang bekerja." "Gila! Kamu itu suami. Harusnya mau menghidupi kami. Saat kamu kembali kepadaku dan menikah lagi denganku, kamu juga sudah berjanji akan menghidupi kami, kan? Tapi, apa sekarang? Kamu tiba-tiba seperti ini. Jadi, kamu menikah denganku hanya untuk mendapat harta da
"Maksud Ibu apa?" "Aku sudah bilang, jangan panggil aku Ibu. Aku ini bukan ibumu dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah menganggapmu menantuku." "Tapi, Bu. Tidak bisa seperti itu, sekarang ini aku adalah istrinya Mas Raka dan aku sedang mengandung cucu Ibu." "Wanita gatal! Kamu tidak mendengar ucapanku barusan, ya? Aku tidak percaya kalau itu adalah cucuku. Kalau pun itu benar, aku tidak akan pernah menerimanya." "Kenapa? Bukankah setiap nenek itu pasti akan menyayangi cucunya?""Iya kalau itu adalah hasil pernikahan yang sah. Lagi pula kamu ini kan pelakor. Kamu tidak malu menganggap aku ini sebagai mertuamu? Aku sudah jijik melihatmu," ujar Bu Sinta dengan wajah yang tegas. Dia melihat kalau wanita di depannya ini memang begitu menjijikan. Walaupun dia mata duitan dan realistis tingkat tinggi, tetapi Bu Sinta juga paling benci jika berurusan dengan pelakor. Apalagi itu adalah wanita yang sudah menggoda anaknya. Bu Sinta yakin kalau tidak ada Mila pasti rumah tangga Lusi dan
Setelah keluar dari ruangan interview, ternyata ada David sudah ada di sana. Lusi sangat kaget dengan kehadiran pria itu, lalu tiba-tiba saja tersenyum merekah, membuat jantung David berdetak dengan sangat kencang. "Bagaimana?" tanya David dengan tenang, walaupun sebenarnya saat ini dia sedang merasa gugup tetapi usianya yang sudah matang tidak mentoleransi semua itu. Dia bukan ABG lagi yang harus terlihat malu-malu di depan wanita yang dicintainya. "Alhamdulillah, aku keterima. Terima kasih, ya."Lusi langsung menjulurkan tangan membuat David terperangah, tetapi tak urung pria itu pun menerima uluran tangan Lusi. Mereka bersalaman dan kali ini David merasa tuntas karena bisa menyentuh tangan Lusi yang sangat halus dan lembut. "Syukurlah kalau begitu. Benar kan, aku tidak menipumu?" "Ya, aku minta maaf. Bukan maksud apa-apa, aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang buruk. Tidak ada yang tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Lusi membuat David terdiam sembari mengan
Bagaimana? Kalau mau, aku antarkan kamu ke kantornya. Kebetulan aku juga kerja di sana," ucap David membuat Lusi mulai menurunkan rasa curiganya kepada pria itu. "Kamu benar-benar tidak akan membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Lusi lagi, karena dia merasa belum yakin sepenuhnya apalagi mereka baru kenal kemarin. Itu pun hanya sepintas. "Ya Tuhan, apakah kamu selalu melakukan ini kepada orang lain? Kecuali kalau aku itu tidak dekat tempat tinggalnya denganmu, baru kamu curiga. Tapi aku kan tinggalnya dekat. Harusnya kamu bisa mengantisipasi itu, kan?"David lama-lama gemas juga kepada Lusi yang malah terus-terusan bertanya seperti itu. Wanita itu diam sejenak, memandangi pria itu dengan tatapan datar. "Mungkin menurutmu itu hal wajar, tapi tidak bagiku. Apalagi kamu tidak tahu bagaimana masa laluku. Harusnya kamu tahu, orang-orang akan melindungi diri sendiri dari hal-hal yang membuatnya kecewa," ujar Lusi membuat David terdiam. Pria itu memandangi sang wanita yang seka
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-
"Apakah harus?" tanya Raka terlihat sekali kalau wajahnya menentang semua permintaan Winda. Melihat itu Winda lagi-lagi merasa kecewa. Tetapi dia tidak mau malah bertengkar, apalagi di hari pertamanya sebagai seorang istri. Mungkin memang Raka belum mau pergi keluar bulan madu sebab memikirkan Alia. Dia berusaha untuk mengerti semuanya, walaupun tampak sekali di wajahnya rasa kekecewaan itu. "Oh ya sudah, Mas. Kalau memang tidak mau tak masalah, aku juga tidak mau kalau Mas Raka tidak bisa. Sebaiknya kita istirahat saja."Winda memilih untuk berdiri dan pergi, tetapi Raka tiba-tiba saja menariknya dan kembali membuat Winda terduduk. Raka menghela napas kasar, tampaknya dia sudah berbuat salah kepada Winda. Masih untung ada yang mau membantunya. Apalagi kata Winda, mereka akan mencari Alia. "Baiklah kita akan berangkat. Tapi nanti besok pulang, ya? Aku tidak bisa lama. Kamu tahu kan? Lusa harus kembalikan kepada Mila," ucap Raka, tiba-tiba saja membuat Winda mengerjapkan mata semba
Menjelang siang ini, tinggal Winda dan Raka berdua saja di rumah Winda. Untuk kedua kalinya dia merasakan sebagai pengantin baru setelah bertahun-tahun ditinggal oleh almarhum suaminya terdahulu. Winda memang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, karena dia memang ingin mengajar Raka. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti mimpi. Kekecewaan karena dia tidak dianggap sebagai istri di depan umum, membuat Winda tak memedulikan itu. Semua karena dirinya sekarang sedang benar-benar bahagia sebab sudah memiliki Raka. "Mas, rencana kita selanjutnya seperti apa?" tanya Winda dengan penuh semangat, berharap kalau pria ini akan mengajaknya untuk bulan madu. Kalau masalah perihal biaya, Winda bisa backup semuanya. Yang dibutuhkan adalah perhatian dari pria itu. "Aku ingin mencari Alia." Seketika senyuman di bibir Winda langsung luntur. Hatinya tersayat dan benar-benar tidak dipedulikan di sini. Hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari anak dan mantan istri Raka. "Iya, Mas. Aku tahu
Dengan senyuman getir Winda pun menganggukkan kepala. "Iya, Bu. Aku sudah tahu semuanya." Mendengar itu Bu Sinta terperangah sembari membulatkan mata. Wanita ini benar-benar tulus. Bahkan pria yang dinikahinya sedang berjuang untuk mendapatkan hak asuh anak dari istri pertama malah didukung dan dibiarkan begitu saja. Bu Sinta sampai tidak bisa berkata-kata sesaat. "Kamu serius sudah tahu semuanya?" Winda kembali menganggukkan kepala dengan pelan. "Iya, Bu. Aku tidak apa-apa, kok. Aku yakin, seiring berjalannya waktu Mas Raka pasti bisa menaruh hati kepadaku. Semua harus ada perjuangan dan aku yakin tidak akan mengkhianati hasil," ungkap Winda, membuat Bu Sinta benar-benar merasa terharu. Kalau saja dia bisa mengotak-atik hati Raka, mungkin sudah dihapus nama Mila dan membiarkan pria itu tidak peduli terhadap anak yang dikandung oleh Mila."Yang sabar ya, Winda. Pokoknya Ibu akan selalu mendukungmu. Lagi pula Ibu tidak suka sama Mila. Dia itu bukan perempuan baik, jadi istri pun n
"Sah!"Suara menggema itu dikeluarkan oleh beberapa orang di sana. Dua saksi, satu penghulu, satu wali hakim dan juga ada ART Winda beserta Bu Sinta. Benar-benar sedikit dan tak ada orang lain lagi selain mereka semua. Sebenarnya Winda merasa sedih sebab pernikahan ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja, seolah kalau dirinya memang tidak diakui oleh Raka. Tetapi ini lebih baik dibandingkan dirinya terus mengejar-ngejar pria itu. Katakanlah Winda itu adalah wanita bodoh. Dia bisa saja mendapatkan pria kaya, melebihi siapa pun termasuk Raka. Tetapi entah kenapa dia merasa kalau kebahagiaannya pasti ada bersama pria itu. Walaupun harus menjadi yang kedua, Winda rela. Lagi pula yang dicari bukanlah harta, tetapi kasih sayang dari laki-laki yang dicintai. Raka menyematkan cincin di jari manis Winda, lalu mencium keningnya. Ada haru biru yang menyelimuti acara ini. Bu Sinta sampai menantikan air mata, akhirnya sang anak mendapatkan istri yang baik menurut pandangan Bu Sinta. Winda
Sesuai dengan perkiraan, Mila memang datang ke butik yang itu adalah tempat kerja sang wanita hamil. Maura hanya melihat dari kejauhan. Untunglah ada minimarket di depan tempat Mila, jadi dia bisa terus meneliti wanita itu seharian di sana. Meskipun mungkin membosankan, tetapi setidaknya dia sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Sementara itu Mila saat sampai kantor pun dia hanya termenung menatap tumpukan laporan penjualan dan juga invoice lainnya. Ingin sekali dia menyelesaikan semua ini, karena bagaimanapun dia harus tetap bekerja. Ada pelanggan yang menunggu dan pesanan yang akan dikirim. Ini membuat Mila merasa stres.Saat seperti ini, yang ada dalam perutnya itu menendang-nendang, seolah mengerti kalau sang Ibu sedang banyak pikiran. Wanita itu pun mengelus bayi yang ada di dalam kandungan dengan memberikan kata-kata yang sekiranya bisa menenangkan anak itu. "Tenang ya, Nak. Kamu jangan ikutan pusing, biar Ibu saja yang pusing. Ibu akan cari cara untuk bertemu dengan ayahmu.
"Kamu pikir aku percaya begitu saja dengan sikap baikmu yang tiba-tiba? Tentu tidak! Kamu salah jika berurusan denganku atau mau menipuku. Aku tidak akan semudah itu dipermainkan," timpal Mila, setelah itu dia pun kembali menutup pintu membuat Maura terdiam. Tampaknya dia benar-benar salah sedang pura-pura baik kepada wanita ini. Maura hanya bisa berdiri di depan pintu dan memilih untuk pergi saja. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi dan hanya akan memantau ke mana wanita itu pergi. Lagi pula dia sudah berusaha untuk berpura-pura baik agar rencananya mudah, tetapi sayangnya memang Mila tidak semudah itu dibohongi. Mila hanya terdiam diri di depan pintu sembari menatap lurus ke depan. Dia seperti orang stress yang kehilangan sesuatu, tetapi memang kenyataannya wanita itu merasa kalau saat ini dirinya lemah tanpa adanya Raka. Anaknya juga sering menendang di perut kalau sang suami tidak ada di sampingnya. Mila kembali meneteskan air mata, merasa hidupnya benar-benar tak berguna karen